Tiran Pembelajaran
Saifur Rohman ;
Pengajar Program Doktor Ilmu
Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 14 Mei 2016
Siswa
kelas IV SD, Daffa Faros Oktoviarto (10), mencegat setiap pengendara motor
yang memanfaatkan trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Semarang, Jawa Tengah
(20/4). Caranya dengan memalangkan sepedanya di trotoar ujung gang. Ketika
mereka memaksa, Daffa menyatakan bahwa trotoar hanya untuk pejalan kaki.
Peristiwa ini
memancing simpati publik. Ketika perilakunya bukan bagian dari program
pembelajaran di sekolah, bukankah tindakan Daffa merupakan cermin keberanian
bertindak benar? Berasal dari kurikulum apa sehingga perilaku itu muncul?
Atau sebaliknya, bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis bagi setiap individu
dalam proses pembelajaran di Indonesia?
Cerdas kolektif
Dalam
wawasan trisentra pendidikan Ki Hadjar Dewantara, sekolah bukan segalanya
karena masih ada unsur keluarga dan lingkungan. Meski demikian, tidak dapat
dimungkiri bahwa pendidikan di sekolah merupakan proyek utama negara untuk
mewujudkan tekad ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Maksudnya
kecerdasan kolektif melampaui kecerdasan individu. Karena itu, betapa pun
kuatnya prestasi akademis tiap individu sebagai tolok ukur keberhasilan di
sebuah satuan pendidikan, pada akhirnya proyek pendidikan bangsa ini adalah
mengembangan kecerdasan kolektif yang dapat diandalkan.
Ironisnya,
pengembangan kecerdasan ini tidak menjadi bagian dari kebijakan-kebijakan
pemerintah tentang tolok ukur pendidikan. Individu yang ”cerdas” sering kali
luput dari proyek pendidikan pemerintah.
Maksudnya,
bocah
pencegat sepeda motor bukanlah siswa yang ”diunggulkan”. Bukan pula siswa
yang ditunjuk menjadi wakil sekolah untuk olimpiade ilmu pengetahuan. Menurut
guru-gurunya, dia adalah pribadi yang hiperaktif atau cenderung bandel. Jadi,
pribadi tersebut tidak dapat memenuhi kurikulum masa kini tentang perilaku
baik.
Suka
atau tidak, Kurikulum 2013 yang didasarkan pada Peraturan Mendikbud Nomor 81A
Tahun 2013 tidak berbicara tentang kesadaran kritis tersebut. Revisi atas
kurikulum itu pun sebetulnya tidak banyak membuahkan hasil. Sebaliknya,
Permendikbud No 103/2014 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah semakin
meneguhkan aktivitas pembelajaran yang mengatasnamakan ”pendekatan ilmiah”. Seakan-akan
segala aktivitas pembelajaran dapat dipecahkan.
Menilik
lebih jauh, pendekatan ini dapat diringkas dengan cara melihat, bertanya,
mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Namun, bila dicermati lebih jauh,
tidak sulit mengidentifikasi bahwa pendekatan tersebut merupakan
penyederhanaan dari pola-pola rasionalitas masa pencerahan. Hal itu
sekurang-kurangnya dapat dilihat dari upaya Rene Descartes meringkas
rasionalitas itu melalui empat langkah, yakni meragukan, memilah,
menyelesaikan, dan merefleksi.
Dalam pembelajaran,
pemerintah berhasil membangun rasionalitas di dalam sekolah, tetapi gagal
menghadapi realitas di luar pagar sekolah.
Kontradiksi kurikulum
Bila
didudukkan dalam konteks lebih nyata, para siswa hadir dari situasi budaya
yang lebih besar ketimbang kurikulum sekolah. Ketika situasi di luar sekolah
adalah sejenis kurikulum, metode yang digunakan adalah metode kekuasaan.
Lihatlah pilihan-pilihan hidup yang terbatas, media periklanan yang
mengintimidasi, persoalan-persoalan hidup sehari-hari yang menempatkan
individu dalam tekanan sulit. Karena itu, kontradiksi kultural dalam
kurikulum ini menyisakan tiga tuntutan mendasar.
Pertama,
di tengah situasi sosial yang makin pragmatis, kurikulum perlu mengambil
inisiatif terdepan untuk membangkitkan kesadaran terhadap lingkungan sosial.
Sebab, pada kenyataannya, proyek-proyek kebenaran publik tidak sulit dipahami
oleh siswa sekolah. Kasus bocah mencegat pengendara motor memberikan contoh
dari pelaksanaan proyek kebenaran.
Ada
dua perspektif untuk menyederhanakan pemahaman. Yakni: (1) dalam perspektif
teori atomisme logis kita tahu bahwa kebenaran mestinya dikonstruksi dari
kesesuaian antara pernyataan yang diterima publik dan kenyataan yang
dihadirkan. Kemudian (2) dalam perspektif praktis, kebenaran diperoleh dari
kesesuaian pernyataan ”trotoar adalah bagi pejalan kaki” dan tindakan
menghalangi siapa saja yang bukan pejalan kaki. Konteksnya, jalanan yang padat
membuat para pengendara sepeda motor memanfaatkan trotoar laksana jalan raya.
Guru dapat mengambil perspektif praktis sebagai media pembelajaran tentang
tindakan yang utama.
Kedua,
selama ini kita terbiasa dengan proyek pembenaran. Maksudnya, menghubungkan
fakta-fakta yang dirangkum untuk kepentingan pribadi maupun kebiasaan
pendidik. Mendidik bukan sekadar menunjukkan fakta-fakta yang diidentifikasi
sebagai kesenjangan. Pendidikan perlu menumbuhkan keberanian bertindak untuk
memecahkan persoalan di luar. Karena itu, tak sulit menyatakan, kita
membutuhkan pendidikan yang mengasah keberanian, menciptakan mental
kepemimpinan, dan merangsang adanya sikap terbuka.
Ketiga,
pengetahuan spekulatif tentang karakter bangsa diabaikan. Sebab, karakter
bangsa perlu pemikiran intuitif yang peka terhadap ketidakadilan. Pada
kenyataannya, kesadaran kritis ini tumbuh dari kenyataan yang dialami
individu dan diolah secara intensional untuk memihak pada kebenaran publik.
Setiap
anak bisa saja melihat kemacetan di trotoar, tetapi tidak setiap anak
memiliki kemauan bertindak. Ketika pengetahuan tidak menghasilkan sikap etis,
kepekaan sosial diperlukan. Itulah kenapa sekolah bukanlah organisme sejenis
Frankenstein yang hidup terpisah dengan masalah sosial di sekitarnya.
Pendek kata, kasus
itu menguak kontradiksi kultural dari kurikulum kita selama ini. Bandel di
sekolah, cerdas di luar. Pendekatan pembelajaran yang selama ini
mengatasnamakan diri ”ilmiah” dan dikonstruksi sebagai satu-satunya cara
mencapai kebenaran adalah satu bagian dari proyek pembenaran. Dan, bila ada
bagian lain, itu adalah praktik dari tiran pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar