Pilatus
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 04 April
2016
Ecce homo! Apa yang
dimaksudkannya? Apa yang dikehendaki wakil Imperium Romawi itu, dalam bahasa
Latin, dari penduduk Yerusalem yang berkelimun tak sabar menunggu di bawah
balkon? Ataukah teriak itu ditujukan kepada Kaiafas dan para tokoh agama yang
hadir di sana, yang menuntut agar "orang itu" dihukum mati?
Ecce homo! Lihat orang itu!
Tapi buat apa?
Barangkali inilah yang dimaui
Pontius Pilatus: agar orang ramai itu bisa tambah yakin menista "orang
itu"—tahanan yang kepalanya telah mereka pasangi selingkar duri sebagai
cemooh. Atau mungkin supaya mereka bisa menatapnya sepuas-puasnya dengan
benci—dan mendukung keputusan hukuman mati atas Yeshua itu. Bukankah sudah
lama rabi muda itu dituduh menghasut orang banyak, agar menyimpang dari
ajaran agama?
Ataukah Pilatus bermaksud
sebaliknya? Mungkinkah ia berseru "Ecce homo!" justru agar khalayak
ramai itu punya rasa belas kepada wajah yang tulus tapi luka-luka itu? Atau
supaya mereka menyadari—setelah melihat dari dekat sosok tahanan itu—bahwa
mereka sedang hendak menghukum mati seseorang yang tak bisa disederhanakan
dengan hukum dan kategori? Atau agar para tokoh agama itu berpikir kembali bahwa
dengan dalil-dalil mereka yang diresmikan Tuhan sekalipun, mereka tetap
khilaf dalam menafsirkan seorang manusia—makhluk 1.001 kemungkinan dan 1.001
kemustahilan?
Ecce homo! Pilatus
memperlihatkan paras Yeshua. Mungkin ia ingin menunjukkan bahwa paras itu,
seperti paras siapa pun, adalah wujud yang singular, dan sebab itu tak
ternilai, tak bisa dipertukarkan dengan siapa pun....
Tapi akhirnya tak mudah
mengerti apa maksud dua patah kata Latin yang diteriakkan dari balkon hari
itu. Akhirnya kita harus menimbang pejabat Romawi itu: jahat, tidak-jahat,
jahat....
Ada yang mengatakan, ia seperti
hampir semua pembesar Romawi: brutal dan arogan. Para pengikut Yeshua, yang
kemudian disebut umat "Kristen", pantas menganggap penguasa itu tak
bersih. Ia memang memperlihatkan kepada khalayak ramai bahwa ia mencuci
tangannya sebelum orang ramai melecut Yeshua ke bukit untuk disalibkan. Tapi
penguasa itu tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab.
Tapi ada yang menduga, Pilatus
sebenarnya tak berencana menghabisi Yeshua. Ia hanya tak mau dimusuhi
orang-orang Yahudi Yerusalem. Mereka sudah mendesak agar orang itu
disalibkan, dan pejabat Imperium Romawi yang jauh dari pusat itu tak ingin
penduduk lokal melawannya. Ia orang yang, dengan pragmatisme politik, ingin
kekuasaannya aman di jalan yang tak lurus.
Mungkin Pilatus seorang tokoh
dalam drama ambiguitas yang tegang. Di abad ke-2 pernah beredar
surat-suratnya (ternyata palsu) yang menunjukkan bahwa pejabat Romawi ini
sebenarnya beriman Kristen. Dengan kata lain: ia tak bersalah. Di abad ke-3,
Origen Adamantius (184-253), pakar theologi dari Alexandria, misalnya,
menulis bahwa orang Yahudi-lah yang membunuh Yesus—sebuah pandangan yang ikut
mendasari anti-Semitisme Kristen sampai hari ini. Meskipun di abad ke-4 para theolog
kembali meletakkan kesalahan pada Pilatus....
Sejarah, kita tahu, tak pernah
ditulis lurus.
Maka Ecce homo! Di sekitar
Paskah wajar jika orang (terutama yang bukan Kristen) lebih ingin melihat si
penghukum, bukan si terhukum. Mikhail Bulgakov mendatangkan Pilatus ke Moskow
abad ke-20 dalam novel The Master and Margarita, ke kancah dunia yang tak
tenteram di antara fantasi yang ganjil.
Pilatus hadir dan membenci kota
"Yershalaim" tempat ia bertugas, kota dengan bau mawar yang tak
disukainya dan suara fanatik di mana-mana. Suatu hari ia harus menginterogasi
laki-laki pengembara itu, Yeshua Ha-Nozri. Orang ini dituduh akan
menghancurkan Baitulah.
Tapi Yeshua menyangkal. Tak
berarti ia menyukai kenisah itu. Ia percaya bangunan iman lama akan
digantikan dengan yang baru. Ia percaya "semua kekuasaan adalah bentuk
kekerasan terhadap orang banyak". Tapi ia yakin ada kerajaan kebenaran
dan keadilan, kerajaan yang damai—dan kerajaan itu akan datang.
"Tak akan pernah!"
teriak Pilatus membantah. Baginya kekuasaan yang ada, di bawah Maharaja
Tiberius, adalah kekuasaan yang sudah sempurna. Baginya Yeshua tolol, percaya
bahwa semua orang baik, bahkan Yudas yang mengkhianatinya.
Tapi Pilatus kemudian berteman
dengan filosof dari udik yang mengembara itu. Ia, yang membenci semua hal,
hanya bisa mengharapkan untuk tak dibenci dari seorang Yeshua. "Dan
mereka berbicara tentang soal yang penting dan membingungkan, dan tak satu
pihak pun dapat meyakinkan yang lain... maka percakapan mereka semestinya
menarik dan tak pernah berakhir."
Tapi kemudian Yeshua dihukum
mati.
Lihat orang itu. Lihat
kekosongan itu. Tak ada lagi percakapan yang berlanjut dan tak harus mufakat.
Kota berbau mawar klise dan penuh suara fanatik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar