Partisipasi Politik Generasi Y
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Institute for
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 04 April
2016
Perubahan adalah
keniscayaan. Hampir seluruh dimensi, baik sosial, bisnis, termasuk politik
dan demokrasi kita mengalami perubahan dinamis yang harus direspons dengan
pikiran terbuka. Arus deras perubahan tersebut kini bisa kita rasakan
kehadirannya dalam praktik berdemokrasi di Indonesia.
Partisipasi politik
nonkonvensional bergeliat multikanal, salah satunya melalui media daring.
Protes, dukungan, kritik, dan inisiatif gerakan perubahan secara berjejaring kerap
membentuk konvergensi simbolik di dunia maya dan menjadi kesadaran bersama
dalam menyikapi beragam isu di dunia nyata.
Demokrasi siber
Proses politik jelang
Pilkada DKI 2017 menunjukkan secara gamblang: partai politik tak lagi bisa
secara gampang menentukan agenda mereka dalam menentukan kandidat pilihan
elite. Model pilihan elitis yang feodal, oligarkis, dan transaksional
mendapatkan resistensi nyata dari warga. Muncul tren inisiatif perlawanan
sekaligus kritik substantif terhadap peran dan fungsi partai politik,
terutama dari kalangan generasi Y.
Sebagian di antara
mereka bersemangat mendukung dan mengusung kandidat yang mereka percayai
melalui jalur perseorangan. Contoh aktual adalah inisiatif "Teman
Ahok" yang banyak digerakkan anak-anak muda dari kalangan generasi Y.
Partisipasi politik generasi Y kini
kian menguat dan jadi viral di media sosial, bahkan terhubung dengan
aktivitas di dunia nyata.
Di dunia maya
mereka rajin membangun perbincangan,
perang wacana, tweet war, merancang
publisitas dan kampanye politik untuk mendukung kandidat yang mereka
idealkan. Tak cukup resonansi di media sosial dan media konvensional, mereka
pun mengumpulkan dukungan warga melalui KTP agar sang kandidat melaju dari jalur
perseorangan.
Istilah generasi Y
dapat kita lacak dari tulisan Don Tapscott, Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing Your World
(2009). Tapscott memopulerkan
pengelompokan generasi berdasarkan kumpulan umur tertentu dengan
karakteristiknya. Generasi Pre Baby
Boom lahir pada tahun 1945 dan tahun-tahun sebelumnya. Generasi The Baby Boom lahir antara 1946-1964.
Generasi The Baby Bust yang lahir antara 1965-1976, lebih dikenal
dengan sebutan generasi X. Sementara generasi Y atau The Echo of The Baby Boom, lahir antara 1977-1997, dan generasi Z
yang lahir tahun 1998 hingga sekarang.
Karakter kuat generasi
Y sangat lekat dengan model pilihan bebas, jejaring, kecepatan, integritas,
menikmati percakapan yang menyenangkan, dan menjadikan inovasi sebagai bagian
kehidupan mereka. Dalam memilih pemimpin, generasi Y kecenderungannya tak
suka yang bergaya aristokrat dan elitis. Pola komunikasinya tidak menyukai
model linear, melainkan timbal- balik, sehingga interaksi yang tak berbatas
menjadi ciri dominannya. Generasi ini sering disebut juga sebagai net
generation karena sangat intens berinteraksi melalui kanal media daring,
online, seperti media sosial.
Interaksi dan ekspresi
partisipasi generasi Y ini mengonfirmasi fenomena demokrasi siber (cyberdemocracy) yang digambarkan
secara baik oleh Andrzej Kaczmarczyk, dalam buku Cyberdemocracy Change of Democratic Paradigm in the 21st Century
(2010). Fenomena ini ditandai empat faktor penting.
Pertama, tren global
dalam mempraktikkan model demokrasi partisipatoris. Dalam konteks ini,
politik kerelawanan menguat dan menjadi contoh partisipasi warga, terutama
lewat media sosial, di mana mereka tak lagi sekadar mengonsumsi berita
melainkan juga memproduksi dan menyebarkan gagasan maupun dukungannya. Hal
ini bisa terlihat dari partisipasi generasi Y dalam pemenangan Jokowi-Basuki
di Pilkada DKI 2012, Jokowi-JK di Pilpres 2014, juga dapat kita amati peran signifikannya
dalam kemenangan Barack Obama di tahun 2008 dan 2012 saat pemilu di Amerika.
Kedua, komunikasi
politik interaktif. Para politisi yang memahami pentingnya interaktivitaslah
yang bisa bertahan. Pelan tetapi pasti, gaya kaku, berjarak, high profile,
status quo akan disisihkan oleh sosok politisi yang terbuka, populis,
berintegritas serta berorientasi perubahan.
Ketiga, konflik sering
kali dimediasi penggunaan informasi berbasis teknologi komunikasi. Alhasil,
beragam persoalan akan ditangani dengan cepat.
Keempat, transformasi
politik yang terhubung ke internet dan memberi akses pada informasi yang
sifatnya personal.
Singkatnya, generasi Y
yang akrab dengan media sosial ini model partisipasi dalam pengambilan
keputusannya cepat dan berorientasi hasil. Meski demikian, kita tak menutup
mata, dalam beberapa hal langkah-langkah mereka juga kerap artifisial dan
baru "setengah matang".
Ruang publik baru
Partai politik dan
para politisi harusnya memahami bagaimana merespons komunikasi politik
generasi Y. Bukan sebaliknya, reaktif menyimpulkan anak-anak muda termasuk
generasi Y melakukan deparpolisasi. Padahal, konteksnya hanya inisiatif
pencalonan dari jalur perseorangan. Logika deparpolisasi yang mencuat
belakangan berpotensi sesat dan menyesatkan. Deparpolisasi merupakan upaya
sistemik untuk menafikan keberadaan partai politik atau melumpuhkan fungsi-
fungsi utamanya dalam sistem demokrasi yang dipraktikkan.
Meski demikian, inisiatif mendukung dan mengusung dari
jalur perseorangan bukanlah deparpolisasi. Bahkan, khusus untuk kasus
pencalonan Basuki Tjahaja Purnama, relawan "Teman Ahok" pun tak
alergi dengan dukungan partai, seperti Nasdem dan Hanura yang telah
menyatakan mendukung.
Tak dipungkiri, salah
satu kekuatan generasi Y tentunya internet. Basis kekuatan ini pun terlihat
selama proses Pilkada 2017. Muncul ruang publik virtual yang intens mengikuti
dan menyuarakan sikap mereka. Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh
Ward & Cahill dalam tulisan mereka, Old
and New Media: Blogs in the Third Age of Political Communication (2009),
menyadari suatu era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga. Setelah
era retorika, era media konvensional atau mainstream, kini para netizen juga
bisa menjadikan media sosial sebagai arena pertukaran ide, gagasan, pilihan,
dan dukungan secara demokratis.
Ruang publik virtual
semacam ini sangat cair, para netizen tak saling mengenal, sulit meredam
persoalan etis yang sering tumbuh seiring banyaknya pesan beredar. Hanya
saja, di satu titik jika menyangkut kepentingan publik berbasis komunikasi
deliberatif, kerap muncul tren dukungan yang memungkinkan penyatuan kesadaran
bersama. Komunitas virtual merepresentasikan "ruang publik baru"
yang bersifat interaktif, multimedia serta kian menunjukkan penguatan
demokrasi siber sehingga memberi
sumbangsih berarti bagi penguatan civil
society. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar