Almansor
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO, 16 Mei
2016
"Betapa dalam kau
terpuruk, wahai Granada!"
Dalam Almansor, tragedi
karya Heinrich Heine, Almansur bin Abdullah pulang ke Granada dari
pengasingan. Ia kembali ke kastil masa kecilnya: bangunan itu masih tetap di
atas tanah "yang tua dan tercinta", dengan lantai yang dilapisi
permadani berwarna-warni; pilar-pilar marmar itu setia bertahan. Almansur
merasa betah kembali. Tapi ada yang membuatnya waswas. So heimisch ist mir hier, und doch so ängstlich. Kehidupan telah
berubah. Kerajaan Islam Spanyol, terlena dalam kegemilangannya sendiri,
jatuh, direbut kekuasaan Katolik di bawah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.
Dan Granada terpuruk. Tak
ada lagi kemerdekaan menjalankan agama seperti dulu, ketika orang Islam,
Kristen, dan Yahudi hidup bersama dan bertukar peradaban. Di awal lakon,
Almansur berjumpa kembali dengan Hassan, pelayan keluarga Abdullah yang dulu
mengasuhnya. Mereka saling menceritakan keadaan yang muram.
Ribuan muslim
"merundukkan kepala agar dibaptis" dalam ketakutan, kata Almansur.
Di masa itu, seorang pejabat tinggi Gereja dan Kerajaan, "Ximenes yang
mengerikan" (der furchtbare Ximenes), dengan disaksikan khalayak di
tengah pasar melemparkan Quran ke api unggun.
Hassan mendengarkan semua
itu dengan masygul, tapi ia tampak tak terkejut. Ia mengucapkan satu kalimat
seperti meramal: "Di mana mereka bakar kitab-kitab, di sana mereka
akhirnya bakar manusia."
"Ximenes" dalam
tragedi Heine adalah Gonzalo Jimenez de Cisneros, pejabat tinggi Gereja dan
kepercayaan Ratu Isabella. Tokoh sejarah Spanyol yang hidup antara 1436 dan
1517 ini adalah padri yang keras kepada dirinya sendiri dan kepada orang
lain-apalagi orang lain dari iman yang lain.
Ia tak tergoda kemewahan;
pada usia di atas 40 tahun ia bergabung ke dalam Ordo Fransiskan dan
membiasakan diri tidur di tanah tanpa alas, melipatgandakan puasa, dan
mengenakan kain yang dianyam dari surai kuda. Tapi dengan kekuasaan dan
keyakinan akan keunggulan imannya, ia memaksa para biarawan yang sudah
ditahbiskan untuk hidup selibat, menetap di paroki, dan bekerja penuh. Ketika
ketentuan ini dikenakan lebih ketat dan lebih luas, 400 rahib mengungsi ke
Afrika-dan masuk Islam.
Bagi Cisneros, Islam dan
Yahudi iman yang sesat. Pada 1492, di awal ia jadi pastor Ratu Isabella,
"Maklumat Pengusiran" diumumkan. Sekitar 200 ribu orang Yahudi
terpaksa jadi Kristen; puluhan ribu yang lain diusir. Tak berhenti di situ.
Cisneros memaksa ribuan Mudéjares, muslim yang hidup di wilayah Kristen,
berpindah agama-meskipun dengan demikian ia melanggar perjanjian Alhambra
ketika Ferdinand dan Isabella mengambil alih kekuasaan Islam. Ketika penduduk
muslim berontak dan dikalahkan, Cisneros memberi mereka ultimatum: masuk
Kristen atau diasingkan.
Sebagian besar, seperti disebut Heine dalam
Almansor, "merundukkan kepala untuk dibaptis", "menggenggam
erat salib, dalam ketakutan akan mati".
Dan seperti tersebut dalam
tragedi itu, buku pun dibakar. Sekitar 5.000 judul karya penulis dan pemikir
Islam dimusnahkan dalam api. Kemudian manusia. Tercatat, sejak 1481, Gereja
Katolik Spanyol membakar hidup-hidup 31.912 orang yang dianggap sesat iman.
Dalam jumlah itu, ada 3.564 yang dihanguskan dalam api auto-da-fé atas
keputusan "Ximenes yang mengerikan".
Heine, sastrawan Jerman di
abad ke-19, tentu saja menggubah Almansor dari petilan-petilan sejarah
itu-dan dengan gambaran yang negatif tentang rezim "Ximenes". Yang
tak diduganya: kalimat yang diucapkan tokoh Hassan akan jadi semacam
peringatan dari masa ke masa-terutama setelah di abad ke-20, Jerman
memunculkan Hitler dan Gerakan Nazi dan ribuan buku dibumihanguskan. Pada 10
Mei 1933, misalnya, mahasiswa pendukung Nazi membakar habis 35 ribu jilid
buku yang isinya dianggap "tak bersifat Jerman": dari Marxisme
sampai dengan buku seni rupa mutakhir, dari yang dianggap "liberal"
sampai dengan yang dianggap "ilmu palsu", yaitu Darwinisme.
Kemudian kamp konsentrasi didirikan dan ribuan orang Yahudi dan lain-lain
dimatikan.
Di Indonesia juga pernah
orang membakar buku dan membunuhi manusia. "Demokrasi Terpimpin"
Sukarno melarang risalah Bung Hatta Demokrasi Kita, semua novel Takdir
Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan lain-lain, juga semua puisi para penulis yang
menandatangani "Manikebu". Di bawah "Orde Baru" Soeharto,
apa saja buku yang dianggap "komunis" diberangus, bukan hanya novel
Pramoedya Ananta Toer. Kekerasan dan supremasi kekuasaan jadi pola, makin
lama makin menajam.
Menarik bahwa kejahiliahan
ini berulang, justru di bawah Republik yang berbeda-beda yang saling
menyalahkan. Tampaknya belum juga disadari, bila kata tak bisa dipakai untuk
berbicara, orang akan pelan-pelan saling mematikan dengan kedegilan. Hassan
dalam Almansor benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar