Tiga Menguak Alam
Arif Havas Oegroseno ;
Deputi I Kemenko Maritim
|
KOMPAS, 19 April
2016
Kita punya tiga komoditas strategis bernilai
tinggi, tetapi memiliki tantangan yang berat, baik dari dalam maupun luar
negeri. Tiga komoditas ini langsung berkaitan dengan kelestarian alam.
Mengingat nilai ekonomi yang sangat tinggi,
keseriusan pengelolaan yang berkelanjutan jadi krusial karena berhubungan
dengan alam secara nyata dan masif. Tiga komoditas ini adalah ikan,
kayu, dan sawit.
Pencurian ikan di perairan Indonesia
pernah berakibat kerugian 20 miliar dollar AS per tahun. Pembalakan kayu
merusak hutan Indonesia dan keragaman hayati. Kebun sawit secara keseluruhan
dituduh merusak
hutan tropis dan membunuh orangutan, harimau, dan gajah.
Ikan
Sebagai manifestasi prinsip ekonomi biru yang
jadi bagian dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
Indonesia telah memerangi penangkapan ikan ilegal secara tegas. Penangkapan
ikan ilegal tak hanya merugikan Indonesia dari sisi keuangan negara, juga
mempermalukan kewibawaan bangsa serta merusak kehidupan dasar laut. Langkah
anti penangkapan ikan ilegal ini mendapatkan penghargaan masyarakat
internasional, tetapi dipertanyakan sebagian bangsa Indonesia sendiri. Upaya
untuk menghentikan kebijakan positif ini dilakukan secara sistematis.
Negara yang seharusnya hadir di laut untuk
melestarikan kekayaan laut demi generasi mendatang justru menghadapi
penolakan segelintir anak bangsa sendiri karena kepentingan ekonominya
terusik. Dan, sering kali menggunakan justifikasi membela kepentingan
nelayan kecil. Alih-alih mencari cara bersama menyejahterakan nelayan
kecil dengan cara-cara inovatif, yang dilakukan justru tekanan politik.
Mereka tidak menghiraukan fakta bahwa pasar
global, seperti Uni Eropa,
AS, dan Jepang sudah menolak produk ikan curian,
tak ramah lingkungan dan berbau perbudakan. Meski demikian, bisnis
pengambilan ikan dapat dilakukan lagi karena masih ada pasar yang tidak malu
mengonsumsi ikan curian.
Kayu tropis
Indonesia pernah disebut sebagai pusat
pembalakan hutan secara sistematis karena ada kolusi antara pejabat, aparat,
dan industri. Pada pertengahan tahun 2000-an upaya sertifikasi kayu dirintis
para pejabat Kementerian Kehutanan beserta mitra mereka dari LSM, industri,
akademisi, dan perajin. Hasil karya anak bangsa ini adalah suatu sistem
sertifikasi kayu bernama SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang
diakui Uni Eropa. SVLK dianggap sama dengan sistem pelacakan kayu Uni Eropa,
juga sistem sertifikasi kayu yang dikeluarkan berbagai industri sertifikasi.
Ekspor produk SVLK melonjak tajam dari 6 miliar dollar AS pada 2013 menjadi
9,8 miliar dollar AS pada 2015.
Meski demikian, dengan alasan melindungi
perajin kecil yang diklaim tak mampu memiliki sertifikat SVLK, segelintir orang
Indonesia justru meminta SVLK dihapuskan atau paling tidak mengecualikan
produk kayu tertentu dari SVLK dengan suatu dokumen ekspor unilateral tanpa
verifikasi. Akibatnya, ada sejumlah perusahaan abal-abal yang
memperjualbelikan ribuan dokumen ekspor produk kayu. Mereka tidak peduli
dengan potensi hancurnya kredibilitas SVLK dan nama baik serta perjuangan
anak bangsa yang telah berusaha maksimal menghentikan pembalakan liar kayu.
Bagi mereka yang penting kocek tetap dalam dan
tidak terganggu keinginan kita melakukan pelestarian hutan serta bisnis yang
ramah lingkungan.
Sawit
Sawit adalah agroindustri yang memicu
banyak kontroversi. Terlepas dari adanya praktik perkebunan sawit yang memang
tak berkelanjutan di satu sisi dan sawit yang berkelanjutan di sisi yang
lain, pandangan tentang sawit sering kali emosional dan tidak dilakukan
dengan pemahaman secara menyeluruh.
Di dalam negeri, sawit harus dilihat dari
berbagai dimensi, seperti kesejahteraan petani kecil dan lapangan kerja yang
dihasilkan, keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup, kemampuan
petani kecil untuk jadi bagian sawit tersertifikasi, kebijakan sertifikasi
wajib ISPO, jumlah nyata sumbangan sawit dalam kebakaran hutan serta potensi
persaingan antara pelaku industri dan kompetisi ekspor ke pasar yang
mensyaratkan sawit tersertifikasi.
Di luar negeri, sawit menjadi lebih kompleks
karena ada keperluan proteksi pertanian negara maju bersubsidi, industri
biodiesel yang secara politis sangat kuat dan industri sertifikasi, seperti
RSPO. Sering kali sulit menghilangkan sekat-sekat ideologi politik di negara
Barat antara paham hijau dan tengah-kiri dengan neolib kapitalis bila terkait
sawit. Terlepas dari anomali ini, suka atau tidak, faktanya, 5 juta ton per
tahun ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa bisa diterima karena sertifikasi
RSPO.
ISPO yang wajib di Indonesia masih belum
diakui pasar Eropa. RSPO sendiri memiliki elemen yang sama dengan I-POP
karena menggunakan parameter high conservation value (HCV)
Jadi, apabila I-POP dilarang di Indonesia, syarat parameter HCV tetap harus
dilakukan industri sawit Indonesia yang akan melakukan ekspor dengan
sertifikasi RSPO. Dengan kata lain, HCV tetap diperhitungkan pasar dengan
atau tanpa I-POP.
Argumentasi bahwa Indonesia seharusnya
yang menentukan standar sertifikasi sawit sangat benar. Namun, argumentasi
pasar Eropa bahwa dengan volume 5 juta ton/tahun, pasar juga punya hak
menolak sertifikasi Indonesia adalah menjengkelkan, tetapi tidak bisa ditolak
Secara analogis, hal ini sama dengan Indonesia
yang memaksa importir menggunakan standar halal versi Indonesia. Apabila
Indonesia merasa perlu memaksa pihak asing mengikuti standar nasional,
Indonesia tidak boleh meradang apabila asing memaksa standar mereka terhadap
ekspor Indonesia.
Karena sawit menghadapi tantangan di luar
negeri yang sangat kuat, seyogianya semua elemen bersatu merapatkan barisan
agar mampu menghadirkan produk sawit yang kompetitif dan mampu menjaga
keseimbangan alam serta lingkungan hidup.
Ada benang merah dari tiga komoditas ikan, kayu,
dan sawit kita. Pasar dunia menolak produk curian dan hasil kerusakan alam.
Pasar dunia menciptakan mekanisme verifikasi dengan sertifikasi. Pada saat
yang sama, kita di Indonesia justru menghadapi tantangan serius adanya
sejumlah pihak yang masih menolak prinsip pembangunan berkelanjutan dengan
berbagai alasan.
Indonesia pasti dapat menjadi pemimpin dunia
dalam sertifikasi ikan, kayu, dan sawit asalkan terdapat satu suara solid di
dalam negeri antara pemerintah, pelaku usaha kecil dan besar, LSM dan lembaga
lainnya. Tanpa ini, dan dengan sangat terbukanya media nasional, Indonesia
hanya akan menjadi tontonan "lucu" pihak asing yang tentunya akan
sangat mengurangi kredibilitas bangsa ini. Dan, tentunya, bangsa lainlah yang
akan mencuri pangsa pasar global Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar