Selamat Tinggal, BI Rate
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM; Dosen Tamu Universitas Osnabruck, Jerman
|
KOMPAS, 18 April
2016
Bank Indonesia, pekan
lalu, membuat keputusan penting dengan mengubah kebijakan suku bunga acuan,
dari BI Rate menjadi BI 7-Day Repo Rate, yang mulai efektif 19 Agustus 2016.
Keduanya instrumen suku bunga acuan. Namun, BI Rate mengacu pada tenor jangka
panjang, yakni setahun. BI 7-Day Repo Rate mengacu pada tenor jangka pendek,
yakni seminggu.
Transaksi repo (repurchasing agreement) adalah
transaksi penjualan surat berharga, yaitu penjual berjanji membeli kembali
dengan harga dan tenor yang disepakati, biasanya dalam jangka pendek.
Transaksi ini cenderung aman karena pembeli mendapatkan jaminan. Surat
berharga yang sering digunakan berupa obligasi negara (surat utang negara),
Sertifikat Bank Indonesia, obligasi korporasi, dan saham.
Mengapa instrumen
kebijakan diubah? BI merasa, suku bunga acuan BI Rate dalam beberapa tahun terakhir
tidak efektif karena tidak diikuti pasar jangka pendek. Sebagai contoh, saat
ini BI Rate 6,75 persen karena pada level itulah pasar uang jangka panjang
menghendaki ekuilibrium. Namun, di pasar uang jangka pendek, suku bunga acuan
5,5 persen. Terjadi celah yang cukup lebar. Tentu saja BI menginginkan suku
bunga acuan lebih realistis dengan yang terjadi di pasar, yang ternyata juga
lebih rendah.
Bunga yang lebih
rendah diharapkan dapat memengaruhi suku bunga bank, baik suku bunga simpanan
maupun suku bunga kredit. Belakangan ini, pemerintah gencar menginginkan suku
bunga kredit bank ditekan di bawah 10 persen agar dapat bersaing terhadap
negara-negara tetangga.
Yang menarik dari
instrumen kebijakan baru ini, BI mengakui pada 2010-2012, ketika perekonomian
global mengalami gejolak hebat, BI Rate praktis lumpuh dan tidak efektif
memengaruhi suku bunga perbankan. Bank lebih melayani kehendak pasar daripada
mengikuti ”arahan” BI.
Kini, momentumnya
telah tiba, setidaknya menurut BI. Momentum ini adalah inflasi yang mulai
terkendali. Inflasi 2015 hanya 3,35 persen, tahun ini diperkirakan 4 persen
(dengan kemungkinan meleset maksimal 1 persen). Dengan inflasi yang relatif
rendah ini, instrumen suku bunga acuan jangka pendek menjadi lebih relevan
digunakan. BI juga berharap transmisi suku bunga lebih cepat dan efektif ke
perbankan, yang selanjutnya menggerakkan sektor riil.
Saya sependapat
instrumen suku bunga acuan baru ini harus didukung prasyarat inflasi rendah.
Sebab, jika inflasi tinggi, bank-bank pasti menaikkan suku bunga sesuai
inflasi dan permintaan pemilik dana besar. Faktor nilai tukar juga krusial.
Tatkala perekonomian Amerika Serikat terus membaik, dana global pun banyak
tersedot ke AS sehingga dollar AS menguat signifikan. Sebaliknya, rupiah terus
melemah.
Pada situasi ini, mau
tidak mau bank-bank harus menahan likuiditas dengan menawarkan suku bunga
tinggi. Inilah yang terjadi pada beberapa tahun terakhir yang mulai mereda
pada beberapa bulan terakhir. Rupiah pun akhir-akhir ini mulai menguat dan
stabil di level Rp 13.100 per dollar AS. Ini pula yang dijadikan momentum BI
untuk merilis instrumen kebijakan baru.
Namun, timbul
pertanyaan, seberapa lama persyaratan ini bisa dipenuhi? Seberapa lama
inflasi bisa terus ditekan rendah 4 persen dan nilai tukar rupiah tetap
stabil dan kuat? Ini akan menjadi pekerjaan rumah besar yang akan menentukan
apakah instrumen suku bunga acuan baru BI 7-Day Repo Rate akan sukses atau
tidak.
Soal inflasi, BI
mengakui, banyak faktor nonmoneter yang amat dominan memengaruhi. Di
Indonesia, inflasi tidak semata-mata masalah moneter, seperti didalilkan
Milton Friedman dari Chicago (1968). Inflasi juga bisa disebabkan distribusi
barang yang tersendat, infrastruktur yang buruk, birokrasi yang berbelit,
cuaca atau iklim, serta perilaku rent-seeking. Inflasi bisa pula karena
administered prices.
Itulah sebabnya, BI
kian bersemangat melakukan koordinasi memantau inflasi bersama Tim Pengendali
Inflasi Daerah, yang mencapai 460 kota. BI menyadari, inflasi banyak
ditentukan faktor-faktor di sektor riil yang pengendaliannya dapat dilakukan
para kepala daerah.
Bagaimana dengan nilai
tukar rupiah? Modal global sedang banyak mengalir masuk. Cadangan devisa kita
sekarang 107,5 miliar dollar AS. Penyebabnya, kombinasi batalnya Bank Sentral
AS, The Fed, menaikkan suku bunga, tren suku bunga rendah di Eropa dan
Jepang, serta melambatnya perekonomian Tiongkok. Akibatnya, modal global
kembali mengalir ke mana-mana, terutama negara-negara emerging markets yang
masih prospektif, seperti India dan Indonesia.
Sampai kapan tren ini
berlanjut? Tidak ada yang tahu. Kini, semakin sulit menebak masa depan
perekonomian global, bahkan untuk jangka pendek. Misalnya, harga minyak
dunia, apakah 40 dollar AS per barrel seperti sekarang, menjadi lebih tinggi,
atau turun lagi? Lalu, apakah suku bunga acuan AS tetap 0,5 persen hingga
akhir tahun?
Akhirnya, upaya BI
mengganti instrumen suku bunga acuan adalah keniscayaan dan memang menjadi
kebutuhan agar transmisi kebijakan moneter berjalan mulus dan efektif. Namun,
itu tidak mudah dilaksanakan. Ke depan, tetap ada dua prasyarat utama yang
harus dipenuhi, yakni pengendalian inflasi dan stabilisasi nilai tukar
rupiah. Ini memang tujuan dan tugas utama otoritas moneter. Jika tidak,
instrumen baru ini pun akan menghadapi ketidakpastian dan menjadi tidak
efektif, alias mengulang pengalaman BI Rate. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar