Pembangunan dan Perkampungan Kumuh Perkotaan
Razali Ritonga ;
Kepala Pusdiklat BPS RI
|
MEDIA INDONESIA,
05 April 2016
HADIRNYA anak jalanan,
pengemis, penyewaan anak, dan perdagangan anak saat ini cukup banyak dijumpai
di sejumlah kota di Tanah Air, khususnya kota besar seperti Jakarta. Ditengarai,
munculnya fenomena itu tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kota yang kian
terpolarisasi di antara kelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya
dan penduduk miskin.
Pembangunan yang hingga
kini bias ke perkotaan dan pusat-pusat pemerintahan justru menghasilkan
distribusi pendapatan yang kian timpang di perkotaan. Ketimpangan itu
ditengarai bukan semata akibat pembagian pendapatan yang kurang merata di
perkotaan, melainkan juga diperparah urbanisasi kemiskinan. Penduduk kota
kian disesaki penduduk dari perdesaan. Bahkan, secara agregat penduduk
perkotaan kini telah melampaui penduduk perdesaan. Padahal, pada 1970-an,
menurut hasil Sensus Penduduk 1971, persentase penduduk perkotaan baru mencapai
17,29% dari total penduduk di Tanah Air dan sisanya menetap di perdesaan.
Namun, dalam tiga
dasawarsa kemudian (2010), penduduk perkotaan menjadi 49,79%. Diproyeksikan,
pada 2035 sekitar dua per tiga (66,6%) penduduk di Tanah Air menetap di
perkotaan.
Perkampungan kumuh
Celakanya, pembangunan
perkotaan itu tidak cukup memberikan peluang bagi seluruh penduduk, terutama
penduduk miskin perkotaan, untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan
sehingga terpaksa berjuang demi mempertahankan hidup (struggle to survive). Akibatnya, pembangunan di perkotaan itu
menyisakan persoalan serius bagi kehidupan penduduk miskin perkotaan,
terutama bagi kehidupan anak di daerah perkampungan kumuh (slums area).
Secara faktual, hal
itu sekaligus mengisyaratkan bahwa persoalan yang dihadapi anak dari kelompok
miskin di perkotaan bukan semata kerentanan dimanfaatkan menjadi pengemis
atau diperdagangkan, melainkan juga berpotensi mengalami gangguan tumbuh
kembang. Hal itu terjadi karena kurangnya aksesibilitas layanan dasar bagi
anak di perkampungan kumuh perkotaan.
UN-Habitat (2006/2007)
memperkirakan secara global sekitar seperlima rumah tangga di perkampungan
kumuh tidak mampu memenuhi sedikitnya tiga aspek dari sejumlah aspek
kebutuhan dasar bertempat tinggal secara layak. Seperti air bersih, toilet
atau jamban sehat, rumah terlindung dari cuaca ekstrem, keberadaan rumah
memang untuk peruntukannya, dan satu kamar tidur berbagi tidak lebih dari
tiga orang.
Persoalan serius bagi
anak-anak yang tinggal di daerah kumuh itu ialah gangguan kesehatan dengan
risiko kematian tinggi. Di Rwanda dan Kamboja, misalnya, probabilitas atau
kemungkinan kematian anak di perkotaan yang lahir pada kelompok termiskin
mencapai lima kali lipat jika dibandingkan dengan probabilitas kematian anak
yang lahir pada kelompok terkaya.
Bahkan, probabilitas
kematian anak yang lahir pada kelompok termiskin di perkotaan kini
diperkirakan lebih tinggi daripada probabilitas kematian anak yang lahir pada
kelompok termiskin di perdesaan (The
State of the World's Mothers, 2015).
Tingginya probabilitas
kematian anak dari kelompok termiskin di perkotaan itu, antara lain,
diakibatkan kesulitan mengakses air bersih serta sanitasi dan lingkungan
tempat tinggal yang lebih buruk jika dibandingkan dengan di perdesaan.
Secara faktual, hal
itu sekaligus mengisyaratkan bahwa aksesibilitas air bersih serta sanitasi
dan lingkungan tempat tinggal yang sehat amat penting bagi tumbuh kembang
anak di perkampungan kumuh jika dibandingkan, misalnya, dengan keberadaan layanan
kesehatan di sekitar tempat tinggal mereka.
Maka, atas dasar itu,
untuk menyelamatkan kehidupan anak di perkotaan, pemerintah sedikitnya perlu
melakukan dua hal. Pertama, pemerintah secara serius meredistribusi
pembangunan. Namun, hal itu bukan berarti pemerintah selama ini kurang serius
dalam melakukan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
perdesaan. Akan tetapi, dengan mencermati masih tingginya angka kemiskinan di
perdesaan jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di perkotaan, hal itu
mengindikasikan kinerja pembangunan di perdesaan belum cukup efektif.
Tercatat, pada
September 2015, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 17,89 juta jiwa,
sedangkan jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 10,62 juta jiwa atau
secara persentase penduduk miskin di perdesaan sebesar 14,09% dan di
perkotaan sebesar 8,22% (BPS, 2016). Tingginya angka kemiskinan di perdesaan
itu diperkirakan menjadi faktor pendorong sebagian penduduk pindah ke
perkotaan.
Kompensasi kesenjangan
Selain meningkatkan
pembangunan perdesaan, pemerintah perlu mengupayakan kompensasi atas
kesenjangan yang parah di perkotaan.
Pemberlakuan
kompensasi dimaksudkan meraih kembali potensi yang hilang untuk tumbuh
kembang anak, seperti penyediaan air bersih, sanitasi, dan lingkungan sehat
agar sejajar dengan anak Indonesia yang tinggal di daerah lain dengan kondisi
lebih baik.
Dalam konteks ini,
upaya yang dilakukan Pemda DKI memindahkan penduduk dari perkampungan kumuh
ke tempat tinggal yang lebih baik kiranya patut diapresiasi. Meski direspons
negatif sebagian penduduk yang dipindahkan karena menyulitkan dalam bekerja
dan berusaha, pemindahan itu sangat positif bagi tumbuh kembang anak. Sepatutnya,
langkah itu menjadi inspirasi bagi pemerintah kota lainnya di Tanah Air.
Berbagai upaya memang
diperlukan agar pembangunan memberikan rasa keadilan bagi semua, terutama
bagi kehidupan anak-anak di perkampungan kumuh perkotaan. Meski untuk
mewujudkan pemerataan pembangunan itu masih memerlukan waktu panjang dan
upaya besar, pemerataan kesejahteraan anak untuk tumbuh kembang perlu segera
dipercepat karena jika terlambat diatasi akan berpotensi buruk bagi masa
depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar