Apa Rasanya Berkuasa?
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 09 Juni 2016
Pekan
lalu, saya menikmati Big Game (2014), film aksi-petualangan besutan sutradara
kelahiran Helsinki, Finlandia, Jalmari Helander. Film itu mengisahkan pesawat
Air Force One ditembak jatuh oleh teroris, yang tak lain konspirasi di
internal mereka. Penumpang pesawat tewas. Seperti tipikal heroisme film-film
Hollywood, Presiden Amerika Serikat William Alan Moore (diperankan Samuel
Jackson) selamat dan terdampar di belantara Finlandia.
Presiden
William harus berlari menyelamatkan diri dari para pemburunya. Tidak ada yang
bisa menyelamatkan presiden yang memiliki pengaruh dan dominasi paling kuat
di dunia itu. Hanya satu orang yang menyelamatkan presiden AS, yaitu seorang
anak lelaki usia 13 tahun yang tengah mempunyai misi berburu untuk pembuktian
kedewasaan. Namanya Oskari (diperankan Onni Tommila).
Ketika
mereka terjebak di tengah belantara bersalju, sepenggal dialog antara
Oskari dan Presiden William sangat menarik.
Oskari:
Apa rasanya menjadi orang berkuasa?
Presiden
William: Kekuasaan itu tidak kekal. Beberapa jam lalu saya bisa memerintahkan
seluruh pasukan terhebat yang saya miliki, tetapi sekarang ini untuk memesan
piza pun tidak bisa (saya lakukan).
Dialog
itu sebetulnya sangat introspektif bagi para pemegang kekuasaan. Kekuasaan
kerap menutupi pikiran sehat. Begitu banyak contoh sejarah tentang pemegang
kekuasaan yang di luar kendali. Sejarah monarki sepertinya didominasi
rezim-rezim otoriter yang menyalahgunakan kekuasaan. Bahkan, di era demokrasi
pasca kolonial, tidak sedikit penguasa yang ingin menggenggam kekuasaannya
sampai tak terbatas dan sentralistis di satu tangan.
Kekuasaan
memang selalu menggiurkan. Mereka yang berlaga di panggung politik mustahil
tidak mengincar kekuasaan. Partai politik, misalnya, sejatinya selalu
mengincar kursi-kursi di pemerintahan. Dengan cara begitu, parpol dapat
terlibat langsung dalam keputusan-keputusan politik di negeri ini.
Karena
itu, isu perombakan kabinet (reshuffle) sepertinya tak pernah berhenti.
Bahkan, di acara haul tiga tahun Taufiq Kiemas di rumah Megawati
Soekarnoputri, Rabu (8/6) malam, isu reshuffle kabinet juga berembus. Malah
Presiden Joko Widodo sendiri yang mengingat reshuffle ketika memberikan
sambutan. "Saya jadi ingat reshuffle kalau begini," kata Jokowi
semalam setelah mengklarifikasi jumlah menteri yang berasal dari kalangan
Nahdlatul Ulama (NU).
Isu
reshuffle memang cukup seksi sejak parpol-parpol yang semula berposisi
oposisi seperti PAN dan kemudian Partai Golkar beralih merapat ke Istana.
Peristiwa "balik kanan" dua parpol itu tentu saja bukanlah cerita
pepesan kosong. Di dunia politik, tidak ada makan siang gratis. Sampai hari
ini, kedua parpol itu tampaknya sabar menagih janji. "Ini tentu suatu
sinyal yang tetap memberikan suatu apresiasi dan penghormatan," respons
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang juga hadir di acara haul itu.
Perkara
kekuasaan sering kali membuat gaduh. Manuver politik bisa bergerak liar ke
mana-mana. Bahkan, jabatan Kapolri juga ikut diributkan, seiring Jenderal
Badrodin Haiti yang akan memasuki masa pensiun. Jabatan Kapolri menjadi
tarik-menarik parpol. Padahal Kapolri sejatinya keputusan Presiden.
Bayangkan, apa jadinya jika semua pihak merasa punya kepentingan. Persoalan
Kapolri seharusnya steril dari kepentingan politik.
Di
acara haul Taufiq Kiemas juga dapat dilihat siapa pula yang sesungguhnya
memiliki kekuasaan. Mencermati tamu yang hadir, seperti Presiden Jokowi,
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Ade
Komarudin, pimpinan parpol, dan para politisi, termasuk yang sudah pensiun,
memperlihatkan Megawati juga masih "berkuasa" di negeri ini,
meskipun secara formal tidak menduduki posisi di lembaga-lembaga negara.
Teringat
Oskari, apa ya rasanya menjadi orang berkuasa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar