Tempurung
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 15 Mei 2016
Entah
mengapa beberapa bulan terakhir ini saya mulai berpikir untuk lebih sering
bepergian. Bahkan, sampai kepikiran untuk menjual salah satu aset untuk
tujuan itu. Saya merasa seperti katak di bawah tempurung kota besar.
Seandainya
ayah saya yang kikir itu masih ada dan mendengar cita-cita itu, saya kok
yakin ia akan menjerit dan mengusulkan untuk tetap tinggal di bawah tempurung
saja. Sejak lama, sejak saya kecil, royal itu adalah predikat yang
diberikannya untuk saya.
Gelagapan
Di
bawah tempurung itu artinya, yang saya ketahui, yaa... itu-itu saja. Makanya,
seperti katak di bawah tempurung, dunia yang saya ketahui itu adalah
kemacetan, kurangnya toleransi, mudah naik pitam, tidak menginjak bumi,
susahnya bertabiat rendah hati, bermain gengsi, kalau bisa senantiasa
bersaing, mengeluarkan isu yang mematikan.
Karena
dunia tempurung saya seperti itu, maka katanya, dan saya yakin Anda setuju,
saya disarankan keluar dari tempurung itu sehingga saya bisa melihat dunia
yang berbeda. Tujuannya ke luar dari tempurung itu cuma satu. Supaya menjadi
manusia yang lebih terbuka.
Dengan
terbuka, katanya, saya tidak lagi berpikir bahwa dunia sayalah yang paling
benar, pendapat sayalah yang paling benar. Bahwa di luar tempurung ada yang
bisa hidup sederhana dan tidak bermain gengsi, tetapi tetap bermartabat.
Bahwa ada dunia di luar tempurung, yang toleransi itu tidak dianggap sebuah
kekalahan, bukan juga sebuah bentuk kepengecutan.
Maka,
keluarlah saya dari tempurung bernama Ibu Kota yang selama ini saya anggap
sudah sangat lengkap dan tidak perlu harus keluar. Jalan-jalan ke Jawa Tengah
yang saya ceritakan dua minggu berturut-turut dalam artikel mingguan ini
adalah aksi nyata kalau saya mengeksekusi saran untuk keluar dari tempurung.
Saya mau mencoba menjadi "katak" yang enggak gelagapan.
Katak
yang tidak gelagapan berbuat baik karena selama ini saya tidak gelagapan
berbuat kejahatan. Supaya saya tidak gelagapan mengeluarkan kata-kata yang
membangun karena keseringan tidak gelagapan mengeluarkan kata yang menikam,
yang jleb, jleb, jleb.
Supaya
saya tidak gelagapan mendengar ada orang memiliki pendapat yang berbeda,
karena selama ini saya tak pernah gelagapan memaksa dan mengintimidasi orang
yang telah diciptakan berbeda dari sononya, untuk dijadikan sama mengikuti
cara pandang saya.
"Enjoy the
ride"!
Maka,
saya melakukan sebuah perjalanan keluar dari tempurung dan bukan sekadar
berlibur. Sepulang dari perjalanan itu, saya menjadi katak yang sedikit lebih
punya toleransi. Dari perubahan yang sangat sedikit dan tidak signifikan itu,
saya merasa kok bepergian itu macam penyedot debu.
Ia
menyedot kotoran yang ada di tempurung yang selama ini saya lihat bukan
sebagai kotoran, tetapi sebagai sebuah cara bertahan hidup. Sebelum saya
melakukan perjalanan itu, saya membaca buku mengenai perjalanan yang akan
saya tempuh. Tentu saya membaca waktu masih di dalam tempurung. Ternyata,
membaca selama di dalam tempurung sangat berbeda reaksinya dengan melihat
kenyataan.
Sekarang
saya mengerti kalau tinggal terlalu lama di dalam tempurung, orang akan
mengatakan: "Elo bisanya cuma teori doang." Maka, keluar dari
tempurung mampu menghilangkan yang doang itu. Di dalam tempurung, saya merasa
kebahagiaan itu harus spektakuler, tetapi pengalaman di luar tempurung
menunjukkan bahwa kebahagiaan itu bisa berasal dari hal-hal yang sederhana
dan bukan sekadar murah.
Seorang
penjual batik meluangkan waktu mengantar saya makan nasi rames dan pecel. Kapan
terakhir saya rela menyediakan waktu hanya untuk mengantar teman untuk makan?
Di dalam tempurung, kemacetan dijadikan alasan sebagai bentuk kalau saya
tidak egois.
Saya
tidak egois karena kemudian mengirim pesan berikut petanya yang sekarang
dengan mudah diunduh dalam sekian detik, sebagai sudah meluangkan waktu untuk
orang lain, sudah melakukan kebaikan. Di dalam tempurung terjadi abrasi
nurani.
Saya
membaca buku untuk menambah pengetahuan, tetapi buku memberi saya keterikatan
emosi yang dibayangkan dan bukan yang nyata saya alami. Buku membawa saya
melayang ke awan, bepergian mengajak saya menginjak tanah.
Buku
memberi saya pengetahuan bahwa kerukunan antarsesama itu baik, tetapi
menyaksikan kalau kerukunan itu dieksekusi secara nyata, itu menjadi sungguh
berbeda. Buku itu bisa dimisalkan seperti saya dengan mudah mengatakan aku
cinta padamu. Bepergian itu mengeksekusi secara nyata kalimat aku cinta
padamu itu dengan mengantar teman di tengah kemacetan sambil berkata:
"Enjoy the ride!" Jadi tidak teori doang, tidak ngomong cinta
doang.
Pengalaman
yang saya dapati di luar tempurung itu tidak diperuntukkan untuk mengubah
saya saat terjadinya perjalanan itu saja, seperti belajar berbesar hati
dengan teman seperjalanan yang gitu deh itu, tetapi saat bertemu dengan klien
yang super bawel, atau menjalani hidup yang seperti ayunan.
Berubah
menjadi manusia yang berkualitas lebih baik tidak bisa hanya dengan berusaha
sekali atau sesekali saja keluar dari tempurung. Saya harus sering
melakukannya, dan bepergian adalah salah satu caranya.
Sayang
ayah saya sudah tiada. Ia meninggal dalam pengertian bahwa saya adalah
anaknya yang royal. Sayangnya, saya juga baru tahu pada usia sesenja ini
bahwa bepergian bisa mencabut predikat royal itu. Sayang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar