RI-Tiongkok dan Kepercayaan yang Rapuh
PLE Priatna ;
Diplomat; Anggota Staf Sekretariat
Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Kementerian Luar Negeri
|
KOMPAS, 02 April
2016
Kapalikan KM Kway Fey 10078 berbobot kotor 300 ton asal Tiongkok
memasuki kawasan Perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Saat terdeteksi
kapal patroli RI (KP Hiu 11), kapal penjaga pantai Tiongkok yang membuntuti
kapal Kway Fey itu menghalaunya dengan menabrak badan kapal Kway Fey agar tak
ditangkap. Meski demikian, delapan anak buah kapal Kway Fey akhirnya tetap
berhasil ditangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ketegangan diplomatik RI-Tiongkok pun merebak. Menlu RI
melakukan protes keras, sekaligus memanggil Kuasa Usaha Republik Rakyat
Tiongkok di Jakarta. Kemlu Tiongkok di Beijing menyangkal melakukan pelanggaran
kedaulatan karena menganggap kapal Kway Fey (KF) berada dalam traditional fishing zone RRT, bahkan
ia meminta para anak buah kapal KF dibebaskan. Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pun menjawab tegas: tidak ada
doktrin wilayah perairan perikanan tradisional itu.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai insiden Natuna
mengancam hubungan diplomatik RI-Tiongkok, sekalipun Istana menyatakan RI
tidak sedang berkonflik dengan Tiongkok. TNI AL pun menyatakan insiden Natuna
hanya konflik perikanan dan bukan pertahanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali
mengancam akan menggugat Tiongkok ke Mahkamah Hukum Laut Internasional bila
Tiongkok tetap menghambat langkah Indonesia menghukum KF. Sementara Wakil
Ketua DPR Fahri Hamzah minta Presiden tak menyerahkan urusan Natuna kepada
Susi Pudjiastuti.
Elemen milisi maritim
Indonesia bukan negara para pihak yang bersengketa di Laut
Tiongkok Selatan. Namun, hubungan RI-RRT kembali diuji, di tengah hadirnya
milisi maritim Tiongkok. Dari kronologi insiden KF, terkuak langkah proteksi
aparat Tiongkok. Adanya intervensi (militer) kapal penjaga pantai Tiongkok
menabrak kapal KF agar tenggelam dan terbebas dari kapal patroli RI, diyakini
KF sebagai kapal (gelap) milisi maritim Tiongkok.
Bukan rahasia lagi.
Saat ini, ribuan tenaga milisi kelautan Tiongkok bergerak sebagai nelayan
pencari ikan (little blue men)
dengan kapal kecil atau sedang, tetapi berteknologi canggih. Mereka
menjelajah seantero dunia, berkomunikasi, dan bahkan menerima instruksi dari
aparat keamanan laut Tiongkok di wilayah terdekat maupun pusat komando
regional Angkatan Laut Tiongkok (Andrew
Erickson dan Conor Kennedy, 2016).
”Bahkan bila terjadi sengketa terbuka, anggota milisi maritim
ini dapat mengambil alih posisi Angkatan Laut Tiongkok,” demikian kata Chris
Cavas tanpa merinci strategi dan taktik yang dilakukan (Defense News, 2/11/2015).
Dengan kata lain, milisi maritim adalah ujung tombak kekuatan
pertahanan laut Tiongkok. Jadi, mereka bukan lagi sekadar nelayan tua
penjaring ikan di laut, yang sepenuhnya bebas dari misi bela negara. Tidak
mengherankan bila sekitar 100 kapal pencari ikan Tiongkok terdeteksi melakukan
pelanggaran batas wilayah perairan Malaysia di Laut Tiongkok Selatan yangjadi
sengketa.
Meningkatnya kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi
Tiongkok dengan negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia belakangan ini,
tidak dengan sendirinya meningkatkan kepercayaan (trust) kepada Tiongkok. Kemelut teritorial yang timbul akibat
klaim RRT di Laut Tiongkok Selatan, proyek reklamasi dan pembangunan
fasilitas militer Tiongkok di gugus Pulau Spratly dan Paracel, misalnya,
jelas menjadi faktor negatif RRT di tengah rapuhnya kepercayaan dikawasan
ini.
Sebagian anggota ASEAN bahkan masih melihat RRT sebagai sumber
ancaman nyata bagi kestabilan, keamanan, dan penguasaan sumber daya ekonomi
Asia Tenggara.
Coba kita lihat produksi hasil perikanan dan kekayaan laut di
wilayah perairan Laut Tiongkok Selatan selama lima tahun (2005-2010):
mencapai 10,5 juta ton, senilai 21,8 miliar dollar AS (pada 2012). Dari stok
itu, RRT memanen 45 persennya, senilai 12 miliar dollar AS; Vietnam 4,384
miliar dollar AS; Taiwan (2,731 miliar dollar AS); Malaysia (1,2 miliar
dollar AS); dan Indonesia (1,2 miliar dollar AS). Demikian hasil studi
Universitas British Columbia, 2015.
Dari angka itu, Tiongkok menguasai hampir setengah deposit
kekayaan ikan dan berhasil menjadikannya devisa yang besar. Dominasi Tiongkok
merebut persaingan ekonomi seperti itu tentu menimbulkan dilema dalam menyiasati
kerja sama ekonomi.
Perlu terobosan diplomasi
Sikap arogan RRT menyikapi insiden KF, misalnya, jelas
membangkitkan kekecewaan publik di tengah bulan madu upaya peningkatan kerja
sama ekonomi RI-RRT. Belum lagi rendahnya rasio realisasi investasi RRT di Indonesia,
tentu menimbulkan berbagai pertanyaan.
Karena itu, respons publik di dalam negeri bisa menjadi elemen
kontra-produktif bagi peningkatan kerja sama RI-RRT. Rasa kebangsaan publik
diusik. Tidak hanya oleh tindak pelanggaran wilayah, lebih dari itu,
pencurian aset negara secara masif ini bisa menimbulkan gerakan perlawanan,
bahkan sentimen anti Tiongkok di tingkat akar rumput.
Di tengah tantangan seperti itu, Jakarta dan Beijing perlu
melakukan terobosan diplomasi (baca: membuka area kerja sama baru) guna
menumbuhkan kepercayaan yang rapuh. Faktor masa lalu hubungan RI-RRT, meski
bukan faktor utama, bisa menjadi pendulum kepercayaan.
Langkah Tiongkok menghentikan pencurian ikan di teritori Indonesia
adalah salah satu solusi tepat untuk memulihkan kepercayaan yang rapuh itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar