SDGs di Indonesia dan Inspirasi Kartini
Wahyu Susilo ; Analis Kebijakan Migrant Care;
Anggota Koalisi CSO Indonesia
untuk SDGs
|
MEDIA INDONESIA,
21 April 2016
PERTENGAHAN Maret 2016 lalu, sebuah proses penyempurnaan
komitmen global memerangi kemiskinan SDGs (Sustainable Development Goals) telah melangkah ke tahapan yang
lebih maju. Tahapan itu adalah kesepakatan tentang indikator SDGs yang akan
menjadi benchmark tercapai tidaknya 17 goal dan target yang ada dalam SDGs
sebagaimana yang disepakati oleh seluruh pemimpin dunia pada September 2015.
Pada saat yang sama, di Indonesia sedang berlangsung proses
pelembagaan dan pembumian SDGs untuk memastikan bahwa komitmen global ini
bisa bekerja dan menjadi panduan bersama meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia dan tidak boleh meninggalkan siapa pun dalam setiap proses yang
berlangsung. Oleh karena itu, idealnya dalam proses perumusan pelembagaan,
kebijakan, hingga indikator, prinsip-prinsip inklusif dan partisipatif adalah
hal yang mutlak. Demikian juga pada saat perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasinya.
Proses tersebut harus belajar dari keterlambatan pemerintah
Indonesia yang baru merumuskan rencana aksi nasional pencapaian MDGs pada
2010, 10 tahun setelah MDGs dideklarasikan pada 2000. Berbagai evaluasi
mengenai MDGs di Indonesia bersepakat bahwa kegagalan MDGs, terutama untuk
goal-goal yang krusial (antara lain penurunan angka kematian ibu melahirkan,
deforestasi, penyediaan air minum, dan tingginya angka penderita HIV/AIDS),
selain karena ketaktersediaan dan ketakmampuan kebijakan juga karena tak ada
rasa kepemilikan (ownership)
terhadap MDGs. Komitmen global ini hanya dianggap produk PBB dan direduksi
menjadi proyek pemerintah.
Sekarang ini juga muncul pertanyaan, apakah SDGs ini produk asing?
Pertanyaan ini yang dulu juga selalu dilekatkan pada MDGs. Jauhkah SDGs dari
realitas sosiologis yang berlangsung di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa membandingkan goal
dan target, terutama terkait dengan masalah yang dihadapi perempuan dengan
cita-cita pembebasan perempuan yang diperjuangkan oleh Kartini lebih seabad
yang lalu.
Dalam surat-surat yang dikirim ke sahabat-sahabatnya di negeri
Belanda dan juga kumpulan tulisannya yang ada di buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini banyak menuliskan
kegelisahannya mengenai diskriminasi yang dihadapi perempuan, juga tentang
masalah-masalah yang mengungkung kaum perempuan.
Persoalan-persoalan itu, antara lain, ketiadaan akses bagi
perempuan untuk mengenyam pendidikan, praktik pengekangan perempuan atas nama
budaya, praktik pernikahan paksa dan pernikahan di bawah umur.
Kisah akhir perjalanan sejarah Kartini hingga menjelang
kematiannya (112 tahun yang lalu) adalah kisah yang masih berlangsung dan
dialami jutaan perempuan Indonesia hingga saat ini. Dipaksa kawin (muda)
dengan pasangannya yang sudah menikah, dan meninggal dunia setelah
melahirkan. Indonesia adalah salah satu negara yang gagal mengerem laju
kematian ibu melahirkan sesuai dengan target MDGs yaitu 108 kematian/100.000
kelahiran hidup. Bahkan angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pernah
melonjak hingga 359 kematian/100.000 kelahiran hidup.
Kegelisahan Kartini tentang diskriminasi yang dialami perempuan,
ketiadaan akses perempuan untuk mengenyam pendidikan, praktik pengekangan
perempuan atas nama budaya, pernikahan paksa terhadap anak perempuan, dan
perbudakan perempuan adalah pertanyaan-pertanyaan perempuan (meminjam istilah
kaum feminis) yang harus dijawab pada segala zaman. Kegelisahan Kartini juga menginspirasi
para pelanjutnya, semisal para penggagas Kongres Perempuan Indonesia yang
menambahkan persoalan perdagangan perempuan dan anak sebagai masalah yang
juga dihadapi oleh perempuan Indonesia. Yang terakhir, organisasi-organisasi
perempuan yang bekerja untuk hak kesehatan menemukan masih banyak praktik
sunat terhadap anak-anak perempuan di Indonesia.
Uraian historis tersebut memperlihatkan bahwa goal dan target SDGs (terutama terkait
dengan perempuan) bukan hal yang baru dan asing untuk Indonesia. Ia bahkan
memiliki relevansi kesejarahan utuk menjawab persoalan yang dihadapi
perempuan Indonesia dari zaman ke zaman. Watak ideologi pembangunan di
Indonesia yang patriarkis selama ini juga abai pada kebutuhan-kebutuhan
khusus yang dihadapi perempuan, pun semakin mendorong proses marginalisasi
perempuan dan feminisasi perempuan.
Oleh karena itu, jika pemerintah Indonesia konsisten dengan
prinsip no one left behind yang
menjadi salah satu maklumat SDGs, proses pelembagaan SDGs hendaknya tidak
melupakan sejarah panjang masalah perempuan Indonesia, juga tidak
mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan, serta senantiasa
mengedepankan kepentingan kelompok-kelompok marginal yang selama ini
diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Untuk target-target spesifik dalam goal SDGs terkait perempuan seperti pernikahan anak, perdagangan
perempuan, dan sunat perempuan yang hingga kini belum tersedia datanya di
Indonesia, itu tidak boleh menjadi alat legitimasi untuk mengesampingkan
target tersebut. Kondisi itu harus menjadi landasan awal bagi semua pemangku
kepentingan membangun data base, merumuskan indikator, dan menyusun kebijakan
untuk pencapaian target-target tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar