Perkaya Diri secara Tak Sah
Artidjo Alkostar ; Hakim Agung; Ketua Kamar Pidana MA RI;
Dosen Fakultas Hukum UII
Yogyakarta
|
KOMPAS, 21 April
2016
Memperkaya diri secara tidak sah atau illicit enrichment merupakan salah satu bentuk perbuatan korupsi.
Dalam perspektif ontologis atau keberadaan, perbuatan yang bersifat korup
tidak dikehendaki oleh masyarakat. Sementara secara aksiologis atau dilihat
dari segi nilai, perbuatan korupsi itu tidak cocok dengan nilai kesusilaan
dan kepatutan yang berlaku dalam bangsa beradab.
Memperkaya diri secara tak sah merupakan manifestasi keserakahan
yang asosial. Sikap koruptif merupakan virus asosial dan menularkan perilaku
koruptif multiefek. Keberadaan perangkat hukum larangan korupsi merupakan
kebutuhan asasi suatu masyarakat bangsa dalam mempertahankan eksistensi
negara dan membangun peradabannya. Korupsi merupakan penyakit sosial,
politik, dan ekonomi sangat kompleks yang menjangkiti Indonesia saat ini.
Korupsi merusak institusi demokrasi, merampas hak-hak strategis rakyat untuk
hidup layak bagi kemanusiaan dan menurunkan kinerja pemerintahan. Untuk itu,
penegakan hukum terhadap korupsi harus mampu menghidupkan sukma hukum
berkeadilan dan menggerakkan instrumen peraturan anti-korupsi ke arah
perlindungan dan peningkatan martabat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Negara Indonesia yang
telah mengesahkan Konvensi Anti Korupsi yang diberlakukan PBB atau United Nations Convention Against
Corruption dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pasal 18 Konvensi PBB Anti Korupsi itu
melarang adanya pejabat publik yang memperdagangkan pengaruh atau melakukan
hubungan transaksional yang tidak patut yang berakibat merugikan publik,
masyarakat, rakyat, atau negara.
Postulat moral keberadaan ketentuan itu adalah larangan
keberadaan praktik perdagangan kewenangan atau pengaruh yang sejatinya milik
publik, lalu dialihkan menjadi milik individual dan diperdagangkan di pasar
gelap. Praktik suap untuk izin pertambangan, reklamasi, pembangunan gedung,
kolusi dalam pembuatan peraturan atau UU yang marak dewasa ini merupakan
tipologi perbuatan memperdagangkan pengaruh.
Transaksi jual beli
pengaruh selalu melibatkan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi. Untuk itu,
penentuan perbuatan yang tak dikehendaki, seperti perdagangan pengaruh,
memperkaya diri secara tidak sah, didasarkan atas premis sifat berbahayanya
perbuatan yang dapat menimbulkan oligarki dan dinasti politik serta munculnya
kemiskinan struktural, yaitu sistem hubungan sosial ekonomi yang tak adil
karena yang miskin tetap atau tambah miskin dan yang kaya tambah kaya.
Merusak kohesi
Di dalam masyarakat Indonesia saat ini ada area kelabu antara
kewenangan publik dan motif kepentingan individual dari pejabat publik.
Praktik keberadaan perdagangan pengaruh
tak dikehendaki oleh masyarakat beradab karena keberadaan perbuatan
itu merusak tatanan moral dan menghancurkan tata kelola pemerintahan
yang baik. Adanya perbuatan
memperdagangkan pengaruh dan memperkaya diri secara tak sah selalu
menimbulkan ironi demokrasi berupa kesenjangan sosial ekonomi yang merusak
kohesi sosial persatuan bangsa Indonesia yang majemuk.
Perbuatan ilegal memperdagangkan pengaruh ini bertali-temali
dengan tindakan asosial lain, yaitu memperkaya diri secara tak sah (pasal
20), penyuapan di sektor swasta (pasal 21), dan penggelapan kekayaan di
sektor swasta (pasal 22) yang membahayakan negara. Hal ini menuntut adanya
pengaturan hukum yang tegas supaya tubuh negara kesatuan RI tak mengidap
penyakit kanker korupsi yang kronis dan menjaga kekayaan negara agar tak
hanya dinikmati pihak- pihak bermental korup.
Revolusi mental yang digulirkan pemerintahan saat ini harus di
realisasikan dalam bentuk perangkat hukum yang berspirit kerakyatan.
Instrumen hukum yang berdaulat akan berdampak bagi iklim sosial ekonomi yang
kondusif dan memberi payung hukum bagi dunia usaha yang sehat sehingga pelaku
usaha tak berada dalam suasana rentan suap dan pemerasan (Kompas, 16/4/2016).
Penanaman modal dan habitat perdagangan yang prospektif menyuburkan
pertumbuhan ekonomi harus terjamin dengan adanya penegakan hukum yang
berintegritas, bukan karena ada koneksi kolutif dengan penyelenggara negara
yang memperdagangkan pengaruh atau menyalahgunakan kewenangan.
Konsekuensi logis Pasal 20
Konvensi PBB tentang Anti Korupsi, negara Indonesia wajib
mempertimbangkan untuk mengadopsi larangan memperkaya diri secara tak sah,
yaitu adanya peningkatan secara signifikan dalam aset kekayaan pejabat publik
yang tak dapat ia jelaskan secara wajar dan masuk akal berkaitan dengan
penghasilannya. Skandal Dokumen Panama menunjukkan betapa para pemegang
kekuasaan politik dan pemilik kekuatan ekonomi, oligarki selalu ingin
menambah kekayaan secara tak sah. Sedikitnya 140 politisi, termasuk 12
pemimpin negara, selebritas, serta bintang olahraga disebut dalam dokumen
yang mengungkap aneka dugaan praktik skandal keuangan rahasia (Kompas,
14/4/2016).
Fenomena skandal keuangan yang di dalamnya terdapat beberapa nama orang Indonesia
menyiratkan kita perlu memberlakukan aturan hukum yang melarang perbuatan
memperkaya diri secara tak sah. Apalagi, ada data bahwa 6.000 WNI menyimpan
dana di luar negeri (Kompas, 11/4/2016). Hal ini menunjukkan betapa banyak
orang Indonesia mengabaikan nasionalisme ekonomi dan nasib rakyat lemah serta
lebih mementingkan penumpukan harta pribadi. Fungsi protektif hukum pidana korupsi
harus direalisasikan dalam praktik pendistribusian ekonomi yang adil dan
penegakan kedaulatan hukum nasional. Salah satunya, kerugian keuangan negara
yang diperoleh koruptor harus dikembalikan kepada rakyat yang masih berada
dalam kemiskinan.
Ancaman bagi
daya saing
Data Badan Pusat Statistik pada Maret 2015 menunjukkan, tingkat
kemiskinan di Indonesia mencapai 11,22 persen atau 28,59 juta orang. Banyak
rakyat miskin di satu pihak, sementara di pihak lain triliunan rupiah uang
negara dikorupsi oleh koruptor. Ini merupakan ironi bagi negara yang
berideologi keadilan sosial dan berperikemanusiaan yang adil dan
beradab. Negara dan rakyat Indonesia
saat ini sedang berperang melawan korupsi politik yang dilakukan oleh
pemegang kekuasaan politik elektoral dan korupsi vertikal yang dilakukan oleh
pejabat tinggi negara yang mempergunakan instrumen kekuasaan dan fasilitas
yang melekat pada dirinya.
Penegakan hukum Indonesia
harus secara efektif dapat memberi sanksi korporasi yang melanggar hukum
Indonesia. Korporasi merupakan kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Hingga saat ini, penyidik dan penuntut umum
di Indonesia masih gamang untuk menyeret korporasi ke meja hijau sehingga
kejahatan korporasi yang melakukan korupsi atau berkolusi dengan pejabat yang
memperdagangkan pengaruh tidak tersentuh sanksi hukum. Korporasi saat ini
banyak dijadikan instrumen melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang,
pencurian ikan, pembalakan hutan, perusakan lingkungan hidup, menyembunyikan
kekayaan, dan menghindari pajak yang banyak merugikan negara Indonesia. Dalam
bocoran dokumen firma hukum Mossack Fonseca ternyata banyak WNI yang
mendirikan perusahaan cangkang atau formalitas di atas kertas di negara pelabuhan
pajak (tax haven) untuk
menyembunyikan kekayaan dan menghindari pajak. Fenomena tak pantas ini
menunjukkan banyak orang atau
korporasi di Indonesia bermental individualis kapitalistik. Menghadapi fakta
ini, marwah kewibawaan negara Indonesia harus terus ditingkatkan dengan hukum
yang tegas dan penegak hukum yang andal.
Hingga kini, Indonesia masih masuk kelompok negara terkorup di
dunia. Tahun 2015, IPK Indonesia hanya
di peringkat ke-88 dari 178 negara. Indonesia berada dalam kelompok negara yang
kejahatan korupsinya terjadi secara sistemik dan meluas membuat orang
Indonesia menjadi malu dalam konferensi tentang korupsi di forum
internasional. Untuk itu, perlu
dibangun kesadaran kolektif bangsa untuk tak korupsi. Membangun sikap mental yang berada dalam
perangkat lunak (software) alam batin menuntut komitmen nyata dan keteladanan
pemimpin, pejabat tinggi, penyelenggara negara, wakil rakyat, dan publik
figur untuk proaktif bersikap
toleransi nol terhadap korupsi.
Perbuatan para koruptor yang memperkaya diri secara tak sah yang
berdampak pada kualitas daya saing SDM Indonesia mempunyai hubungan kausal
dengan kewibawaan negara dan martabat bangsa Indonesia. Korupsi dengan
berbagai turunannya, seperti suap, kolusi, dan pemerasan halus mempergunakan
kewenangan sebagai pejabat, akan menurunkan potensi kemampuan kompetisi
bangsa Indonesia bersaing dengan negara lain. Etos bangsa Indonesia sebagai
bangsa pejuang harus selalu direvitalisasi melalui kerja keras tanpa korupsi.
Negara Indonesia harus mengambil pelajaran dari pengalaman pahit praktik
korupsi era Orde Baru yang memunculkan ketidakadilan sistemik dan
mengakibatkan krisis ekonomi politik dan berujung gerakan reformasi.
Konsekuensi logis dari orang yang berpredikat pejabat publik
harus dapat mempertanggungjawabkan tingkah laku dan hasil perbuatannya kepada
publik. Pejabat publik memiliki
fasilitas dan kewenangan yang diamanatkan oleh rakyat. Konsekuensi
yuridisnya, pejabat publik yang memperdagangkan pengaruh dan memperkaya diri
secara tak sah harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya yang asosial
secara hukum.
Kewibawaan wajah negara Indonesia di mata internasional dan
nasional perlu terus dijaga dengan menghidupkan fungsi protektif hukum
pidana. Hukum yang adil dan berdaulat sejatinya dapat membangun optimisme
masa depan negara. Revitalisasi hukum
pidana dan peningkatan profesionalisme penegak hukum pidana yang
berkelanjutan merupakan keniscayaan. Penegakan hukum pidana yang
berintegritas merupakan salah satu komponen ketahanan negara demokrasi
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar