Percepatan Ekonomi dan Dukungan APBN 2016
Sunarsip ;
Ekonom Kepala The Indonesia
Economic Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA, 11
April 2016
Dalam tiga bulan
pertama 2016 ini, beberapa indikator makroekonomi memperlihatkan pergerakan
positif. Salah satunya, terlihat dari nilai tukar rupiah yang dalam tiga
bulan terakhir bergerak stabil dengan kecenderungan yang menguat. Akhir pekan
lalu, nilai tukar rupiah berada di level Rp 13.169 per dolar AS.
Secara year to date
(ytd), posisi nilai tukar rupiah akhir pekan lalu menguat 4,54 persen
dibandingkan posisi akhir 2015. Penguatan rupiah ini, selain ditopang oleh
sentimen positif dari dalam negeri juga didukung oleh sentimen dari luar
negeri, terutama yang berasal dari AS, Eropa, dan Jepang.
Dari dalam negeri,
penguatan nilai tukar rupiah, antara lain, didorong oleh kinerja neraca
perdagangan (ekspor-impor) yang membaik. Hingga Februari 2016, neraca
perdagangan Indonesia mengalami surplus 1,15 miliar dolar AS. Surplus ini,
terutama disumbangkan oleh surplus neraca perdagangan Januari 2016 yang
mencapai 1,14 miliar dolar AS. Kinerja selama dua bulan pertama 2016 menjadi
titik balik kinerja negatif neraca perdagangan kita yang pada dua bulan
terakhir pada 2015 mengalami defisit.
Penguatan kinerja
neraca perdagangan tentunya turut memperkuat neraca pembayaran Indonesia dan
posisi cadangan devisa. Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan posisi
cadangan devisa akhir Maret 2016 yang mencapai 107,5 miliar dolar AS atau
naik 1,6 miliar dolar AS dibandingkan posisi akhir Desember 2015.
Kenaikan posisi
cadangan devisa ini, antara lain, berasal dari penerimaan devisa migas,
penarikan pinjaman pemerintah, serta hasil lelang Surat Berharga Bank
Indonesia (SBBI) valas. Posisi cadangan devisa per akhir Maret 2016 ini cukup
untuk membiayai delapan bulan impor atau 7,8 bulan impor dan pembayaran utang
luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional
sekitar tiga bulan impor.
Khusus terkait dengan
penerimaan devisa migas, kontribusi ini memperlihatkan dua hal. Pertama,
keberhasilan mendorong pelaku migas untuk menempatkan devisa hasil migas ke
sistem keuangan di Indonesia. Kedua, fakta ini juga memperlihatkan bahwa
dalam dua bulan terakhir kinerja neraca perdagangan migas relatif membaik sebagaimana
terlihat dari menurunnya defisit neraca perdagangan migas yang tertolong oleh
harga minyak yang sedikit mengalami kenaikan (rebound).
Penguatan rupiah juga
ditopang oleh faktor yang berasal dari luar negeri, khususnya dinamika yang
terjadi di AS, Eropa, dan Jepang. Saat ini, sumber ketidakpastian pasar
keuangan global relatif berkurang.
Tekanan yang berasal
dari kenaikan suku bunga acuan di AS (the Fed Fund Rate/FFR) pada tahun ini
relatif berkurang. Kenaikan FFR diperkirakan baru akan dilakukan pada
semester II 2016 dengan frekuensi kenaikan yang lebih sedikit. Sementara itu,
belum solidnya ekonomi Uni Eropa dan Jepang telah "memaksa" bank
sentralnya mempertahankan kebijakan quantitative easing (QE) melalui
kebijakan pelonggaran moneter serta penerapan kebijakan suku bunga acuan
negatif.
Dinamika eksternal ini
menyebabkan para pemilik surplus dana mencari tempat baru bagi penempatan
dana mereka. Ini mengingat, menyimpan dana di Eropa, Jepang, dan AS kurang
menguntungkan. Akhirnya, mereka mengalihkan dananya ke emerging countries,
termasuk Indonesia yang perekonomiannya tumbuh stabil serta memberikan imbal
hasil investasi (yield) yang cukup tinggi.
Tercatat, hingga
Februari 2016, surplus neraca finansial Indonesia telah mencapai 2,2 miliar
dolar AS. Aliran modal asing di pasar saham sudah tercatat positif. Kondisi
inilah yang menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami penguatan.
Meskipun terdapat
sinyal positif, pemerintah juga memiliki tantangan strategis yang harus
diselesaikan. Salah satunya adalah terkait dengan APBN 2016. Hal ini karena
sejumlah asumsi makroekonomi pada APBN 2016 mengalami penyimpangan.
Terdapat beberapa
risiko yang dihadapi APBN 2016. Pertama, realisasi nilai tukar rupiah
diperkirakan jauh dari asumsinya. APBN 2016 menggunakan asumsi nilai tukar Rp
13.900 per dolar AS, sedangkan saat ini realisasinya jauh lebih kuat.
Realisasi nilai tukar yang lebih kuat ini diperkirakan dapat mengoreksi
penerimaan negara menjadi lebih rendah.
Kedua, harga minyak
dan lifting minyak mentah juga diperkirakan jauh dari asumsi pada APBN 2016.
Pada APBN 2016 asumsi harga minyak ditetapkan 50 dolar AS per barel dan
lifting ditetapkan 830 ribu barel per hari (bph). Realisasi harga minyak saat
ini masih di bawah 40 dolar AS per barel.
Rendahnya realisasi
harga minyak mentah ini menjadi disinsentif bagi peningkatan produksi minyak.
Berdasarkan data dari Sistem Monitoring Volume Lifting Minyak dan Gas Bumi
Kementerian ESDM, data sementara sampai dengan April 2016, rata-rata lifting
minyak baru mencapai 781,28 bph. Pelemahan harga minyak mentah dan lifting
minyak tentunya berdampak negatif bagi penerimaan APBN.
Kondisi ini tentunya
dapat berpotensi mengganggu sisi penerimaan APBN 2016. Dan, bila ini terjadi,
tentunya juga dapat mengganggu sisi belanja negara APBN 2016. Padahal,
pemerintah saat ini sedang giat mendorong pembangunan ekonomi melalui
percepatan pembangunan infrastruktur.
Tanpa diimbangi dengan
kecukupan penerimaan negara, semangat percepatan pembangunan ekonomi
berpotensi terganggu. Atau, kalau semangat percepatan pembangunan ini tetap
dijaga di saat sumber penerimaannya tersendat maka defisit APBN 2016 harus
ditambah. Implikasinya, utang pemerintah bertambah dan bisa jadi tambahan
utang ini justru menimbulkan crowding out effect bagi ekspansi ekonomi dari
sisi swasta.
Satu hal yang
sepertinya tak dapat dihindari adalah APBN 2016 perlu direvisi. Beberapa
asumsi makroekonomi perlu diubah karena tidak realistis lagi. Besaran APBN
baik sisi penerimaan dan belanja juga perlu disesuaikan.
Saya mengusulkan
beberapa langkah koreksi terkait dengan APBN 2016. Pertama, sedapat mungkin
koreksi APBN 2016 tidak mengubah target penerimaan negara, khususnya
perpajakan. Atau, kalaupun diubah, besaran perubahan hendaknya tidak terlalu
dratis.
Upaya intensifikasi
dengan menggali potensi pajak dari korporasi besar dapat dilakukan. Rencana
pengampunan pajak (tax amnesty) bisa menjadi pijakan untuk mendorong
kepatuhan pajak dalam rangka peningkatan pajak pada tahun ini dan tahun-tahun
selanjutnya.
Kedua, koreksi dari
sisi penerimaan negara hendaknya pula tidak mengurangi semangat percepatan
pembangunan ekonomi, khususnya belanja modal dan infrastruktur. Penurunan
harga minyak semestinya menyebabkan harga energi (BBM dan listrik) dan satuan
harga lainnya juga turun. Kondisi ini semestinya juga menurunkan belanja
kementerian untuk setiap pos belanja.
Dengan kata lain,
nilai belanja proyek memang berkurang, tapi kuantitas proyeknya sebenarnya
tidak harus berkurang. Ditambah dengan efisiensi beberapa pos pengeluaran
yang tidak terlalu penting maka koreksi pada sisi belanja negara semestinya
tetap tidak mengurangi semangat percepatan pembangunan infrastruktur.
Pada 2016 ini adalah
momentum yang tepat untuk mengakselerasi perekonomian kita. Ini mengingat
banyak sentimen positif yang dapat menjadi pendorong. Oleh karenanya,
momentum ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Dan, dukungan fiskal
diperlukan agar momentum ini tidak lewat begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar