Prolegnas Anti-korupsi
Giri Ahmad Taufik ; Pengajar
STH Jentera dan Peneliti PSHK
|
KOMPAS, 03 Mei
2016
Perdebatan revisi UU Komisi
Pemberantasan Korupsi berakhir anti klimaks setelah kurang lebih enam bulan
sejak usulan revisi tersebut digulirkan pada Oktober 2015. Presiden dan DPR
akhirnya mengambil keputusan menunda pembahasan revisi UU KPK.
Keputusan ini problematik karena
menandakan kegagalan Presiden dan DPR untuk melihat politik legislasi
nasional anti korupsi secara menyeluruh dan utuh. Pada level legislasi,
persoalan pemberantasan korupsi saat ini bukan terletak pada UU tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), tetapi pada mandeknya
Program Legislasi Nasional dalam mendorong proses pemberantasan korupsi (Prolegnas
Anti-korupsi).
Perlu diakui, pemberantasan
korupsi pada saat ini berjalan lambat. Dalam kurun 12 tahun sejak berlaku
efektifnya UU KPK tahun 2003, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tidak
mengalami peningkatan signifikan. Pada 2003 nilai IPK Indonesia adalah 19
dari total nilai 100, hanya naik 17 angka dengan nilai 36 pada 2015.
Lambatnya pemberantasan korupsi
diperparah oleh disorientasi kebijakan Presiden dan DPR yang berfokus pada
revisi UU KPK, sehingga menyebabkan mandeknya inisiatif kelanjutan Prolegnas
Anti-korupsi. Prolegnas Anti-korupsi adalah arahan kebijakan yang sistematik
merencanakan kebutuhan pembentukan atau revisi peraturan perundang-undangan
untuk mendukung Indonesia bebas korupsi, yang digariskan di dalam TAP MPR No
VIII/MPR/2001.
Revisi
UU KPK
Salah satu argumentasi utama dalam
mendorong revisi UU KPK adalah adanya anggapan kinerja KPK yang gagal dalam
mendorong pemberantasan korupsi. Pandangan ini tentu saja sangat naif dan
tidak berdasar. Pada kurun 2004-2014,
jika dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki, KPK telah secara efektif
menjalankan mandatnya.
Hal ini dapat dilihat pada data
statistik kinerja KPK 2004-2014. Pada kinerja bidang penindakan, KPK telah
berhasil menyelesaikan 321 perkara tindak pidana korupsi dan mengembalikan
kerugian negara sebesar Rp 873.681.601.543. Pada kinerja pencegahan, KPK
berhasil mendorong transparansi pejabat negara dengan mengumumkan 148.355
laporan harta kekayaan penyelenggara negara dan menyetorkan uang negara dalam
pengendalian gratifikasi sebesar Rp 24.408.869.502.
Selain dalam bentuk pendapatan
negara bukan pajak langsung, bidang pencegahan KPK juga mengembangkan program
pencegahan penertiban barang milik negara. Bekerja sama dengan instansi
pemerintah dan BUMN, secara akumulatif pada kegiatan 2009, 2010, dan 2011
berhasil mencegah hilangnya aset negara kurang lebih Rp 152 triliun (Sumber,
Pengolahan Laptah KPK 2004-2014).
Selain persoalan kinerja KPK,
salah satu argumentasi lain yang sering dilontarkan adalah kegagalan KPK
menjadi trigger mechanism pemberantasan korupsi. Hal ini tentulah tidaklah
berdasar. Dalam kurun 2004-2014, KPK mendapatkan 75.395 pengaduan masyarakat,
di mana KPK hanya menangani 8 persen dari pengaduan tersebut secara internal.
Selebihnya 12 persen diteruskan kepada instansi lainnya (inspektorat lembaga,
kepolisian, Ombudsman RI, kejaksaan, dan lain lain) serta 80 persen pengaduan
dikembalikan kepada pelapor untuk dilengkapi.
Pada sisi koordinasi dan
supervisi, KPK melaksanakan koordinasi lebih dari 11.361 perkara di
kepolisian dan kejaksaan. Dari sejumlah perkara tersebut, KPK melakukan
supervisi (gelar perkara, analisis, dan jawaban permintaan bantuan
penyidikan) sebanyak 2.006 perkara, melaksanakan pelimpahan perkara sebanyak
111 perkara, dan melakukan pengambilalihan perkara sebanyak dua perkara
(Sumber: Pengolahan Laptah KPK 2004-2014).
Namun demikian, bukan berarti
tidak terdapat persoalan pada sisi kinerja KPK. Pada beberapa kasus terdapat
indikasi pengabaian hak-hak tersangka yang dilakukan KPK. Bentuk- bentuk
pelanggaran tersebut juga banyak dilakukan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini
menandakan bahwa titik persoalannya bukanlah pada KPK secara institusi yang
harus diselesaikannya dengan revisi UU KPK, tetapi penyelesaian dilakukan
dengan melakukan reformasi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Kebijakan
Prolegnas Anti-korupsi
Prolegnas Anti-korupsi berisikan
rencana pengembangan peraturan untuk mendorong kegiatan pemberantasan korupsi
secara sistematis. Keberadaan Prolegnas Anti-korupsi digariskan di dalam TAP
MPR No VIII/MPR/2001. Hal ini menandakan para perumus strategi awal
pemberantasan korupsi menyadari bahwa kerja pemberantasan korupsi merupakan
kerja sistemik yang tidak dapat dibebankan kepada satu institusi semata (KPK), tetapi juga
elemen pemerintahan lainnya.
Berdasarkan kajian penulis,
sedikitnya terdapat tiga revisi dan satu pembentukan UU baru yang perlu
dilaksanakan dalam kebijakan Prolegnas Anti-korupsi. UU tersebut adalah
revisi UU Kepolisian, revisi UU Kejaksaan, revisi KUHAP, pembentukan UU
terkait perampasan harta kekayaan yang tidak sah (illicit enrichment), dan revisi RUU Tindak Pidana Korupsi.
Revisi UU Kepolisian dan UU
Kejaksaan jadi relevan dalam Prolegnas Anti-korupsi karena ditujukan
reformasi kelembagaan untuk meningkatkan kinerja, sekaligus menekan
praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam kedua lembaga
tersebut. Revisi KUHAP menjadi strategis dalam perspektif Prolegnas
Anti-korupsi ketika desain KUHAP ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas
penegakan hukum, sehingga meminimalkan praktik korup pada sistem peradilan
pidana Indonesia.
Adapun pembentukan UU illicit enrichment juga tak kalah
strategisnya. UU illicit enrichment
memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan penyitaan/perampasan aset
bagi pejabat publik yang memiliki harta kekayaan yang tidak wajar dan tidak
dapat menunjukkan asal-usul harta tersebut berasal. Hal ini berbeda dengan
TPPU yang menekankan pada kriminalisasi perbuatan menyembunyikan hasil
kejahatan.
Terakhir, revisi UU Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) diperlukan untuk memasukkan beberapa konsep kejahatan
korupsi yang belum tercakup secara eksplisit di UU Tipikor, di antaranya
Trading of Influence, korupsi sektor swasta, termasuk di dalamnya
meredefinisikan ulang tindak pidana korupsi dalam rangka mencegah
kriminalisasi kebijakan.
Berdasarkan hal tersebut, sudah
selayaknya bila Presiden dan DPR menghapuskan revisi UU KPK dari Prolegnas,
untuk kemudian mengalihkan energi dan sumber daya yang ada guna mendorong
kelanjutan kegiatan Prolegnas Anti-korupsi berdasarkan TAP MPR No
VIII/MPR/2001. Presiden bersama-sama dengan DPR sebaiknya berfokus untuk
segera melaksanakan revisi UU Kepolisian, Kejaksaan, KUHAP, UU Tipikor, dan
membentuk UU tentang illicit enrichment, sebagai komitmen dan dukungan upaya
pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar