Sinkronisasi Pembangunan
Setyo Budiantoro ;
Peneliti Senior Perkumpulan
Prakarsa
dan Komisioner Pengawas Komisi
Anggaran Independen (KAI)
|
KOMPAS, 09 Mei 2016
Simpang siur
perencanaan dan penganggaran pembangunan telah memboroskan anggaran luar
biasa besar. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyadari hal ini dan
berupaya mengubah dengan haluan money follow program untuk pelaksanaan
pembangunan. Instruksi Presiden tentang Sinkronisasi Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Nasional kini sedang disiapkan. Ini adalah sebuah
langkah maju, tetapi problemnya sebenarnya jauh lebih luas dan mencakup tata
kelola keuangan negara.
Pedoman money follow function atau organization yang selama ini telah
”menjebak” anggaran justru diorientasikan untuk membiayai fungsi atau
organisasi birokrasi yang mahal untuk menjalankan kegiatannya. Kewenangan
yang luas kementerian dan lembaga melalui prinsip let managers manage semakin memfasilitasi hal tersebut. Melalui
privilese itu, para ”manajer” dengan diskresinya diberi kewenangan untuk
mengelola berbagai sumber daya baik keuangan maupun non-keuangan.
”Lost in translation”
Atas nama melancarkan
fungsi kelembagaan dan organisasi, biaya rutin menjadi membengkak. Belum lagi
permainan terminologi yang kabur dalam kegiatan pembangunan. Istilah
”pengembangan kapasitas”, misalnya, penerjemahannya sangat lentur. Kegiatan
yang dilakukan bisa menjadi seminar di hotel dengan perjalanan dinas yang
sering kali digelembungkan (mark up)
jumlah harinya. Atau, halaman parkir lembaga pemerintahan tersulap menjadi
showroom mobil mewah.
Parahnya lagi, tidak
adanya standar penyeragaman penggunaan fasilitas negara membuat para pejabat
berinterpretasi sendiri. Kelembagaan atau daerah yang anggarannya besar,
kendaraan mereka jauh lebih mewah dibandingkan yang lain. Ruang kerja pun
demikian. Jangan heran jika ditemukan ruang kerja pejabat mengalahkan
fasilitas hotel bintang lima. Kamar tidur, kamar mandi, home theater, dan karpet yang semuanya bernuansa mewah berikut
televisi datar layar lebar akan bisa ditemui atas nama ”pengembangan
kapasitas”.
Ibarat membangun
rumah, money follow
function/organization mengakibatkan ongkos membayar tukang jauh lebih
mahal daripada biaya bahan bangunan. Di beberapa daerah, anggaran untuk
birokrasi bahkan mencapai 90 persen dari APBD. Luar biasa, seperti zaman
kerajaan. Rakyat membayar upeti hanya untuk membiayai pangreh praja.
Problem lain yang
tidak kalah hebatnya dalam pemborosan uang negara adalah ketidaksesuaian
perencanaan, penganggaran, dan dampak pembangunan. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) pasca reformasi dipotong kewenangannya hanya
pada fungsi perencanaan bersifat umum, untuk perencanaan teknis atas nama
prinsip let the managers manage, maka kementerian dan lembaga terkait menerjemahkan.
Selain itu, fungsi penganggaran (budget
power) juga diambil alih oleh kementerian keuangan.
Keterlepaskaitan
perencanaan dari penganggaran membawa konsekuensi besar. Fungsi Bappenas
sebagai dirigen, menjaga orkestrasi dan sinkronisasi pembangunan, menjadi
hilang. Sementara itu, kementerian/ kelembagaan teknis lebih fokus pada tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing, misalnya kementerian kesehatan akan
fokus pada program kesehatan, demikian juga kementerian pekerjaan umum akan
lebih fokus pada infrastruktur, serta yang lainnya.
Celakanya, persoalan
masyarakat bersifat multidimensi. Problematika kematian ibu melahirkan,
misalnya, belum tentu hanya persoalan kesehatan, tetapi bisa jadi karena soal
infrastruktur jalan yang buruk atau sarana transportasi ke layanan kesehatan
tidak ada. Pembangunan waduk telah dilakukan, tetapi ternyata sarana irigasi
belum disiapkan. Terminal bus yang megah dibangun, tetapi tidak ada satu pun
bus yang datang karena infrastruktur jalan tidak memadai. Pelabuhan dibangun,
tetapi listrik minim dan infrastruktur jalan buruk.
Persoalan-persoalan
tersebut terlihat ”konyol”, tetapi benar-benar terjadi akibat sinkronisasi
pembangunan tidak terjadi. Kementerian/lembaga terkait seperti mengenakan
”kacamata kuda” akibat mereka ”terpasung” tupoksi yang diukur kinerjanya
berdasarkan program dan aktivitas yang direncanakan. Jika mereka tidak
mengerjakan sesuai rencana, dinilai kinerjanya buruk meskipun aktivitas lain
lebih penting atau mendesak seharusnya dikerjakan. Akibatnya ironis, anggaran
sukses dibelanjakan, tetapi persoalan tetap saja tak teratasi.
Anggaran berbasis kinerja keuangan
Kementerian Keuangan
memiliki kewenangan yang besar dalam pengalokasian anggaran. Kementerian
Keuangan menggunakan prinsip anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) untuk alokasi anggaran. Secara
normatif, prinsip ini terlihat baik dan netral, tetapi sebenarnya bisa juga
menyesatkan.
Dalam kacamata
keuangan, ukuran keberhasilan kinerja tolok ukurnya adalah kemampuan penyerapan
atau membelanjakan anggaran. Pada perspektif tersebut, apakah kegiatan atau
program yang dibiayai selaras dengan tujuan besar yang akan dicapai bukanlah
prioritas. Sinkronisasi program antar-kelembagaan pemerintah juga kurang
menjadi pertimbangan. Kinerja keuangan menjadi landasan utama penilaian, jika
tidak mampu menyerap anggaran, kinerja lembaga dianggap buruk.
Ironisnya, apabila
program mampu dikerjakan dengan biaya yang lebih murah dan efisien dengan
tanpa mengurangi kualitas, lembaga itu juga bisa dianggap berkinerja kurang
memuaskan. Penghematan dapat dikategorikan sebagai penyerapan anggaran yang
tidak memuaskan. Sungguh celaka, prestasi efisiensi justru dianggap sebagai
berkinerja buruk. Inilah hal pelik yang perlu dipecahkan. Anggaran berbasis
kinerja perlu diperluas interpretasinya bukan hanya dari sisi keuangan.
Revitalisasi Bappenas
Seperti dijelaskan di
atas, penerjemahan money follow program untuk mengatasi persoalan
multidimensi masyarakat membutuhkan dirigensi dan sinkronisasi program
pembangunan. Peran Bappenas perlu dikembalikan lagi dengan tambahan wewenang
baru, bukan hanya pada perencanaan, melainkan juga penganggaran. Tanpa ada
peran penganggaran, Bappenas hanya akan menjadi macan ompong karena institusi
pemerintah lain lebih takut pada Kementerian Keuangan yang mempunyai otoritas
anggaran.
Secara tata kelola
keuangan, perubahan tersebut juga diperlukan mengingat ”beban” Kementerian
Keuangan juga terlalu besar. Kementerian Keuangan, kini, di samping mempunyai
tugas di bidang penganggaran, juga bertugas mengoptimalkan penerimaan (pajak)
dan sekaligus sebagai bendahara. Lazimnya di negara-negara lain, ketiga
kewenangan tersebut biasanya dikelola tiga lembaga yang berbeda. Ketiga
kewenangan yang dirangkap satu kelembagaan ini sangat rawan karena fungsi check and balances menjadi lemah.
Bappenas adalah institusi yang bisa melihat persoalan pembangunan dengan
kacamata helicopter view atau perspektif lebih luas daripada
kementerian/lembaga bersifat teknis. Oleh karena itu, bukan hanya sinkronisasi
dan sinergi lintas kementerian saja yang perlu dilakukan. Bappenas juga bisa
memastikan agar tidak ada hal penting yang terlupakan atau terlewatkan dalam
program pembangunan kementerian/lembaga.
Di samping
penganggaran, fungsi monitoring dan evaluasi Bappenas untuk memantau kinerja
program pembangunan juga perlu diperkuat. Kemampuan dan sistem untuk
mengevaluasi program bukan hanya ketika tahun anggaran berakhir, melainkan
juga vital perlu ditingkatkan. Ini meliputi melakukan trouble shooting ketika
program sedang berjalan dan segera merekomendasikan perbaikan (fixing) agar
terhindar pemborosan anggaran berkelanjutan hingga akhir tahun anggaran.
Terakhir, konsekuensi
kewenangan Bappenas diperluas sehingga sistem pengawasan juga perlu ditingkatkan.
Selama ini, tidak pernah terjadi pejabat Bappenas ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Jangan sampai ketika fungsi penganggaran
diberikan, para pejabat Bappenas menjadi ”pasien baru” KPK. Ini bukan
main-main karena Bappenas akan mengelola Rp 2.000 triliun anggaran, sistem
pencegahan korupsi perlu didesain bersama KPK, kepolisian, kejaksaan, serta
PPATK. Mesti dipastikan, agar setiap rupiah uang negara digunakan untuk
membiayai pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar