Urgensi Berkata Benar
Agoes Ali Masyhuri ;
Pengasuh Pesantren Progresif Bumi Shalawat
Sidoarjo Jatim
|
JAWA POS, 27 Mei
2016
Ketika Gus Dur menjadi
Presiden, salah seorang asistennya yang bertugas di Istana Negara, memiliki
latar belakang anggota TNI Angkatan Laut. Namun, belakangan diketahui tidak
bisa berenang. Ia sering digoda dan diusili teman-temannya.
Dalam kesempatan
tertentu, seorang ajudan menghadap Presiden. ”Lapor Pak Presiden, ini lho
ajudan Bapak, masak TNI Angkatan Laut kok tidak bisa berenang!”
Karuan saja, ajudan
TNI-AL tersebut langsung tegang, melotot, tidak menyangka bila ada yang nekat
melaporkan hal-hal sensitif. Tapi, ternyata, Presiden Gus Dur pun merespons
dengan datar-datar saja. Gus Dur menjawab. “Lha itu, ada yang dari Angkatan
Udara juga nggak bisa terbang kok….” Suasana menjadi cair, penuh canda, dan
tawa.
***
Dalam pergaulan dengan
sesama dibutuhkan sopan santun dan tata krama. Lukanya tubuh kena pisau, masih
gampang dicari obatnya. Harapan untuk sembuh sangat terbuka. Tapi, lukanya
hati kena ucapan yang menyakitkan, sulit dicari obatnya.
Ketahuilah lidah orang
berakal berada di belakang hatinya, dan hati orang bodoh berada di belakang
lidahnya. Orang yang berakal sehat tak akan mengucapkan sesuatu sebelum
dipikir masak-masak, sementara orang bodoh bila berbicara tanpa dipikirnya
terlebih dahulu.
Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan
di dunia dan akhirat maka jalan yang harus ditempuh hanyalah satu, yaitu
mentaati Allah dan Rasul. Jangan bicara kecuali benar dan bermanfaat karena
setiap kata-kata pasti didengar Allah dan harus kita pertanggungjawabkan.
Berpikir dan menimbang
sebelum bicara menjadi satu keharusan. Bertanyalah selalu, pantaskah saya
bicara seperti ini? Benarkah perkataan ini kalau saya ucapkan?
Ada perkataan yang
benar, tetapi tidak tepat situasi dan kondisinya. Islam mengistilahkan
kebenaran dalam perkataan sebagai Qaulan Sadida. Apa syaratnya? Pertama, apa
yang dikatakan harus benar. Benar di sini mengandung arti, perkataan kita
harus sesuai kenyataan, tidak menambah-nambah maupun mengurangkan.
Sebagaimana sabda
beliau Rasulullah SAW. “Biasakanlah berkata benar karena kebenaran menuntun
pada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun ke surga. Hendaklah seseorang itu
berkata benar dan berusaha agar tetap benar sehingga dicatat di sisi Allah
sebagai orang amat benar.” (Muttafaq
‘alaih)
Kedua, setiap kata
memiliki tempat yang tepat, dan setiap tempat itu memiliki kata yang tepat.
Tepat di satu tempat, belum tentu tepat di tempat lain. Ada hal yang tepat di
mata orang tua, tetapi di mata anak muda kurang tepat. Tepat menurut guru,
tetapi menurut murid belum tentu tepat.
Kebenaran dalam
berbicara belum cukup. Dibutuhkan kecerdasan membaca situasi dan obyek yang
diajak bicara. Pengemasan komunikasi tidak kalah penting dengan isi pesan
yang akan dikomunikasikan.
Ketiga, kita harus
bisa mengukur apakah kata-kata itu melukai atau tidak. Sebab, sensitifitas
setiap orang berbeda-beda. Jika sebuah pembicaraan terasa biasa-biasa saja
bagi seseorang, bisa saja pembicaraan tersebut menjadi sangat menyinggung
bagi orang lain.
Pertanyaan “kapan
menikah?” adalah pertanyaan yang menggelikan bagi anak SMA, tetapi menjadi
pertanyaan yang sangat memberatkan bagi seorang gadis yang berusia 40 tahun.
Keempat,
pastikan perkataan itu bermanfaat. Rasulullah SAW bersabda. “Tidak akan lurus
iman seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya
sebelum lurus lidahnya, dan tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya
tidak aman dari gangguan lidahnya.” (HR. Ahmad)
Belajar
mendengarkan
Kita harus belajar
mendengarkan. Mendengar belum tentu mendengarkan. Mendengar hanya sekadar
menyerap suara, sedangkan mendengarkan tidak sekadar menyerap suara, tetapi juga
menyimak dan mengolah apa-apa yang kita dengar. Karena itu, dengan
mendengarkan, kita akan paham dan dengan paham kita bisa berubah.
Mendengarkan erat kaitanya
dengan keterampilan untuk fokus. Cahaya matahari yang difokuskan oleh
suryakanta bisa membakar kertas dan bahan lainnya. Kalau kita berkonsentrasi,
informasi, dan ilmu pun akan menjadi fokus sehingga semangat kita akan
menyala.
Kalau semangat sudah
menyala, tidak ada yang bisa menghalangi kita untuk sukses. Karena itu, kita
harus belajar mendengarkan, menyimak, dan memfokuskan diri untuk memahami.
Dengan pemahaman yang benar, insya Allah kita bisa bertindak benar dan
proporsional.
Kesimpulannya, mendengar
harus lebih banyak daripada berbicara. Allah SWT menganugerahkan tujuh lubang
di kepala. Dua di telinga, dua di mata, dua di hidung, dan satu di mulut.
Mulut adalah lubang
terbesar. Apa artinya? Berpikir harus lebih banyak daripada berbicara; enam
input dengan satu output. Kumpulkan input melalui mata, telinga, dan pembau,
lalu fokuskan untuk menghasilkan kata-kata berkualitas melalui mulut.
Ya Allah, anugerahkan pada
kami kejujuran dalam berucap dan keikhlasan dalam beramal. Ya Allah,
jadikanlah amal kami tulus ikhlas karena mencari keridhaan-Mu, serta
terimalah di sisi-Mu dan selamatkan kami dari fitnah era global ini. Ya
Allah, tutuplah aib-aib kami dengan tirai-Mu, yang tidak mungkin tersingkap
dan masukkan kami ke dalam rahmat-Mu bersama hamba-hamba-Mu yang shalih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar