Neoliberalisme dan Keberingasan Sosial Kita
Satrio Wahono ;
Magister Filsafat UI
|
MEDIA INDONESIA,
30 Maret 2016
BELUM lama ini, masyarakat Ibu
Kota dikejutkan demonstrasi yang dilakukan para pengemudi taksi konvensional
dalam menentang keberadaan taksi berbasis aplikasi daring, seperti Uber dan
Grabcar. Pasalnya, aksi demonstrasi itu berujung pada kondisi anarkistis,
yakni pengeroyokan dan penganiayaan di mana-mana, sweeping beraroma kekerasan
terhadap sesama pengemudi taksi yang tak ikut berdemo, penurunan penumpang
taksi secara paksa, kemacetan di mana-mana, hingga perusakan properti publik
maupun pribadi.
Hilanglah persepsi bahwa bangsa
Indonesia itu bangsa yang santun lagi ramah. Lantas, banyak orang mulai
bertanya-tanya, sesungguhnya apa yang menyebabkan keberingasan sosial wajah
bangsa kita sebagaimana ditunjukkan aksi demo beberapa waktu lalu itu? Ini
pertanyaan penting, mengingat para pengemudi taksi dan angkutan umum lainnya
tak menutup kemungkinan akan mengulang aksi demo mereka.
Terkikisnya gotong royong
Menariknya, jika dianalisis
secara filosofis, wajah Indonesia yang kian lama kian beringas itu bisa
dirunut pada hulu praktik ekonomi berbasis filsafat neoliberalisme yang
sejatinya sedang kita terapkan saat ini.
Neoliberalisme sebagai satu
filsafat ekonomi sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan dari filsafat
libertarianisme. Merujuk pada Paul M Johnson (Kamus Ekonomi Politik Modern, terjemahan, Teraju, 2003),
libertarianisme adalah ideologi abad kontemporer yang meyakini bahwa
individu-individu harus diberi kebebasan sebesar mungkin dari pembatasan dan
regulasi pemerintah, baik dalam aspek ekonomi maupun nonekonomi.
Sementara itu, neoliberalisme
melanjutkan paham ini secara lebih jauh dengan memprivatkan sektor-sektor
publik strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti sektor
energi, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya (Neoliberalisme, editor I. Wibowo dan
Francis Wahono, penerbit Cindelaras, 2003). Artinya, sektor publik pun
sah menjadi ajang pemupukan laba bagi kaum pemilik modal atau hak milik
pribadi (private property).
Dengan kata lain,
neoliberalisme adalah perluasan dari jiwa individualistis sekaligus semangat
libertarian ke titik ekstremnya. Jadi, penerapan neoliberalisme mengharuskan
setiap orang mengurus masalahnya sendiri tanpa mengharapkan uluran bantuan
orang lain, pihak lain, apalagi negara sebagai perwakilan ranah atau domain
publik.
Merajalelanya roh
individualistis inilah yang kemudian secara logis menggerus spirit gotong
royong atau persaudaraan (fraternity)
yang sejatinya merupakan salah satu pilar demokrasi penting di luar kebebasan
(liberty) dan persamaan (equality). Tidak ada lagi kohesi
sosial yang kuat dalam perjalinan semangat kemanusiaan.
Alhasil, teringatlah kita pada
teori klasik Emile Durkheim (dalam
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Prenada, 2001) tentang bunuh diri.
Menurut teorinya ini, Durkheim menemukan bahwa kasus bunuh diri ternyata
paling banyak terjadi di satu komunitas atau lingkungan yang memiliki ikatan
solidaritas sosial yang lemah.
Tambahan lagi, terkikisnya
spirit kebersamaan atau persaudaraan alias gotong royong ini membuat individu
kian berhadap-hadapan dalam kompetisi ketat di pasar bebas yang kian beringas
hanya demi mencari sesuap nasi atau satu lahan kerja. Padahal, dalam pasar
bebas, kekayaan dan kekuasaan ekonomi hanya menumpuk pada segelintir elite,
sementara kaum papa cuma memperebutkan remah-remah ekonomi untuk sekadar
bertahan hidup dan menyambung napas. Keberadaan pasar bebas yang dimotori
sistem bunga mencekik industri perbankan dan stimulus konsumsi berlebihan, lantas
membuat mayoritas warga dunia terjerembap dalam jurang kemiskinan dan
himpitan hidup luar biasa (Peter
Schiff, How An Economy Grows and Why It Crashes, Wiley, 2013).
Karena itulah, kita jadi mafhum
mengapa masyarakat Indonesia semakin beringas saja dari waktu ke waktu, plus
mengapa angka bunuh diri di Indonesia, terutama di kota-kota besar, juga
ikut-ikutan melonjak. Tanpa adanya secercah harapan jalan keluar di tengah
kerasnya hidup, masyarakat tentu akan mencari saluran atau outlet yang bisa
seketika mereka terapkan guna melepaskan beban mereka, yaitu aksi
membinasakan diri di satu ekstrem atau aksi kekerasan di ekstrem lain.
Akhirulkalam, salah satu solusi
bagi bangsa ini untuk melunakkan lagi wajah kolektif kita ialah dengan
kembali menggelorakan semangat cinta kasih (compassion) dan gotong royong dalam kehidupan kita di semua
aspek.
Contoh konkretnya ialah seperti
memberdayakan kelurahan sebagai unit pemerintahan terkecil untuk
menyejahterakan warganya sekaligus sebagai bukti kehadiran pemerintah dalam
kehidupan rakyat, mengoptimalkan pajak lewat program ekstensifikasi
(perluasan jumlah wajib pajak), dan intensifikasi (pengoptimalan sumbangan
pajak dari wajib pajak yang sudah terdaftar) guna membiayai pelbagai program
asuransi sosial supaya minim atau gratis premi, seraya memberikan sejumlah
proteksi terhadap sektor-sektor strategis, yang proteksi tersebut tentu harus
dilakukan secara proporsional dan terukur. Dengan demikian, semoga di
kemudian hari Indonesia akan merasakan kehidupan kolektif yang lebih tenang
dan tenteram. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar