Solusi Pencegahan Overkapasitas di Lapas
Romli Atmasasmita ;
Guru Besar Universitas
Padjajaran
|
KORAN SINDO, 14 Mei
2016
Menambah
jumlah bangunan lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk mencegah overkapasitas
penghuni narapidana bukan solusi satu-satunya dan komprehensif. Overkapasitas
penghuni di lapas yang mencapai lebih dari 50% di seluruh Indonesia merupakan
benih huru-hara (prison riots) karena sudah tidak memadai lagi. Baik dari
aspek keamanan, kenyamanan, ketertiban maupun dari aspek kesehatan dan
nutrisi para narapidana (napi). Yang pasti terjadi adalah penyakit menular
dan perilaku homoseksual, yang dibentuk karena kondisi kehidupan dalam lapas
yang sudah tidak manusiawi.
Contohnya
di Rutan/Lapas Cipinang, narapidana/tahanan tidur sambil berdiri sudah
merupakan pemandangan biasa. Begitu pula jatah biaya makan narapidana, 1
orang hanya Rp15.000 (rata-rata), tidak lagi dapat memenuhi syarat hidup
sehat. Bayangkan overkapasitas penghuni yang mencapai lebih dari 50, jatah
biaya makan napi Rp15.000 harus dibagi untuk 3 sampai dengan 5 napi.
Atau
terpaksa lapas berutang kepada rekanan, yang kemudian dilunasi dengan dana tahun
anggaran berjalan berikutnya. Alhasil pada tahun anggaran berikutnya lapas
sudah tidak memiliki dana yang cukup atau sama sekali nol dan berutang lagi
kepada rekanan. Sementara itu mesin hukum pidana bekerja sangat cepat dan
tidak ada jalur lambat ataupun pemberhentian di tengah jalan.
Karena
atas dasar undang-undang (KUHAP), diskresi tidak dimiliki penyidik dan
penuntut untuk menghentikan perkara di tengah proses, kecuali surat
penghentian penyidikan perkara (SP3) atau surat ketetapan penghentian penuntutan
(SKP2) yang persentasenya sangat kecil (0,005%) dari total perkara yang masuk
ke dalam sistem peradilan pidana.
Sebanyak
99% perkara berlanjut ke pengadilan dan berakhir di lapas, termasuk perkara
tipiring (tindak pidana ringan) dan perkara penipuan atau penggelapan yang
bisa diperdamaikan oleh para pihak. Jika dalam satu tahun total perkara
tipiring 100.000 perkara, akan terjadi mekanisme sistem peradilan pidana yang
berlaku. Sebanyak 100.000 perkara masing- masing dengan 2 atau 3 pelaku/
narapidana, total mencapai 200.000 atau 300.000 narapidana.
Bisa
dihitung biaya negara untuk narapidana yang bersangkutan selama dalam lapas.
Andai saja rata-rata dihukum 1 tahun, biaya negara menjadi 200.000 x Rp15.000
x 365 hari = Rp1.095.000.000.000 per tahun. Untuk 300.000 napi, total biaya
negara bertambah. Biaya negara untuk bahan makanan napi tersebut belum
dihitung dengan sarana fisik dan biaya pemeliharaan, termasuk kesehatan.
Seingat
saya, anggaran Kementerian Hukum dan HAM untuk Ditjen Pemasyarakatan dan
lapas di seluruh Indonesia mencapai 75% anggaran kementerian tersebut.
Ibaratnya, proses pemasyarakatan di lapas merupakan bagian hilir, maka sistem
peradilan pidana sejak proses penyidikan sampai sidang pengadilan bagian
hulunya.
Karena
itu bagian hilir akan terus-menerus terbebani oleh bagian hulu sistem
peradilan pidana. Solusi satu-satunya dan bersifat mendasar adalah orientasi
penegakan hukum pidana berujung di lapas harus diubah. Karena secara historis
dan teoretik kejahatan tidak dapat dihilangkan kecuali hanya dikurangi
seminimal mungkin.
Untuk
tujuan tersebut diperlukan mekanisme hukum untuk memulai dengan pendekatan
restoratif, lawan dari retributif (penjeraan). Pendekatan restoratif dapat
dilaksanakan untuk tindak pidana ringan atau tindak pidana yang merupakan
perselisihan yang bersifat individual. Penjeraan harus didayagunakan sebagai
ultimum remedium dan perdamaian melalui mekanisme restoratif yang merupakan
primum remedium.
Tujuan
ini dapat dicapai jika perubahan mendasar dalam jenis pidana sebagaimana
telah diatur dalam RUU KUHP, pidana kerja sosial, pidana denda, dan pidana
bersyarat ditingkatkan. Adapun pidana penjara hanya untuk perkara serius dan
berdampak luas seperti pembunuhan, pemerkosaan dan kejahatan terorganisasi.
Pola
pendekatan baru dalam bekerjanya sistem peradilan pidana yang saya sebut
pendekatan analisis ekonomi mikro dipastikan akan menghemat biaya negara
secara signifikan dan mengurangi beban anggaran negara (termasuk untuk
Kementerian Hukum dan HAM). Perubahan mendasar yang saya usulkan adalah
perubahan asas tentang kesalahan, tiada pidana tanpa kesalahan diganti dengan
“asas tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan”.
Asas
baru ini untuk mencegah negara secara tidak rasional dan tidak efisien selalu
memenjarakan tiap kejahatan sekalipun kejahatan ringan. Contoh kasus, Minah
mencuri buah semangka. Tentu pencurian melanggar Pasal 362 KUHP dengan
ancaman paling lama 5 tahun. Perbuatan Minah termasuk kejahatan dan bersalah.
Akan
tetapi apakah karena kesalahan Minah dia harus mendekam di dalam penjara
paling singkat satu hari atau paling lama lima tahun untuk satu buah
semangka? Asas baru ini juga akan memberikan keadilan dan kemaslahatan serta
menjauhkan kita dari ketidakadilan dan kemudaratan dalam upaya negara
menerapkan hukum dalam kehidupan masyarakat, yang belum terbebas dari
himpitan sosial ekonomi dan kemiskinan.
Apakah
asas baru ini dapat diterapkan pada semua kejahatan? Tentu tidak hanya
terbatas pada tindak pidana ringan saja. Dapat juga diterapkan pada kejahatan
lain dengan nilai kerugian yang tidak signifikan dan tergantung juga dari
pihak korban. Gagasan asas baru ini dapat diwujudkan jika ada perubahan KUHAP
dan KUHP, khususnya mengenai jenis pidana.
Jenis
pidana yang cocok dengan asas baru ini adalah pidana denda, pidana bersyarat,
pidana kerja sosial dan pidana penjara merupakan ultimum remedium . Akan
tetapi untuk kejahatan serius ancaman di atas empat tahun pidana penjara, hal
itu difungsikan sebagai primum remedium. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar