Perlindungan Anak dan Kita
Asrorun Niam Sholeh ;
Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
09 Mei 2016
RAKYAT Indonesia kembali
berduka karena seorang siswi SMP Negeri 5 Padang Ulak Tanding, Kabupaten
Rejang Lebong, Bengkulu, kehilangan nyawa secara tragis. Dia meregang nyawa
setelah diperkosa 14 pelaku, di antaranya anak-anak. Kasus itu sekaligus
menambah deretan panjang kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Belum hilang
dari ingatan kita tentang pembunuhan anak di Bali dan Kalideres, wajah
perlindungan anak kini kembali tercoreng dan ternoda.
Sesuai dengan investigasi
kepolisian dan pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pelaku
terpengaruh minuman keras dan kerap menonton video porno. Dua penyakit
masyarakat itu terbukti kembali menjadi penyebab segala tindak kriminalitas.
Ini menjadi bukti pentingnya kehadiran negara dalam melarang peredaran
minuman beralkohol karena selama ini barang haram itu sangat mudah diakses
masyarakat, bahkan anak. Sayangnya, instrumen hukum yang ada, yaitu ancaman
pelaku pidana mabuk-mabukan di depan hukum, sesuai dengan Pasal 386 KUHP,
hanya 3 hari. Itu sangat tidak promasyarakat, apalagi anak. Jika menyelisik
kasus itu, pengesahan UU Larangan Minuman Beralkohol menjadi keharusan yang
mendesak.
Bagaimana bisa anak-anak
menjadi pelaku kejahatan sebrutal itu? Siapa role model yang mereka tiru
selama ini? Pendidikan seperti apa yang ditanamkan orangtua sehingga mereka
berani melakukan tindakan keji itu?
Kita tentu mengutuk para
pelaku dan sangat bersimpati pada keluarga korban. KPAI telah mengirim tim ke
Bengkulu untuk mengawal kasus itu agar berjalan sesuai dengan koridor hukum
dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Gerakan
semesta
Jika Kementerian Pertahanan
memiliki gagasan Bela Negara, KPAI menawarkan Doktrin Semesta Perlindungan
Anak. Doktrin itu masuk ke semua lini kehidupan manusia dan menjadi `mata
kuliah wajib' di pemerintahan, perguruan tinggi, sekolah, swasta, pelaku
usaha, termasuk me dia massa, hiburan, dan keluarga sebagai pranata sosial
terkecil.
Doktrin itu lahir dari
semakin besarnya ancaman terhadap anak dengan berbagai kasus pembunuhan yang
diawali dengan pemerkosaan terhadap anak.
Doktrin itu menjadi
semacam komponen cadangan yang melibatkan masyarakat dalam posisi dan
kapasitas masing-masing serta memiliki andil dan kontribusi dalam mewujudkan
perlindungan anak. Ini menjadi gerakan nasional yang menggugah kesadaran
untuk lebih penting mengawasi anak-anak kita dari ancaman yang kian kompleks
dan menakutkan.
Sebagai Ketua KPAI, saya
ingin mengajak seluruh pihak untuk menjadikan peristiwa ini sebagai momentum
penting melawan ke kerasan terhadap anak. Rakyat Indonesia membutuhkan
holistis perlindungan anak yang dijadikan doktrin semesta yang mencakup
seluruh kehidupan masyarakat. Penyelenggaraan perlindungan anak harus menjadi
cara pandang baru (new world view)
yang masuk secara integral ke semua aspek kehidupan, baik agama, ekonomi,
politik, sosial, hukum, media massa, maupun budaya. Perlindungan anak menjadi
perspektif baru dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tokoh agama harus memasukkan
perlindungan anak ke materi dakwah mereka demi masa depan bangsa dan negara.
Begitu pula aspek ekonomi, para pengusaha harus memiliki cara pandang dan
perspektif tentang pentingnya perlindungan anak, jangan sekadar mengejar
keuntungan. Dalam kasus game online, misalnya, pengusaha harus memproduksi
permainan yang ramah anak. Jangan sampai anak-anak terpapar pornografi,
kekerasan, pencabulan, ataupun perjudian yang berakibat buruk pada kehidupan
keseharian mereka.
Hal ini terbukti pada
kasus di Rejang Lebong itu, yaitu para pelaku ternyata gemar menonton
pornografi sehingga melakukan perbuatan nista itu. Begitu pula dengan
peredaran minuman keras, pemerintah dan pengusaha harus secara tegas melarang
peredaran minuman keras.
Para hakim pun demikian.
Mereka seharusnya mem pertimbangkan dan menggunakan UU Perlindungan Anak
dalam proses vonis pelaku kekerasan terhadap anak. Dalam beberapa kasus,
masih ditemukan pelaku kekerasan anak divonis lebih ringan jika dibandingkan
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan UU No 35 Tahun 2014. Efek jera harus
menjadi landasan pemberat an hukuman yang mencerminkan fungsi hukum sebagai
sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman
serta perbuatan yang membahayakan.
Pemberatan hukuman dibutuhkan untuk
menimbulkan efek jera yang dalam teori hukum Islam dikenal dengan prinsip al-zawajir wa al mawani (penjera dan
pencegah).
Aspek sosial budaya juga
memiliki peran besar dalam tumbuh kembang anak. Media massa memiliki tanggung
jawab untuk melahirkan anutan-anutan yang berdampak positif terhadap
anak-anak. Jangan biarkan anak memilih contoh yang salah dan akhirnya meniru
perilaku buruk role model yang salah itu. Tayangan kekerasan harus
diminimalkan, sungguh pun dengan dalih niat agar tidak diikuti.
Terakhir, aspek politik
memiliki peran strategis untuk mewujudkan holistis perlindungan anak. Wacana
pemberatan hukuman melalui kebiri yang sudah diputuskan dalam rapat terbatas
dengan presiden hingga saat ini belum juga terealisasi. Perlu berapa kasus
lagi untuk membuktikan Indonesia membutuhkan landasan perundang undangan yang
mendesak untuk melindungi anak-anak? Apakah kasus YY ini tidak cukup un tuk
menyebut kasus kekerasan anak sebagai extraordinary
crime? Holistis perlindungan anak menjadi salah satu metode untuk
melindungi anak dari berbagai aneka kejahatan yang kini semakin menggurita
dan membahayakan.
Psikologi
perkembangan
Dalam teori psikologi,
istilah pertumbuhan dan perkembangan didefinisikan secara berbeda. Pertumbuhan
senantiasa diidentikkan pada perubahan fisik, sedangkan perkembangan
ditekankan pada perubahan psike. Definisi itu menunjukkan manusia memang
terdiri atas dua aspek penting, fisik dan psike. Jika salah satu tidak tumbuh
atau berkembang dapat dipastikan individu itu mengalami gangguan tumbuh
kembang.
Jika ditarik pada isu
perlindungan anak tumbuh kembang memiliki peran yang sama penting. Tidak
boleh ada yang berat sebelah atau kurang sebelah. Oleh sebab itu, dalam
banyak kesem patan, saya senantiasa mengingatkan orangtua untuk selalu
memperhatikan tumbuh kembang anak. Hal itu berkaitan erat dengan kesehatan
fisik dan psike mereka. Jika aspek fisik tidak diperhatikan, tumbuh anak akan
terganggu, seperti kurang gizi atau malanutrisi. Begitu pula dalam aspek
perkembangan, jika kurang dipenuhi, itu akan melahirkan generasi yang abai
terhadap etika dan nilai moralitas.
Agama mengajari setiap
anak yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci. Perkembangan spiritualitas
anak merupakan proses internalisasi dari norma-norma lingkungan dan
kematangan dari sudut organik biologis. Hal itu dapat dipahami, pertumbuhan
fisik anak yang semakin baik akan memberikan pengaruh yang baik pula pada
perkembangan psikenya.
Orangtua sebagai
lingkungan terdekat anak memiliki pengaruh sangat besar. Dari ayah dan
bundanya, anak menjalani fase rangsang jawaban yang dipelajari. Seberapa
besar anak belajar dari orangtuanya bergantung pada pendidikan yang
diberikan. Pertumbuhan dan perkembangan anak bersangkut paut dengan
bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan atau kaidah yang ada
dalam lingkungan hidup.
Nilai-nilai kebaikan yang
diserap anak dikategorikan berhasil jika dia mampu menginternalisasikan
kaidah kaidah kehidupan yang menjelma dalam agama, prinsip hidup ataupun
nilai moralitas universal, dan itu bisa diperlihatkannya dalam perilaku yang
terus-menerus dalam kesehariannya. Perkembangan psikis anak melalui interaksi
sosial memiliki corak yang khusus, yakni melalui aktivitas pribadi yang
besar.
Untuk mencapai kemungkinan
yang tertinggi dari tahapan perkembangan psike, anak harus dirangsang agar
lebih aktif atau tidak. Role model (suri teladan) memainkan peran penting
karena anak bertingkah laku sesuai de ngan nilai-nilai moralitas yang
diperlihatkan orang-orang di sekelilingnya.
Artinya, perilaku anak
selama hidupnya, bahkan hingga dia dewasa, sangat bergantung pada bagaimana
dia bisa menyerap nilai-nilai kebaikan dari orang-orang terdekatnya. Ini
tentunya bergantung pula pada bagaimana pola asuh anak selama tumbuh kembang
mereka. Jika itu baik, bisa dipastikan anak akan memiliki kemampuan
memperlihatkan prinsip-prinsip kebaikan dalam hidupnya. Jika itu buruk, dia
akan terjungkal dalam jurang keburukan dan sangat sulit untuk mengubahnya
meski hal itu bukan sesuatu yang mustahil.
Penjelasan itu menjadi
rangkaian yang saling berkaitan dan tidak boleh terputus. Saya
mendefinisikannya sebagai holistis perlindungan anak. Mengapa disebut
demikian? Dari 240 juta penduduk Indonesia, jumlah anak saat ini mencapai
lebih 80 juta jiwa. Artinya, sepertiga rakyat Indonesia ialah anak-anak yang
tentunya sangat menentukan seperti apa wajah negara kita di masa depan.
Holistis perlindungan anak
merupakan upaya menyeluruh yang melibatkan berbagai elemen untuk
menyelenggarakan perlindungan anak dari berbagai aspek kehidupan. Orangtua,
keluarga, masyarakat, negara, dan pemerintah merupakan pilar perlindungan
anak yang saling berkaitan. Lima pilar ini saling menopang untuk melindungi
anak mulai dari hilir hingga hulu.
Orangtua memang yang
paling utama dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Namun, harus dipahami
bahwa orangtua bukan satu-satunya yang bertanggung jawab melindungi anak.
Ketika anak di jalanan, yang bertanggung jawab atas perlindungan anak ialah
masyarakat.Begitu pula ketika mereka di sekolah, yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan perlindungan anak ialah guru dan pengelola sekolah.
Sementara itu, pemerintah dan negara
memiliki peran besar dalam melindungi anak karena posisi mereka sangat
strategis. Pemerintah ialah pihak yang memiliki kewenangan besar dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar