Dakwah Versus Menolak Kemungkaran
Haidar Bagir ;
Pendiri Gerakan Islam Cinta
|
KOMPAS, 18 Juni 2016
Di bulan Ramadhan ini,
bulan yang seharusnya penuh kasih sayang dan pengampunan, kita disuguhi
berbagai peristiwa tragis: penggerudukan, penghukuman, bahkan penganiayaan
terhadap orang- orang yang dianggap menodai bulan puasa.
Tak ada yang tak
sepakat bahwa bulan Ramadhan adalah memang bulan yang suci. Bahwa setiap
Muslim dianjurkan untuk melipatgandakan kebaikan dan menghindarkan diri dari
berbuat keburukan semampunya. Tapi, apakah dengan demikian Muslim juga
dibolehkan melakukan pemaksaan/represi kepada orang-orang yang tak menaati
atau tak terikat perintah tersebut?
Bijaksana dan persuasif
Ada sedikitnya dua hal
yang perlu didiskusikan terkait soal ini. Pertama, ibadah puasa adalah ibadah
yang bersifat tarkiy atau nafiy (pasif, menghindarkan diri dari hal-hal atau
keburukan-keburukan yang bisa membatalkan atau mengurangi kesempurnaan
puasa). Dengan kata lain, puasa adalah soal personal dan tidak bersifat
aktif, apalagi agresif.
Kedua, masih terkait
dengan yang pertama, adanya gagasan tentang menolak kemungkaran (nahi
mungkar) yang oleh sebagian orang dijadikan dalih kewajiban melakukan
sweeping, dan sebagainya, atas orang-orang yang dianggap menodai kesucian
bulan puasa. Parahnya, sebagian malah menjadikan peristiwa-peristiwa
peperangan yang terjadi pada bulan Ramadhan di zaman Nabi sebagai dalih
sikap-sikap agresif mereka. Padahal, perang-perang Nabi sepenuhnya bersifat
defensif, sebagai pertahanan diri terhadap agresi musuh. Yang lebih pantas
dijadikan contoh justru sikap Nabi memaafkan semua musuh bebuyutannya saat
beliau membebaskan Mekkah yang terjadi pada bulan Ramadhan juga.
Kembali ke soal
gagasan menolak kemungkaran ini, ada dua hal lagi yang sangat penting untuk
dibahas. Pertama, apakah menolak kemungkaran-betapa pun memang merupakan
suatu kewajiban-harus selalu dilakukan dengan represi/persekusi, bahkan
sikap-sikap kasar? Kedua, bagaimana kita harus mengintegrasikan gagasan tentang
nahi mungkar ini dengan gagasan dakwah, yang malah mempromosikan
kelemahlembutan?
Dakwah berasal dari
kata da'a yang berarti 'memanggil', 'menyeru', atau 'mengajak'. Dan, inilah
kata Al-Quran tentangnya: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah
(kebijaksanaan, yakni ilmu dan akhlak) dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang- orang yang mendapat petunjuk" (QS, 16:125). Segera
tampak, dakwah harus mengutamakan cara- cara yang baik atau persuasif dan
mengambil bentuk penyadaran.
Di sisi lain memang
ada kewajiban menolak kemungkaran. "Dan, hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung"
(QS, 3:104). Namun, lihatlah, persis sebelum ayat tersebut Tuhan sendiri
mengingatkan: "Dan, berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, dan
jangan bercerai-berai" (QS, 3:103).
Hal ini menunjukkan
bahwa-di atas segalanya-persatuan di
tengah masyarakat harus tetap dijaga dalam proses nahi mungkar tersebut.
Dengan kata lain, diperlukan kebijaksanaan dan persuasi juga dalam kegiatan
menolak kemungkaran ini.
Lebih jauh dari itu,
pelaku kegiatan menolak kemungkaran diwajibkan terlebih dulu mengembangkan
budi pekerti yang luhur, hati yang lapang, sabar, dan penuh kebaikan sebagai
prasyarat. "Orang-orang yang bertobat, orang-orang yang menghamba dan
mengagungkan-Nya, mengembara, rukuk dan sujud, (dan) mereka melakukan amar
makruf nahi mungkar, serta memelihara hukum-hukum Allah. Maka berilah kabar
gembira kepada orang-orang beriman" (QS, 9:112).
Pengendalian diri
Perhatikan bahwa syarat
awal bagi pelaku amar makruf nahi mungkar adalah "bertobat".
Sebelum dapat berbuat baik, seseorang harus melakukan pertobatan
sesungguh-sungguhnya. Dengan pertobatan ini diharapkan hati jadi bersih dan
dipenuhi semangat berbuat baik, dengan cara-cara yang lebih bijaksana. Dengan
kata lain, hati terbebas dari nafsu rendah, seperti kedengkian, dendam,
kebencian, dan niat buruk.
Lalu, pelaku amar
makruf nahi mungkar juga harus mengembara agar memiliki kesadaran budaya,
kemasyarakatan, dan historis sebagai bekal upaya reformasi yang
dilancarkannya. Menurut sebagian penafsir, kata sa'ihun, yang diterjemahkan
sebagai "mengembara" itu sesungguhnya bisa juga dimaknai sebagai
"berpuasa", yang makin menegaskan keharusan melatih kemampuan pengendalian
diri.
Sejalan dengan itu,
prasyarat selanjutnya, yang disebutkan dalam ayat yang sama adalah bahwa
mereka menjadikan keikhlasan kepada Allah sebagai pusat segala tindakannya,
bukan nafsunya sendiri. Dalam kaitan ini, Ali bin Abi Thalib pernah
menyatakan, "Betapa mudah mengungkapkan kebenaran, tetapi betapa sulit
melaksanakannya.... Hanya orang-orang yang mampu membenahi dirinyalah yang
dapat membenahi masyarakatnya."
Al Quran sendiri
dengan tegas mempromosikan pentingnya kelembutan, bahkan ketika orang
melancarkan kegiatan menolak kemungkaran di hadapan seorang tiran. Dalam
hubungannya dengan upaya menolak tirani Fir'aun yang zalim, Tuhan memerintah
Musa: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah
malampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut agar mudah- mudahan ia ingat atau takut" (QS,
20:43-44).
Seolah menyimpulkan
itu semua, Ibn Taymiyah yang menjadi patron banyak kelompok "keras"
di kalangan umat Islam, menyatakan, "Orang yang ingin beramar makruf nahi
mungkar semestinya memiliki tiga bekal: ilmu, kelemahlembutan, dan
kesabaran." Kepemilikan ilmu diperlukan agar orang memahami persoalan
yang dihadapi sebelum melancarkan kegiatan nahi mungkar itu sendiri. Lalu,
kelemahlembutan harus mewarnai proses menolak kemungkaran itu sendiri.
Akhirnya, sikap sabar harus dirawat sesudahnya untuk memastikan bahwa kita
terus memelihara ketelatenan untuk melakukannya dengan penuh kebijaksanaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar