Standar Penilaian Publikasi Ilmiah
Irwan Trinugroho ;
Dosen Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Sebelas Maret
|
KORAN SINDO, 13 Mei
2016
Dalam
beberapa waktu terakhir ini publikasi ilmiah di jurnal internasional menjadi
isu yang sangat hangat di Indonesia khususnya di perguruan tinggi. Dipicu
oleh relatif rendahnya jumlah dan kualitas publikasi ilmiah Indonesia di
jurnal internasional, terutama dibandingkan dengan negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pemerintah (dalam hal ini
Kementrian Ristekdikti maupun perguruan tinggi) membuat berbagai program
untuk mengakselerasi kuantitas dan kualitas penelitian serta publikasi ilmiah
agar dapat terdiseminasi di jurnal internasional.
Bahkan
bereputasi baik dalam bentuk kewajiban publikasi bagi penerima hibah
penelitian, pelatihan dan pendampingan penulisan, dan sebagai syarat untuk
kenaikan jabatan fungsional. Di samping itu, baik perguruan tinggi,
Kementrian Ristekdikti, maupun Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga
membuat program insentif yang nilainya cukup fantastis untuk artikel yang
terpublikasi di jurnal internasional bereputasi.
Yang
kemudian menjadi permasalahan dan perdebatan adalah terkait standar dan
kriteria untuk mengklasifikasikan suatu jurnal internasional dapat dikatakan
bereputasi. Seperti yang sudah diketahui secara umum, Kementrian Ristekdikti
saat ini menggunakan indeksasi dari Scopus (Elsevier) dan Web of Science
(Thompson Reuters) sebagai acuan. Demikian pula LPDP menggunakan dua acuan tersebut
dengan tambahan kriteria impact factor dan jumlah sitasi untuk memberikan
penghargaan publikasi internasional.
Hal
ini kemudian menimbulkan berbagai perdebatan. Di satu pihak, banyak yang
berargumen bahwa dua lembaga pengindeks tersebut memang yang paling kredibel
dan valid dalam menilai standar suatu jurnal dan paling layak digunakan
sebagai acuan di dalam dunia akademis. Di samping itu memang ada beberapa
lembaga pemeringkat perguruan tinggi, yang secara spesifik menggunakan Scopus
dalam beberapa standarnya seperti QS World University Rankings, di mana untuk
kategori kinerja dalam riset yang diukur dengan jumlah sitasi per paper
mengambil data dari Scopus.
Di
satu sisi, muncul argumen kontra yang mengatakan bahwa penggunaan Scopus
sebagai acuan utama penilaian kualitas suatu jurnal dan digunakan dalam
banyak aspek (kenaikan pangkat, insentif, dan kinerja dosen). Hal ini
menjadikan kita hanya sebagai pengikut (followers) dari lembaga asing dan
cenderung terjadi “penjajahan dalam dunia akademik”.
Kemudian
muncul di media sosial mengenai besarnya pendapatan tahunan Scopus (Elsevier)
dan Thompson Reuters yang dihasilkan dari berbagai unit bisnisnya termasuk
dalam indeksasi. Permasalahan selanjutnya, timbul ketika Jeffrey Beall,
seorang pustakawan dari University of Colorado Denver USA, membuat sebuah
blog yang di dalamnya memuat daftar publishers (penerbit jurnal) dan
standalone journals (jurnal-jurnal yang berdiri sendiri tidak menginduk
penerbit tertentu).
Jurnal
tersebut open access, yang dikategorikan sebagai berpotensi, dimungkinkan,
dan kemungkinan besar adalah penerbit dan jurnal predator. Beall menggunakan
beberapa standar untuk mengevaluasi apakah suatu penerbit atau standalone
journal dapat dimasukkan dalam daftar tersebut, yang secara umum adalah
terkait dewan editor dan staf redaksi, manajemen dan bisnis dari penerbit dan
jurnal, integritas dan kriteria-kriteria lain.
Perdebatan
di Indonesia kemudian kembali muncul terkait dengan keberadaan Bealls List
karena beberapa institusi menggunakan daftar ini sebagai acuan pula untuk
mengevaluasi kualitas suatu jurnal. Ada sejumlah jurnal yang terindeks di
Scopus, namun juga masuk dalam daftarnya Jeffrey Beall. Di satu sisi
keberadaan daftar ini cukup bagus karena memang memuat banyak jurnal dan penerbit
yang cenderung “money making“ dengan menerbitkan artikel di dalam jurnalnya
tanpa peer-review process yang rigid.
Tanpa
proses reviu, tetapi mengharuskan penulis untuk membayar sejumlah uang
tertentu untuk biaya publikasi. Namun, pada sisi yang lain, ada beberapa
pendapat yang menyebutkan bahwa Beall cenderung subjektif dalam menentukan
penerbit dan jurnal yang masuk dalam daftarnya. Saya beberapa kali
berkomunikasi dengan Jeffrey Beall terkait beberapa penerbit dan jurnal yang
ada di dalam daftarnya maupun yang belum ada di daftarnya.
Suatu
waktu saya pernah menanyakan ke beliau terkait jurnal terindeks di Scopus
yang memiliki proses reviu yang bagus dan tidak ada biaya publikasi (hanya
membayar biaya membership untuk setahun yang nilainya relatif cukup kecil),
tetapi masuk dalam Bealls List. Beall waktu itu meminta semua contoh proses
reviu dan menanyakan biaya publikasi.
Setelah
saya kirimkan semua, kemudian dia sampaikan bahwa jurnal tersebut tetap dia
pertahankan dalam daftarnya karena penerbit dari jurnal baru saja
mengakuisisi beberapa jurnal open access yang berkualitas rendah. Perlu pula
dicatat bahwa Bealls List ini dapat berubah (utamanya bertambah) setiap saat
yang juga menimbulkan ketidakpastian bagi yang menggunakannya sebagai acuan.
Kemudian
bagaimana sebaiknya kita menyikapi mengenai standar dalam evaluasi terhadap
jurnal internasional? Saat ini khususnya di kalangan sivitas akademika
perguruan tinggi di Indonesia, terjadi keresahan terkait hal tersebut yang
berujung pada debat-debat yang menghabiskan energi. Sebagai negara besar,
Indonesia seharusnya memiliki standar tersendiri dalam mengevaluasi kualitas
suatu jurnal internasional, yang tidak serta-merta mengacu pada indeksasi
atau daftar yang dikeluarkan lembaga di luar negeri.
Dalam
hal ini, standar publikasi ilmiah serta daftar jurnal internasional yang
diakui berdasarkan pada standar yang disusun tersebut dapat ditetapkan oleh
regulator (misalnya Kementrian Ristekdikti bekerja sama dengan LIPI). Untuk
menetapkan standar dan daftar jurnal yang diakui, diperlukan suatu tim yang
terdiri atas para pakar di masing-masing bidang (rumpun) ilmu yang sudah
berpengalaman dan kompeten dalam kaitan dengan publikasi di jurnal
internasional untuk menentukan kriteria/ standar serta kemudian menentukan
daftar jurnal internasional yang diakui berdasarkan pada standar-standar
tersebut.
Standard
dan daftar jurnal tersebut harus dievaluasi secara periodik misalnya setiap
dua atau satu tahun sekali. Keberadaan standar dan panduan tersebut akan
memberikan kejelasan dan kepastian khususnya bagi dosen dan mahasiswa
pascasarjana yang sangat didorong untuk publikasi di jurnal internasional
bereputasi. Beberapa negara juga menetapkan standar sendiri dalam menentukan
kualitas suatu jurnal dan membuat daftar yang menjadi acuan di negaranya.
Contohnya
Prancis, yang memiliki standar pemeringkatan jurnal tersendiri yang
dikeluarkan CNRS, suatu lembaga riset ilmiah negara. Contoh lain misalnya
Denmark, yang mendesain BFI (Danish Bibliometric Research Indicator), Brasil
yang memiliki Qualis, dan sebagainya.
Dapat
pula standar tersebut ditetapkan untuk masing-masing bidang ilmu misalnya
asosiasi dekan sekolah bisnis di Australia (ABDC) menetapkan standar
penilaian dan membuat ranking jurnal untuk bidang bisnis dan ekonomi. Ranking
tersebut kemudian dipakai sebagai acuan semua sekolah bisnis di Australia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar