Kemendikbud dan Kebijakan "Tidak Mau
Ambil Pusing"
M Hilmi Setiawan ; Wartawan
JAWA POS
|
JAWA POS, 25 April
2016
AMANAT UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Gurdos) jelas
menyebut guru sebagai pendidik profesional. Tugas utamanya mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Layaknya profesi lain, guru memiliki tanda pengakuan
keprofesionalan mereka, yakni sertifikat profesi guru. Untuk mendapatkan
sertifikat itu, ada tiga skenarionya. Skenario tersebut merujuk status guru
yang bersangkutan.
Pertama, guru yang sudah mengajar sebelum UU Gurdos itu
diterbitkan pada 2005. Untuk guru kelompok ini, skema pemberian sertifikasi
dilakukan dengan cara portofolio. Guru wajib membuat portofolio sebagai cerminan
perhitungan rekam jejak profesi mereka. Mulai mengikuti seminar, melakukan
penelitian tindakan kelas, menyusun rencana pembelajaran, dan sejenisnya.
Proses sertifikasi guru melalui sistem portofolio ini
kemudian diubah dengan sistem pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG).
Guru-guru wajib mengikuti kursus singkat menjadi guru. Durasinya 90 jam
pelajaran atau 10 hari. Di ujung kursus singkat menjadi pendidik itu, guru
diuji.
Kelompok kedua adalah guru yang diangkat mulai 2006 sampai
2015. Guru-guru pada periode ini menjalani sertifikasi profesi guru dengan
cara yang agak sulit. Memakan waktu lama. Namanya pendidikan profesi guru
(PPG).
Guru yang mengikuti PPG dididik setahun. Dengan beban
belajar sebanyak 36 SKS. Guru yang sudah senior dengan jam terbang tinggi
disetarakan sudah memiliki 10 SKS. Sehingga tinggal menyelesaikan 26 SKS.
Sistem PPG ini diakui lebih bagus ketimbang PLPG yang singkat.
Kelompok terakhir adalah guru yang lulus kuliah 2016 atau
sedang kuliah. Guru-guru itu akan mengikuti PPG dalam satu paket dengan
perkuliahannya. Dengan sistem ini, mahasiswa yang lulus otomatis sudah
mendapatkan sertifikat profesi guru. Tentu dengan catatan lulus ujian profesi
di pengujung studi.
***
Persoalan muncul ketika Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan (Ditjen GTK) mengeluarkan surat tertanggal 19 April 2016. Di
dalam surat yang diteken Dirjen GTK Sumarna Surapranata itu, Kemendikbud
mengeluarkan keputusan penting.
Keputusan tersebut mengubah skenario yang sudah digariskan
pada rezim sebelumnya. Kini Kemendikbud menyamakan treatment antara guru-guru
yang diangkat sebelum 2005 (kelompok pertama) dan guru pengangkatan 2006-2015
(kelompok kedua).
Dua kelompok guru itu cukup mengikuti PLPG untuk
mendapatkan sertifikasi profesi. Tentu kebijakan tersebut akan disambut
senyum gembira guru-guru kelompok kedua. Mereka tidak perlu bersusah-susah
mengikuti pendidikan guru profesional selama setahun atau 36 SKS. Mereka
cukup mengikuti kursus singkat sepuluh hari.
Di surat itu juga dijabarkan tanggungan sertifikasi guru
yang harus dituntaskan Kemendikbud. Untuk kelompok pertama, masih ada 116.770
orang guru yang belum disertifikasi. Sedangkan di kelompok kedua, tercatat
ada 438.697 guru yang belum. Sehingga total ada 555.467 guru yang belum
disertifikasi. Padahal, deadline-nya harus tuntas paling lambat 2015.
***
Menghapus skema PPG, lantas mengganti dengan PLPG untuk
kelompok guru kedua tentu kebijakan populer. Tidak akan menimbulkan gejolak.
Bahkan, Mendikbudnya, Anies Baswedan, bakal dipuji-puji guru.
Namun, skema itu bisa disebut sebagai kebijakan
"tidak mau ambil pusing". Kebijakan yang menghindari masalah.
Tetapi juga menghindari kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas guru.
Ditilik dari agregat mana pun, pendidikan profesi berdurasi sepuluh hari
dengan setahun, jauh lebih bagus yang setahun.
Kemendikbud seharusnya mempelajari dulu mengapa saat itu
diambil kebijakan dua cara sertifikasi guru. Guru yang disertifikasi dengan
cara PLPG tentu dari sisi usia lebih senior. Dari kesenioran itu, pengalaman
mengajar mereka tentu juga lebih banyak. Jadi, cara sertifikasi yang lebih
efektif adalah pelatihan singkat.
Namun, untuk guru yang baru diangkat 2006 sampai 2015
tidak demikian. Mereka rata-rata baru diangkat. Jam terbang mengajarnya masih
sedikit. Jadi, tidak tepat ketika mereka disertifikasi dengan cara PLPG.
Kemendikbud mengambil keputusan mengganti skema PPG
menjadi PLPG tepat setelah muncul wacana pungutan biaya sertifikasi. Guru
yang diangkat mulai 2006 sampai 2015 harus menyiapkan sendiri biaya
sertifikasi PPG sekitar Rp 14 juta. Tak ingin polemik itu tambah panjang,
diputuslah langkah penggantian sistem sertifikasi.
Sejatinya urusan biaya PPG yang diperkirakan Rp 14 juta
per orang itu tidak elok jika lantas mengalahkan semangat peningkatan
kualitas guru. Pemerintah bisa melakukan strategi untuk mengatasinya.
Misalnya dengan menggandeng perbankan untuk pembiayaan itu. Skemanya bisa
dengan uang talangan kepada guru. Uang talangan tersebut nanti dibayar guru
setelah menerima tunjangan profesi guru (TPG).
Guru yang nanti mendapatkan TPG, sebesar satu kali gaji
pokok, tidak akan keberatan melunasi dana talangan. Kalaupun dirasa dana
talangan itu tidak pas, pemerintah bisa menalangi dulu biaya PPG. Kemudian,
pemerintah nanti memotong pencairan TPG untuk melunasi cicilan biaya PPG. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar