Taman Iqbal
Trias Kuncahyono ;
Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS, 03 April
2016
Allama Muhammad Iqbal (1877-1938) adalah seorang penyair kondang
di Pakistan. Iqbal juga filsuf dan politisi. Ia salah seorang tokoh yang
sangat terkemuka dalam sastra Urdu. Banyak karyanya ditulis baik dalam bahasa
Urdu maupun Persia.
Iqbal juga dikenal sebagai "Shair-e-Mushriq" yang
berarti Penyair dari Timur. Ia juga disebut sebagai
"Hakeem-ul-Ummat" atau Guru Umat. Di Iran dan Afganistan, Iqbal
dikenal sebagai "Iqbal-e Lahor" atau Iqbal dari Lahore. Dan, karena
ketenarannya, kehebatannya, Pemerintah Pakistan mengakuinya sebagai penyair
nasional. Iqbal mendapat gelar "Sir" dari Raja Inggris George V
pada tahun 1922.
Ayah Iqbal, Shaikh Noor Mohammad, seorang penjahit, tidak pernah
mengikuti pendidikan formal, tetapi ia dikenal sebagai orang yang saleh.
Ibunya, Imam Bibi, perempuan yang sopan dan rendah hati juga senang membantu
tetangganya yang kesulitan. Imam Bibi meninggal pada 9 November 1914. Iqbal,
yang sangat mencintai ibunya, begitu terpukul dan rasa kehilangannya demikian
dalam. Rasa kesedihan hatinya itu diungkapkan dalam puisi:
Siapa yang akan cemas menungguku di kampung halamanku?
Siapa yang akan resah manakala suratku terlambat datang?
Aku akan berziarah ke pusaramu dengan mengeluhkan ini:
Sekarang, siapa yang akan mendoakan aku di tengah malam?
Seluruh hidup dan cintamu seluruhnya untuk melayaniku.
Namun, ketika aku mampu melayanimu, engkau meninggalkanku.
Iqbal, tokoh besar dalam dunia sastra Pakistan, kini namanya
diabadikan untuk sebuah taman; sebuah taman, tempat bermain dan rekreasi di
Allama Iqbal, wilayah pinggiran Lahore: Ghulsham-e-Iqbal Park, Taman Iqbal.
Di ibu kota Provinsi Punjab, wilayah Pakistan timur laut yang berbatasan
dengan India, taman seluas 270.000 meter persegi itu berada.
Di taman itu, anak-anak bermain ayunan, berlarian ke sana
kemari, naik perahu di danau buatan, menikmati indahnya aneka bunga yang
mekar tanpa mengenal musim, memberi makan kijang-kijang yang jinak terhadap
pengunjung taman. Di taman itu, kaum remaja menikmati masa remaja. Di taman
itu, orang-orang tua membawa anak-anaknya untuk menghirup kesenangan dan
kebahagiaan sekaligus membunuh hari-harinya.
Memang, Taman Iqbal tidak seindah dan seluas Taman Shalimar
(Shalimar Garden). Taman di Lahore, warisan Shah Jahan, penguasa Mughal, yang
dibangun mulai 1637 dan selesai tahun 1641 itu memiliki luas 16 hektar. Taman
inilah yang antara lain menganugerahi Lahore gelar "Kota Taman". Meski
tidak seindah Taman Shalimar, Taman Iqbal tetaplah menjadi tempat favorit,
terutama bagi anak-anak, karena di tempat itu banyak tempat bermain.
Tetapi, pada hari Minggu petang lalu, kesedihan seperti yang
pernah dialami Iqbal menyelimuti Taman Iqbal. Seorang pengebom bunuh diri
dengan hati, pikiran, dan darah dingin meledakkan diri. Saat itu, taman
sedang dikunjungi banyak orang, di antara mereka umat Kristen yang merayakan
Paskah. Akibat ledakan itu, sekurang-kurangnya 74 orang tewas dan 29 korban di
antaranya adalah anak-anak! Lebih dari 200 orang terluka.
Tak lama kemudian, Jamaat ul-Ahrar, sempalan Taliban Pakistan,
mengklaim sebagai yang bertanggung jawab. Bahkan, mereka menyatakan,
"Kami mengklaim bertanggung jawab atas penyerangan terhadap orang-orang
Kristen ketika mereka merayakan perayaan agama mereka."
Klaim tersebut menegaskan bahwa ada persoalan besar dalam
hubungan antaragama di Pakistan. Mengapa umat Kristen yang jumlahnya kurang
dari 2 persen dari 180 juta penduduk Pakistan menjadi sasaran pengeboman?
Bukankah mereka tidak menjadi bagian dalam pemisahan wilayah yang sekarang
disebut Pakistan dari India pada tahun 1947, karena antara lain alasan agama?
Selain Kristen, umat Hindu dan Amadiyyah juga kelompok minoritas.
Bukan kali ini saja kekerasan bernuansa agama terjadi di
Pakistan. Pada tahun 2011, menteri urusan agama-agama minoritas, Shahbaz
Bhatti, satu-satunya orang Kristen dalam kabinet, ditembak orang-orang
bersenjata. Dua tahun kemudian, pengebom bunuh diri meledakkan diri di sebuah
gereja di Peshawar: 127 orang tewas, dan 250 orang lain luka-luka. Tahun
lalu, bom kembali meledak di gereja, menewaskan 15 orang.
Sekali lagi di Taman Iqbal, agama tampil dalam dua wajah yang
saling bertentangan: wajah yang satu memberikan kesejukan, kedamaian,
memberikan harapan, menjadi topangan orang yang menderita, sengsara,
tertindas, dan terpinggirkan. Tetapi wajah lainnya, sungguh, menunjukkan
kekejaman, kekerasan, permusuhan, kebencian, dan bahkan berlumuran darah.
Sering kali, agama memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis
terhadap konflik. Kenyataan seperti itu juga terjadi di Indonesia.
Mungkin, Allama Muhammad Iqbal, kalau masih hidup, akan sedih
melihat semua itu, sesedih ketika ditinggal mati ibunya. Dan, ia pun akan bertanya:
untuk apa orang beragama kalau agama hanya membakar kebencian dan meniupkan
api permusuhan kepada sesama. Apabila demikian, kapan agama bisa mengantar
pemeluknya menuju pada kedalaman hidup dan menerima keragaman dalam
bermasyarakat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar