Duterte dan Warisan Kekerasan
Geradi Yudhistira ;
Dosen Sejarah Politik Asia
Tenggara,
Universitas Islam Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
11 Mei 2016
RODRIGO
Duterte telah terpilih sebagai presiden baru Filipina. Sebagai seorang pemain
baru dalam kancah politik nasional, kemenangan Duterte telah diramalkan
sebelumnya. Selain karena rekam jejaknya menjabat sebagai Wali Kota Davao,
Duterte juga mengisi kekosongan yang tidak dimiliki pendahulunya Benigno
‘Noynoy’ Aquino III. Dengan kata lain, kemenangan Duterte merupakan wujud
protes masyarakat terhadap kepemimpinan Noynoy.
Kepemimpinan
Noynoy bukanlah tanpa prestasi. Citra Noynoy sering kali direpresentasikan
sebagai seorang yang bersih, seorang flamboyan, pintar, dan memiliki
kemampuan komunikasi massa yang baik. Dengan visi dan gaya kepemimpinannya,
Noynoy mampu mengundang investasi dalam jumlah besar masuk ke Filipina. Data
dari UNCTAD menyebutkan investasi langsung luar negeri mencapai US$57 miliar
pada 2014. Angka ini merupakan investasi tertinggi sepanjang sejarah
Filipina.
Pencapaian
ekonomi lainnya ialah dalam kurun waktu enam tahun, pertumbuhan ekonomi
Filipina rata-rata mencapai 6,2%. Rekor ini sangat baik jika dibandingkan
dengan pertumbuhan rata-rata 4% selama 1999-2009. Singkatnya, Noynoy telah
mentransformasikan Filipina yang dijuluki sebagai ‘Orang Sakit di Asia’ masuk
‘Klub Macan Asia’.
Jika
Noynoy dikatakan berhasil, masyarakat tentu akan memilih orang yang memiliki
gaya seperti Noynoy atau memilih Wakil Presiden Jejomar Binay, sebagai
presiden selanjutnya. Sebaliknya, masyarakat malah memilih Duterte dengan
citra ‘penjagal’, tanpa kompromi dan cenderung tidak memiliki konsep ekonomi
untuk menjadi Presiden Filipina.
Jika
menjelaskan visi ekonomi masa depannya, Duterte selalu merujuk pada rekam
jejaknya sebagai wali kota dalam membantai para pelaku kriminal di Davao City
untuk menjaga stabilitas Kota. Davao menjadi kota paling aman di Asia
Tenggara. Ketika ia menjelaskan visi politik luar negeri juga setali tiga
uang. Duterte berulang kali dinilai blunder dengan jawaban konfrontatif nan
provokatif ketika ditanya soal hubungan bilateral Filipina dengan Tiongkok
dan Singapura.
Ketakutan dan kekerasan
Fenomena
di Filipina memberikan pemahaman bahwa data angka dan fakta lapangan ialah
dua hal yang dipisahkan oleh imajinasi masyarakat. Prestasi Noynoy dalam
ekonomi ialah sebuah sisi yang patut diapresiasi, tapi imajinasi masyarakat
atas sebuah pemerintahan idaman ialah sebuah sisi lain. Dalam hal ini, apa
yang dialami dan apa yang dilihat masyarakat ialah faktor utama pembentuk
imajinasi.
Masyarakat
Filipina hidup dengan angka kemiskinan dan kriminalitas yang tinggi. Sekitar
25% dari seluruh masyarakat Filipina hidup dalam kemiskinan yang akut
sehingga mendorong tingginya kriminalitas yang merata dari Luzon hingga
Mindanao. Mereka harus berada dalam ancaman kriminalitas, perampokan, hingga
pemerkosaan.
Otoritas
Statistik Filipina seperti dikutip di Rappler, dalam laporannya pada 2015
menyebutkan, angka kriminalitas di Filipina dikategorikan tinggi dan
cenderung meningkat. Pada 2014, angka kriminalitas yang terlaporkan mencapai
1,16 juta kejadian, meningkat hampir 500% dari 2012 yang hanya 217 ribu. Hal
tersebut mendorong secara signifikan jumlah rasio angka kriminalitas
penduduk, yaitu 1.004 kriminalitas per 100 ribu penduduk.
Hal
tersebut belum habis jika membicarakan kekerasan politik yang hampir terjadi
setiap tahun. Sejarah politik Filipina tidak bisa dilepaskan dari pembunuhan
dan kekerasan terhadap lawan politik, sejak kolonial Spanyol hingga
pemerintahan Arroyo. Dalam level politik lokal, penindasan atas nama
kekuasaan dan pembunuhan atas nama ideologi marak terjadi, terutama di
Mindanao dan pulau-pulau lain di luar Manila. Salah satu yang paling besar
ialah pembantaian 30 wartawan oleh Wali Kota Ampatuan di Provinsi
Maguindanao, Mindanao, dengan alasan mengusik kepemimpinan.
Atas
kekerasan yang terjadi, hampir di setiap ruang publik membuat masyarakat
Filipina, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah terkurung sebuah rasa ketakutan.
Hal tersebut membentuk sebuah imajinasi kolektif atas seorang pemimpin
idaman.
Masyarakat
membuat standar pemimpin yaitu dengan standar sebagai pahlawan pembebas.
Pembebas dari cengkeraman ketakutan dan pembebas dari ancaman kekerasan,
walau harus dilawan dengan kekerasan sekalipun. Rakyat Filipina tidak puas
dengan pemerintahan sebelumnya yang korup dan menjalin hubungan mutualisme
dengan pelaku kriminal kakap. Hukum tidak efektif.
Masyarakat
yang diliputi ketakutan butuh kekuatan yang besar sebagai pahlawan super
untuk membasmi ketakutan mereka. Di saat yang bersamaan, sosok Duterte tampil
sebagai sosok nyata atas imajinasi tersebut. Dia tidak menawarkan konsep
ekonomi mengawang ataupun jargon-jargon elitis. Dia hanya berjanji melakukan
apa yang dilakukannya sewaktu jadi Wali Kota Davao: ‘kekerasan demi
keamanan’. Kiprah ini ditunggu-tunggu bagi konstituennya meskipun akan
berhadapan dengan para penggiat HAM.
Akhirnya,
seberapa pun kebencian kita terhadap performa Duterte atas pelanggaran HAM-nya,
kita harus mengakui bahwa rakyat Filipina telah memilih pemimpinnya melalui
cara yang demokratis. Paling tidak, terpilihnya Duterte merupakan sebuah
cerminan masyarakat yang ingin terlepas dari ketakutan. Jika memang dia
bertindak otoriter, rakyat bisa meluncurkan rudal People Power jilid selanjutnya. Gud lak sa Filipino! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar