Kabar Damai dari Singkil
Teuku Kemal Fasya ;
Dewan Pakar Pimpinan Wilayah
Nahdlatul Ulama Aceh; Fasilitator Dialog Kerukunan dan Perdamaian Umat
Beragama Aceh Singkil
|
KOMPAS, 07 Mei 2016
Pada 21-23 April lalu
terlaksana ”Dialog Kerukunan dan Perdamaian” antarumat beragama Aceh Singkil.
Acara diwujudkan di Kota Subulussalam karena alasan keamanan dan kenyamanan.
Subulussalam adalah bagian dari Kabupaten Aceh Singkil sebelum menjadi daerah
otonom pada 2 Januari 2007.
Sejak kerusuhan 13
Oktober 2015, Singkil masih rawan, terutama ketika pengadilan mulai menyeret
pelaku kerusuhan baik dari pihak Muslim maupun Kristiani. Acara ini
difasilitasi oleh Abdurrahman Wahid Centre Universitas Indonesia.
Langkah kecil bermakna
Acara ini tidak hanya
mempertemukan umat Islam dan Kristen dalam satu forum, juga menghasilkan tiga
rekomendasi. Pertama, pentingnya menjaga perdamaian dan menjauhi segala
langkah permusuhan yang bisa melukai perasaan. Kedua, kesadaran bahwa Singkil
adalah satu garis kekerabatan yang harus terus dinaungi semangat Bhinneka
Tunggal Ika. Ketiga, mengedepankan pendekatan hukum dalam menyelesaikan
perselisihan.
Hampir semua
menyetujui kesepakatan itu. Bahkan, ”deklarasi damai” dibacakan langsung oleh
Ustadz Fahmi Iskandar, Ketua Front Pembela Islam Kota Subulussalam!
Pasca-kerusuhan tahun
lalu, inilah pertemuan pertama yang berhasil mempertemukan komunitas Muslim
dan Kristiani secara langsung. Selama ini pola komunikasi tidak pernah rata
semeja. Apa yang selama ini disebut dialog hanya rekahan monolog karena
dilakukan terpisah kamar. Efek pola komunikasi seperti itu hanya menyuburkan
prasangka dan klaim kebenaran.
Problem lain yang
menyebabkan dialog damai tak kunjung hadir di Singkil adalah belum adanya
mediator netral dan adil sehingga kedua pihak nyaman berbicara. Menyerahkan
kepada pemerintah daerah sebagai wasit untuk mempertemukan dua kelompok jelas
mustahil. Pemerintah lokal ikut ditabal sebagai pihak berkonflik. Pemerintah
pusat pun terkesan hanya mendedahkan retorika tanpa aksi konkret. Menko
Polhukam berkali-kali berjanji untuk turun ke Singkil, tetapi tidak pernah
terealisasi.
Namun, Singkil
telanjur dituduh sebagai daerah intoleran. Tuduhan-tuduhan itu terasa
menyakitkan karena masyarakat umum bukanlah pelaku konflik. Hasil riset saya
menunjukkan, pihak Muslim dan Kristiani sangat berhasrat pada rekonsiliasi.
Mereka ingin merekatkan kembali yang telah retak, menyusuri jalur kekerabatan
yang berbeda agama, dan memunculkan puisi-puisi persaudaraan.
Sejak awal, metode
dialog dilakukan secara emansipatif dan familier. Pesan-pesan teologis yang
terlalu didaktis-platonis sengaja dihindari. Peserta dibiarkan berdialog
secara konkret tanpa harus memalang argumentasi dengan argumentasi agama yang
primordialistik. Dialog akhirnya mengalir pada hal-hal sederhana, cerita
humor, dan refleksi diri. Pendekatan seperti ini mampu memancing rasa
kemanusiaan semua peserta, tanpa melulu bertanya apa agama korban dan
pelakunya.
Melalui refleksi itu
peserta akhirnya sadar, konflik 13 Oktober 2015 bisa dicegah jika pemerintah
dan aparat keamanan tanggap. Aparat bisa memisahkan warga agar tak larut
dalam spiral kekerasan. Melalui pertemuan ini sebagian besar peserta mau
mengambil peran sebagai duta perdamaian dan toleransi.
Pertemuan memang belum
menghadirkan ”para jenderal”, tetapi peserta yang hadir adalah ”kolonel” di
komunitasnya. Mereka memiliki pengaruh ke atas dan jejak ke bawah. Para tokoh
muda pesantren, aktivis sosial, ustadz, pendeta evangelis, sintua, perhanger,
dan jurnalis lokal yang hadir mulai paham untuk ikut mengambil tanggung jawab
sosial, meskipun keterbatasan dan ancaman kadang membuat hati tidak lapang.
Syukurnya, pertemuan
ini mampu mencairkan ketegangan sehingga lebih mudah mendorong ide-ide
konstruktif. Tentu proses yang terjadi tidak sebulat dan semanis diktat
keberagaman yang disusun aktivis di tingkat nasional. Namun cobalah berpikir
sebagai warga pinggiran, ketika marjinalisasi dan isolasi begitu melekat.
Hanya sedikit mata yang empati atas nasib mereka.
Akar kekerabatan
Memang masih ada duri
dalam konflik Singkil, yaitu izin pendirian gereja. Namun, masalah itu harus
dilihat secara obyektif dan adil. Problem itu tidak sepenuhnya dosa
masyarakat. Jika mau jujur, konflik berhulu dari kehadiran Peraturan Bersama
Menteri Agama Nomor 9/2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/2006—atau sering
diistilahkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri—dan Peraturan Gubernur
(Pergub) Aceh Nomor 25/2007 yang di Aceh dipraktikkan secara ambigu.
Menyalahkan pergub
tentu tidak tepat. Peraturan itu turunan dari regulasi yang lebih tinggi.
Postur dan filosofinya sama dengan SKB Dua Menteri. Pergub hanya menambah
jumlah pemohon pendirian izin rumah ibadah dan dukungan warga sekitar sebagai
pertimbangan Aceh Syariat Islam. Menyalahkan SKB Dua Menteri juga tidak
bijaksana. Fungsi untuk memaknai kehadiran rumah ibadah sebagai tempat
sakral, bukan sekadar ”industrialisasi” rumah ibadah, adalah amanat utama SKB
Dua Menteri, tetapi kerap tak terbaca.
Menjadi problem ketika
peraturan itu dibaca dengan semangat mayoritas-minoritas. Sayangnya, itu yang
sering terjadi. Daripada memberikan batasan numerikal, peraturan itu bisa
dikembalikan pada kearifan lokal masing-masing. Dalam praktiknya, peraturan
itu kerap dibaca sewenang-wenang hingga pada pelarangan pendirian rumah
ibadah. Kejadian ini membanjir bukan hanya di Singkil, melainkan juga di
Manokwari, Kupang, Manado, Bekasi, dan Bogor.
Bahkan, derajat
konflik di Singkil tidaklah cukup buruk dibandingkan kasus-kasus lain di
Indonesia. Melalui dialog berketerusan, saya melihat ada peluang memperbaiki
dinding toleransi yang retak itu melalui modal kultural.
Contoh kasus, ketika
dalam pertemuan itu peserta Muslim mengucapkan ”assalamualaikum”, kelompok Kristiani seakan pegal membalasnya.
Mungkin takut dianggap lancang. Demikian pula ketika kaum Kristiani
mengucapkan ”salam sejahtera”,
kelompok Islam memilih bergumam. Namun, ketika diucapkan ”njuah-njuah kita khatana”, serempak peserta menyambutnya dengan
sukacita. Arti kalimat bahasa Singkil (atau Pakpak) itu dalam bahasa
Indonesia kira-kira ’sehat-sehatlah
kita semua’.
Kalimat njuah-njuah
kita khatana menjadi pin pemersatu masyarakat Singkil. Secara semiotik, ia
juga berfungsi doa kebaikan bagi siapa pun dan agama apa pun. Saya percaya,
toleransi bukan saja telah mampu dihidupkan secara historis di bumi Syekh
Abdurrauf as-Singkili itu pada masa lalu, melainkan bisa digaungkan lebih
ramah lagi di tahun-tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar