Siapa Membajak Brahma 12
Hamid Awaludin ;
Mantan Dubes RI untuk Rusia;
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS, 09 April
2016
Saat laut Indonesia
tak sedang dimasuki seenaknya oleh kapal-kapal asing, kabar buruk justru
datang dari lautan negeri tetangga. Dua kapal berbendera Indonesia, kapal
tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 yang mengangkut ribuan ton batubara,
dirompak dan dibajak sebuah kelompok bersenjata. Brahma 12 kemudian dilepas,
tetapi Anand 12 masih ditahan.
Kejadiannya di sekitar
perairan Tawi-Tawi, Filipina selatan, saat dua kapal itu berlayar dari Sungai
Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina, pada 15 Maret 2016.
Pembajak menyandera 10 awak kapal warga negara Indonesia. Mereka menuntut
uang tebusan 50 juta peso Filipina atau sekitar Rp 14,3 miliar untuk
pembebasan sandera WNI ini.
Para bajak laut modern
ini mengaku anggota kelompok perlawanan bersenjata di Filipina, Abu Sayyaf.
Kelompok Abu Sayyaf dikenal beranggotakan milisi garis keras yang berbasis di
sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain, Jolo, Basilan dan Mindanao.
Pemerintah Filipina pun langsung menyatakan para pembajak adalah kelompok Abu
Sayyaf. Sebuah klaim yang terlampau prematur.
Menyaru dengan klaim
Benarkah pembajakan
itu ulah kelompok Abu Sayyaf? Sejatinya memang dalam banyak hal dan kasus,
setiap ada kekerasan, termasuk pembajakan di Filipina, Pemerintah Filipina
selalu mengumumkan dan meyakini bahwa kekerasan tersebut dilakukan kelompok
Abu Sayyaf. Ini sebuah konklusi dan simplikasi yang dianggap bisa meringankan
beban pemerintah Manila karena semua orang tahu kelompok Abu Sayyaf adalah
kelompok militan yang diburu di mana pun.
Saya sangat percaya,
kelompok yang membajak dan menyandera 10 WNI itu bukan kelompok Abu Sayyaf.
Masalahnya, kelompok Abu Sayyaf selama ini melakukan pembajakan dan
penyanderaan dengan tebusan jutaan dollar AS. Sementara, pembajakan dan
penyanderaan atas 10 WNI sekarang ini hanya menuntut tebusan sebesar Rp 14,3
miliar. Sebuah harga yang terlampau murah bagi organisasi sebesar Abu Sayyaf.
Alasan kedua, pembajak
dan penyandera sekarang ini, menyandera 10 WNI, di mana tiga orang di
antaranya non-Muslim. Selebihnya adalah Muslim. Sejarah petualangan Abu
Sayyaf adalah sejarah penyanderaan terhadap non-Muslim, dengan penekanan pada
misionaris dan orang Eropa dan Amerika. Tentu kita semua masih ingat pada
2015, Abu Sayyaf menyandera seorang pastor Perancis. Dengan rapor masa lalu
seperti itu, susah menerima begitu saja klaim bahwa yang membajak dan menyandera
WNI kita itu, adalah kelompok Abu Sayyaf. Kelompok ini tidak akan menyandera
Muslim. Apalagi Muslim non-Eropa dan Amerika.
Saya lebih percaya
bahwa yang membajak dan menyandera WNI kita sekarang ini, adalah kelompok
bandit dengan basis kelompok keluarga. Bisa jadi, kelompok ini pernah
tergabung dalam kelompok Abu Sayyaf, atau mungkin masih dalam patronase Abu
Sayyaf. Namun, tindakan mereka bukan atas komando Abu Sayyaf. Bahwa kelompok
penyandera tersebut mengklaim tindakannya sebagai tindakan Abu Sayyaf, itu
hanya sebuah ikhtiar penyamaran belaka, biar semua pihak yang berkepentingan
dengan pihak yang disandera serius memenuhi tuntutan penyandera. Maklum, nama
dan reputasi Abu Sayyaf adalah sebuah gelegar.
Kita harus memahami
anatomi kelompok-kelompok bersenjata yang menggunakan kekerasan sekarang di
Filipina. Banyak sekali kelompok bandit yang berbasis keluarga, melakukan
tindakan kekerasan dengan cara penyanderaan, pembajakan, dan perampokan.
Semuanya digelitik motif tunggal: uang. Kelompok-kelompok bersenjata yang
berbasis keluarga tersebut, pernah berafiliasi dengan kelompok-kelompok
induk, misalnya Abu Sayyaf, MNLF, dan sebagainya.
Setelah mereka
berpisah dengan kelompok induk, mereka berjalan sendiri, dengan metode
kekerasan, tetapi motif pragmatisme, yakni uang. Pola seperti ini, mereka
namakan dalam bahasa Tagalog: ”diskarte” yang berarti jalan sendiri-sendiri.
Diskarte ini mereka jadikan panduan dan kode etik tersendiri antarmereka.
Dari perspektif
statistik, Filipina sekarang adalah negara yang paling besar dalam konteks
penculikan dan penyanderaan. Kita tengok, misalnya, penjara Montenlopa City,
Filipina, di mana 1.100 kasus hukuman mati, 70 persen adalah lantaran kasus
penyanderaan dan penculikan. Angka ini diambil sebelum Filipina menghapus
hukuman mati pada 2007. Para pelakunya berasal dari berbagai latar belakang
kelompok kekerasan. Mereka bahkan ada yang mantan polisi, tentara, dan
pegawai pemerintah. Dengan angka statistik ini saja, kita tidak boleh gegabah
melakukan simplifikasi bahwa pembajak dan penyandera 10 WNI di Filipina,
adalah kelompok Abu Sayyaf.
Kelompok bandit keluarga
Terlepas dari figur
statistik yang rasional ini, informasi personal yang saya peroleh dari dalam hutan
Filipina, yang punya kaitan dengan penyandera, jelas meyakinkan saya bahwa
yang menyandera 10 WNI, bukanlah kelompok Abu Sayyaf, tetapi kelompok
keluarga yang motifnya hanyalah uang belaka. Beberapa orang dari kelompok
tersebut memang pernah berafiliasi dengan Abu Sayyaf, bahkan negosiator
kelompok pembajak dan penyandera ini, hingga sekarang masih aktif di kelompok
Abu Sayyaf, tetapi aktivitas pembajakan dan penyanderaan yang mereka lakukan
sekarang ini, tidak atas perintah kelompok Abu Sayyaf.
Perlu juga dikemukakan
di sini, mekanisme pengambilan keputusan dalam hal apa pun di kelompok Abu
Sayyaf, selalu dilakukan secara kolektif-kolegial. Para pemimpin organisasi
harus mengambil keputusan secara bersama. Tidak ada komando tunggal.
Sebaliknya, dalam organisasi kelompok bandit keluarga, segala keputusan
diambil oleh pemegang komando tertinggi dalam keluarga.
Dengan format
kepemimpinan dan mekanisme pengambilan keputusan seperti ini, jelas bahwa
penyelesaian masalah pembajakan dan penyanderaan 10 WNI, jauh lebih mudah
bila itu dilakukan kelompok bandit berbasis keluarga, dibandingkan dilakukan
kelompok Abu Sayyaf. Kita tidak perlu meyakinkan banyak orang yang berada
dalam kepemimpinan organisasi tersebut. Kita cukup bernegosiasi dengan
pemegang komando tertinggi dalam kelompok itu.
Hal lain, segala
aktivitas Abu Sayyaf selalu dimotivasi faktor ideologi yang membatu,
sementara kelompok bandit berbasis keluarga, motifnya hanyalah keuntungan
finansial belaka. Karena itu, variabel penyelesaian masalah, hanyalah
tunggal, yakni memenuhi tuntutan mereka. Dalam konteks ini, peluang jalan
negosiasi dibandingkan dengan operasi militer untuk menyelesaikan masalah
penyanderaan 10 WNI, jauh lebih terbuka dibandingkan dengan bila pembajakan
dan penyanderaan dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Yang penting, kita menemukan
orang yang tepat untuk melakukannya. Orang yang paham peta hutan di Filipina
dan tahu anatomi organisasi kelompok bandit berbasis keluarga Filipina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar