YY
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
|
KORAN TEMPO, 07 Mei
2016
Hari libur panjang ini, Anda pergi ke mana?
Mengunjungi desa mungkin lebih baik, apakah itu kampung halaman Anda sendiri
atau kampung orang lain yang sudah jadi tujuan wisata. Desa sudah demikian
maju.
Para remaja desa suka nongkrong di tempat
tertentu, misalnya di depan minimarket yang sekarang bertebaran di desa.
Sampai larut, karena "pasar modern" itu buka 24 jam. Tapi coba
perhatikan, jarang ada obrolan di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan
handphone-nya. Entah buka Facebook atau memelototi YouTube. Semuanya aplikasi
gratisan, minimarket pun menyediakan Wi-Fi gratis.
Di desa saya, mungkin juga di desa Anda,
anak-anak sekolah dasar sudah akrab dengan YouTube, sampai-sampai bahasa
Indonesia-nya berbau Malaysia, saking keranjingan nonton Ipin Upin. Adapun
siswa sekolah menengah demam Facebook. Mereka punya komunitas sendiri,
berbagi obrolan, berbagi foto, berbagi pengalaman.
Internet murah sudah masuk desa. Handphone
buatan Cina cukup ditebus dengan sejuta rupiah, setara dengan sekarung kopi
basah. Paket Internet Rp 10 ribu sebulan sudah dapat 3 GB (gigabyte), dan itu
tersisa karena Wi-Fi gratis ada di banyak tempat. Mereka sangat dimanjakan
oleh Internet murah, mereka asyik dengan dirinya dan khayalannya sendiri.
Celakanya, khayalan itu bisa jauh dari dunia
yang normal, di mana sopan santun dan etika diajarkan para leluhur. Lewat
Internet, tersaji banyak adegan kekerasan, juga adegan pornografi. Situs
porno boleh saja diblokir, tapi adegan porno yang diunggah seseorang lewat
video pendek di Facebook, Instagram, Line dan sebagainya, siapa yang
memblokir?
Dan tiba-tiba kita dihebohkan oleh kabar
seorang gadis 14 tahun, sebut saja YY, yang diperkosa sampai meninggal.
Pemerkosanya ada 14 orang, ya Tuhan, tujuh di antaranya masih tergolong anak
di bawah umur, dan semuanya warga desa setempat, teman YY sendiri. Ini
kejadian di Rejang Lebong, seratus kilometer lebih dari Kota Bengkulu.
Saya tak mengatakan bahwa ini pengaruh
Internet. Apalagi tak ada kabar yang menyangkut-pautkan hal itu dengan
kepornoan dunia maya. Bahwa para pemerkosa awalnya minum tuak, saya pun tak
terlalu bersemangat membawa kasus itu ke arah perbuatan orang mabuk. Saya
lebih tertarik untuk bertanya kenapa ada sekelompok remaja memperkosa
temannya sendiri sampai tewas? Setan mana yang memasuki jiwa mereka?
Pastilah keakraban sosial sudah hilang.
Mungkin orang sibuk "berkomunikasi semu dalam diam" lewat Internet.
Karang Taruna, atau apa pun nama organisasi para pemuda di desa, sudah
kehilangan tempat untuk bercanda. Lapangan voli berubah menjadi "pasar
modern", lapangan sepak bola di kecamatan menjadi ruko dan di kota
menjadi mal. Kementerian Olahraga mencanangkan di setiap desa ada lapangan
sepak bola, tapi itu baru teori. Seribu pasar tradisional akan direhab, itu
juga baru mulai, sementara "pasar modern" sudah ada di selepas
tikungan.
Jika tempat bersosialisasi sudah tak ada, yang
tinggal adalah rasa asing dan makin tipis kepekaan kepada sesama warga.
Jangankan saling membantu di antara orang yang kesusahan, berbuat buruk pun
makin gampang. Tak ada lagi teman, yang ada adalah seseorang yang bisa
dijadikan sasaran melampiaskan khayalan.
Pemerkosa YY layak dihukum berat. Jika perlu,
dikebiri-sementara kita tahu usianya belum 17 tahun, masih ada harapan
berbuat baik dan melahirkan keturunan. YY milik kita, kepedihannya milik
kita. Ya betul, kita tak ingin ada lagi YY yang lain, dan mari nyalakan
lilin, bukan cuma untuk YY, tapi juga untuk membuat terang kegelapan yang
menimpa anak-anak kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar