Teman Ahok: Abnormalitas yang Perlu
Ito Prajna-Nugroho ;
Anggota Tim Pengajaran Filsafat
Resolusi Konflik
di Fakultas Strategi Pertahanan,
Universitas Pertahanan
|
SATU HARAPAN, 07
April 2016
“Sebuah organisasi memerlukan 2 persen inspirasi dan dan 98
persen keringat,” begitu kata-kata Ernest Douwes Dekker, yang dikenal sebagai Dr.
Danudirdja Setiabudi, kepada Soekarno dan Roeslan Abdoelgani pada suatu hari
di bulan Mei 1947 (“Pak Tua
Penggerutu,” Majalah TEMPO, Edisi Khusus Kemerdekaan, 20 – 26 Agustus 2012,
hlm. 92-93).
Terkenal sebagai “Si
Bangsat” penulis petualang dan pembangkang terhadap kekuasaan kolonial,
Ernest Douwes Dekker juga dikenal sebagai mentor para tokoh kemerdekaan,
khususnya Soekarno. Ernest Douwes Dekker menjadi sahabat serta guru yang
tetap teguh mendampingi ketika keyakinan dan kehidupan Soekarno berada di
titik terendah, ketika bahkan para sahabatnya yang terdekat meninggalkannya
satu demi satu.
Sebagai orang berdarah
campuran Belanda, Prancis, Jerman, dan Jawa, Ernest Douwes Dekker menjadi
nafas penuh inspirasi dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang mendobrak
berbagai kemandegan dan kebuntuan politik di tingkat nasional, internasional,
dan personal. Mungkin sisi dobrak-mendobrak ini menjadi kekuatan terbesar
Ernest Douwes Dekker, sekaligus sumber kontroversi dirinya yang tak kalah
besar.
Menerobos Kebekuan Tatanan
Mungkin yang disebut
tatanan, entah itu tatanan keluarga, tatanan kota, tatanan jiwa, tatanan
politik, senantiasa membutuhkan sosok pembangkang dan pendobrak yang meski
kontroversial tetapi justru menyehatkan bagi tatanan yang selalu punya
kecenderungan menutup/memutlakkan diri (Jan PatoÄÂka, Heretical Essays,
136). Ernest Douwes Dekker menyadari hal ini. Ia menyadari bahaya
kompromi-kompromi elit politik yang dapat melumpuhkan gerak kemerdekaan
Indonesia yang ketika itu masih dalam tahap belajar mengepakkan sayapnya.
Ia juga menyadari
bahaya ego pribadi masing-masing tokoh pergerakan yang dapat menyeret politik
nasional ke dalam konflik pribadi. Maka lagi-lagi, sebagaimana telah ia
lakukan sejak muda belia, Ernest Douwes Dekker mendobrak. Ia mendobrak lewat
sikap dan kata-katanya yang sering membuat telinga panas, termasuk telinga
Presiden Soekarno ketika itu.
Di tingkat politik
nasional kata-kata Ernest Douwes Dekker, bahwa sebuah organisasi hanya butuh
2 persen inspirasi dan sisanya kerja keras, mungkin ditujukan untuk Soekarno
sendiri sebagai sosok pemimpin kharismatik penuh inspirasi. Lewat pengalaman
dan pengetahuannya, Ernest Douwes Dekker sepertinya menyadari bahwa apa yang
disebut tatanan politik memiliki fondasi (dasar) yang lebih sering rapuh
daripada kukuh. Berbagai cara pandang, pemikiran, nilai moral, kebiasaan, dan
norma-norma sering begitu mudah membeku memaksa orang tunduk dalam ritmenya yang
telah menjadi normalitas.
Maka tindakan-tindakan
politik senantiasa memerlukan upaya pembaruan, pembongkaran, re-definisi
sistem simbol, dan pendasaran ulang, suatu kerja keras yang penuh keringat.
Penuh keringat sebab meretas praktik kebiasaan politik yang telah membadan
menjadi normalitas (kewajaran) bagaikan memposisikan diri sebagai ‘orang
gila’ yang abnormal. Posisi abnormal itu dengan sendirinya melelahkan dan
butuh banyak keberanian serta pengorbanan. Sebab berdiri di posisi
pembangkang yang abnormal itu dengan sendirinya akan mengundang banyak musuh.
Posisi abnormal politik bagaikan meniupkan ruh arkhaik ke dalam politik yang
membuat posisi netral menjadi sulit dipertahankan, yaitu: kembali hidupnya
distingsi kawan – lawan (Claude Lefort,
Democracy and Political Theory, 17).
Perlunya Abnormalitas Politik
56 tahun setelah
Douwes Dekker meninggal, dalam dinamika politik dan demokrasi Indonesia
pasca-Reformasi, kita telah mengalami sendiri hembusan ruh arkhaik politik
tersebut.
Pemilihan presiden di
tahun 2014 lalu misalnya seperti memperjelas politik sebagai ‘momen
eksistensial’ yang menghidupkan kembali distingsi kawan – lawan dalam
demokrasi. Bukan hanya itu, terpilihnya seorang Joko Widodo sebagai orang
nomor satu di Indonesia pada dirinya merupakan momen terobosan yang sedikit
banyak abnormal. Abnormal sebab status politik dan keberadaan dirinya
menerobos normalitas politik yang didominasi oleh elit partai dan oligarki
kekuasaan yang telah lama bercokol.
Kini hal yang kurang
lebih serupa terjadi melalui sosok Basuki ‘Ahok’ Tjahaya Purnama, pelaksana
tugas Gubernur DKI Jakarta yang selalu bicara bla-blakkan tanpa tedeng
aling-aling, kerap kontroversial, punya banyak musuh (meski tidak mencari
musuh), namun tetap menjadi tumpuan harapan rakyat Jakarta yang dipimpinnya.
Status dan sikap
politik Ahok dalam pencalonannya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta sedikit
banyak juga abnormal sifatnya. Meski keberadaan calon perorangan (independen)
untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah dilindungi dan dijamin oleh
Konstitusi, namun pada praktiknya mereka yang maju sebagai calon perorangan
di luar mekanisme kepartaian berdiri berhadap-hadapan dengan status-quo
kekuasaan. Bukan hanya itu, untuk kasus Ahok, sikap politiknya seperti
menggoyang kenyamanan oligarki partai-partai politik yang telah begitu
mengakar ke dalam kebiasaan (dan kewajaran) politik Indonesia. Apalagi warga, yang sepertinya telah lelah
dengan oligarki partai politik dalam demokrasi, justru menjadi bersemangat
untuk berpartisipasi kembali dalam politik melalui sosok Ahok.
Keberadaan Teman Ahok
yang aktif berpolitik menggalang dukungan warga mirip dengan relawan Jokowi
ketika menjelang pemilihan presiden lalu. Keberadaan kantong-kantong
partisipasi politik warga itu secara langsung menampakkan dua hal penting,
yaitu: 1) bahwa demokrasi bisa terus-menerus memperkuat diri dan melakukan
re-organisasi diri di tengah segala kepungan kepentingan oligarki kekuasaan,
dan 2) kegagalan partai-partai politik dalam merespon dinamika politik warga.
Fenomena tindakan warga yang berjalan sendiri di luar segala mekanisme dan
prosedur demokrasi formal ini pun merupakan terobosan abnormal dalam politik.
Pierre Rosanvallon,
seorang ahli filsafat politik Prancis yang sekarang mengampu Sejarah Pemikiran
Politik Modern dan Kontemporer di Collége de France, menyebutnya sebagai society of distrust, yaitu masyarakat
demokratis yang tidak lagi mudah percaya pada elit politik dan kelembagaan
demokrasi (Pierre Rosanvallon,
Counter-Democracy, 3-5).
Seperti disebutkan
oleh Rosanvallon, dalam masyarakat jejaring yang di dalamnya pengetahuan
tidak lagi menjadi milik khas kaum tertentu, skema pengetahuan dan skema
politik representatif terbukti tidak lagi cukup-diri. Ketidakcukupan (insufficiency) politik demokrasi
representatif dalam memenuhi janji-janjinya telah menciptakan jalur demokrasi
yang bergerak di luar norma kewajaran namun autentik dan mampu mempertahankan
otonominya (Pierre Rosanvallon,
Counter-Democracy, 274).
Dalam konteks sosok
Ahok, acungan jempol perlu diberikan kepadanya karena telah berani meretas
jalan ‘abnormal’ demokrasi kita, yang mungkin melalui cara itu kita dapat
terus berdemokrasi secara sehat. Apalagi selama ini warga sepertinya semakin
lelah dengan proses politik formal yang sesak dengan konflik kepentingan.
Tambahan pula, semua orang sepertinya telah mengetahui betapa mahalnya biaya
politik di Indonesia. Hal ini membuat setiap warga yang hendak berpartisipasi
dalam politik harus: 1) entah habis-habisan mengeluarkan uang sendiri, atau
2) berkompromi dengan oligarki kekuasaan dan ekonomi yang sering tidak
terlihat namun menentukan proses politik.
Kembalinya ‘Yang Politik’
Sosok seperti Basuki
Tjahaya Purnama telah menginspirasi warga. Teman Ahok adalah satu dari sekian
banyak manifestasinya. Pola partisipasi politik seperti ini pada dirinya
layak dihargai sebagai terobosan betapa pun abnormalnya. Melalui partisipasi
politik langsung warga seperti itu, rasionalitas politik segera terlihat
berbeda dengan rasionalitas ekonomi. Kita segera bisa melihat bahwa ternyata
politik bukanlah perkara dagang, jual-beli, mahar persembahan, dan
untung-rugi layaknya aktivitas ekonomi di pasar.
Politik ternyata
menjadi aktivitas eksistensial yang bukan hanya berbeda dari ekonomi pasar,
melainkan juga memberi dasar dan makna hakiki bagi kehidupan banyak orang.
Dasar kehidupan bersama yang perlu terus-menerus diperkuat, dibongkar,
direkatkan kembali, inilah yang oleh Oliver Marchart disebut sebagai politik
pasca-fondasional. Artinya, sebuah ruang politik yang fondasinya tidak pernah
stabil dan baku, melainkan terus-menerus diperbarui dan dimaknai ulang (Oliver Marchart, Post-Foundational
Political Thought, 8-9).
Bukankah para tokoh
revolusi kemerdekaan juga menghadapi situasi yang kurang lebih sama: membongkar
dan meruntuhkan fondasi lama selagi membangun merekatkan fondasi baru pada
saat yang bersamaan? Orang seperti Ernest Douwes Dekker, ia adalah seorang
pembangkang, seorang pendobrak yang meruntuhkan tetapi juga membangun di saat
yang sama. Mungkin saat ini, kita akan banyak membutuhkan sosok-sosok
pendobrak seperti Ernest Douwes Dekker demi keberlangsungan Republik
Indonesia kita di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar