MK dan Misrepresentasi Mandat
Irwanto ;
Psikolog Unika Atma Jaya
Jakarta
|
KOMPAS, 21 April
2016
Artikel ini saya tulis seusai merampungkan tugas LBH APIK untuk
mengeksaminasi Keputusan MK Nomor 30-74/PUU-XII/2014 perihal permohonan
berbagai pihak untuk menguji UU No 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal
7 Ayat (1) dan (2) terkait batas usia perkawinan bagi perempuan dan
pengesahan dispensasi usia perkawinan.
Membaca dokumen yang cukup tebal, kesan saya adalah para pemohon
telah berupaya maksimal menyajikan argumen dan bukti-bukti empirik yang kuat,
terutama dalam kaitannya dengan pasal-pasal UU Dasar 1945 dan UU HAM yang
dilanggar, serta perspektif berbagai agama yang mendukung.
Argumentasi yang exhaustive
itu ternyata menghasilkan keputusan di luar dugaan, yaitu ditolaknya gugatan
pemohon secara keseluruhan. Alasannya, "Pokok permohonan para pemohon
tidak beralasan menurut hukum." Mengapa?
Saya ingin menjawab pertanyaan ini bukan sebagai ahli hukum,
melainkan sebagai psikolog sosial. Dalam psikologi sosial, manusia atau
organisasi atau lembaga memerlukan suatu sistem yang mempunyai nilai-nilai,
norma, bahkan ekspektasi yang lebih kurang sama. Dengan demikian, para
anggotanya dapat berkomunikasi, saling memahami, dan hidup bersama dalam
kedamaian karena kepentingan mereka yang berbeda-beda diakomodasi dan
direpresentasi dalam sistem tersebut.
Mahkamah
Konstitusi
Dalam UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), dijelaskan
bahwa MK adalah aparatur negara di wilayah kekuasaan kehakiman. Dalam bagian
Menimbang butir (b) dinyatakan:
MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai
peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum
sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;[1]
Jika diterjemahkan secara harfiah, tugas MK adalah memastikan
bahwa penyelenggaraan negara, termasuk semua kebijakan publiknya, sesuai atau
memenuhi berbagai kaidah yang cocok dengan bentuk negara kita sebagai negara
hukum dan UU Dasar-nya. Dengan kata lain, MK adalah lembaga tinggi negara
yang ditugaskan untuk merepresentasi penyelenggara Negara Kesatuan RI dengan segala kebinekaannya.
Panutan dalam representasi itu adalah kepentingan publik yang tidak
bertentangan dengan Konstitusi 1945 dan kaidah hukum dalam melindungi
kepentingan publik.
Gugatan para pemohon jelas berkaitan dengan UU No 1/1974 sebagai
bagian kebijakan publik negara untuk mengatur agar perkawinan tidak hanya
dimaknai sebagai peristiwa sakral keagamaan, tetapi juga terkait kebijakan
negara mengenai kependudukan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, perlindungan
hukum, dan kesejahteraan sosial.
Kebijakan pembangunan sektor kependudukan dan lainnya merupakan
kebijakan strategis dan dinamis. Karena itu, perlu disikapi lebih jauh dan
terbuka dari interpretasi dogmatik atas tatanan moral etika adat dan agama
yang mendasari peristiwa perkawinan itu sendiri.
Perlu dicatat bahwa saksi-saksi pemerintah yang dihadirkan oleh
MK adalah Majelis Ulama Indonesia dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan langsung dengan kebijakan publik
terkait perkawinan, seperti Kemendagri, Kemenkumham, Kemenkes, Kemdikbud,
BKKBN, dan Kemensos, tak dihadirkan.
Bukti-bukti
tidak dibaca
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perkawinan usia anak terkait
dengan kondisi biologis, sosial, dan mental emosional yang belum siap dari
calon ibu, bayi yang bergizi buruk, kematian janin, kematian ibu, dan
berbagai akibat lainnya, seperti kekerasan domestik, seharusnya menjadi
pertimbangan utama.
Dalam konteks itulah kebijakan publik diuji. Bermanfaatkah
ketentuan normatif dalam undang-undang tersebut bagi subyek yang diaturnya
(anak perempuan)? Jika tidak, bahkan mengandung risiko menimbulkan kerugian besar
bagi subyek yang diatur, selayaknya kebijakan itu digugat dan diubah.
Karena subyek yang diatur dalam UU Perkawinan adalah perempuan
berusia 16 tahun atau lebih muda, maka "memaksa" yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum (kawin) yang tidak dipahaminya dan menempatkan anak
perempuan menanggung berbagai konsekuensi negatif dari tindakan tersebut,
negara melakukan paling tidak 3 (tiga) kesalahan serius.
Pertama, negara melanggar prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam
Konvensi Hak-hak Anak (KHA), terutama prinsip kepentingan terbaik untuk anak,
nondiskriminasi dan self-determinism. Kedua, UU No 1/1974 menjadi
inkonstitusional-jelas bertentangan dengan semangat pasal-pasal HAM dalam UUD
1945. Ketiga, negara melakukan endangerment atau pembahayaan yang mengancam
kesejahteraan dan jiwanya yang bertentangan dengan hak-hak dalam kluster
pertumbuhan dan perkembangan anak KHA.
Penghormatan terhadap HAM dimaksudkan agar setiap rights holder
(di sini: anak) mempunyai kesempatan untuk menikmati hak-haknya hingga dapat
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin. Anak laki-laki dan perempuan tidak
berbeda.
Amartya Sen dalam bukunya, Development
as Freedom (1999), menyatakan bahwa pembangunan harus mampu memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk mencapai apa pun yang dapat
dicapainya. Setiap anak perempuan berhak dan mampu mengembangkan diri
seoptimal mungkin dan negara selayaknya bukan jadi sandungan.
Lalu, bagaimana mungkin argumen para pemohon dianggap
"tidak beralasan menurut hukum"? Hukum yang mana?
Jika dilihat saksi-saksi yang dihadirkan oleh pemerintah adalah
MUI dan PP Muhammadiyah, mudah dibaca siapa yang direpresentasikan oleh
hakim- hakim MK dalam sidang tersebut. Pendapat kedua saksi itulah tampaknya
yang memperoleh perhatian lebih dari segudang data dan pertimbangan pemohon
yang merepresentasi kepentingan publik secara beragam.
Parameter
berubah
Negara Republik Indonesia didirikan dengan penghormatan terhadap
agama-agama dan adat istiadat komunitas di Tanah Air, seperti dikemukakan oleh
saksi dari MUI. Meskipun demikian,
ukuran yang digunakan negara untuk menghargai dan melindungi warga negaranya
tidak sama dengan ukuran dalam tiap komunitas adat dan agama. Parameter yang
digunakan adalah "kepentingan nasional" yang berarti mengatasi keberagaman
dan kemajuan zaman, baik karena teknologi maupun pengetahuan.
Banyak contoh yang menunjukkan bahwa negara dapat mengambil
sikap berbeda dengan adat atau agama karena tujuan bernegara yang dijadikan
acuan tidak lagi sesuai dengan ukuran-ukuran dalam adat istiadat dan agama
tertentu saja. Dalam gugatan pemohon, telah diajukan contoh 12 negara
berdasar syariah Islam yang telah menentukan usia perkawinan untuk perempuan
18 tahun. Berarti ada parameter lain yang jadi acuan (Bukti Pemohon VII).
Pembangunan nasional, sebagaimana dituangkan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (2015-2019) bersifat progresif,
yaitu melihat ke depan. Pembangunan selalu memanfaatkan apa yang terbaik saat
ini untuk memastikan diperolehnya peluang terbaik pada masa yang akan datang. Pembangunan direncanakan
melalui berbagai kajian cost-benefit
yang teliti sehingga dipastikan akan terjadi proses nilai tambah dari
kebijakan yang dilaksanakan.
Kebijakan menentukan usia perkawinan seyogianya diramu dengan
formula yang tidak berbeda. Untuk apa mempunyai kebijakan publik bagi anak
perempuan yang akhirnya merugikan anak itu sendiri, keturunan yang akan
diasuhnya, serta kepentingan publik karena harus menanggung akibat-akibat
dari perkawinan usia anak.
Retrospektif
Dogma apa pun memang cenderung dimaknai secara retrospektif.
Perkawinan adalah satu-satunya jalan untuk meneruskan proses reproduksi
penciptaan, karena itu dilindungi dan disakralkan. Namun, standar penilaian
1.000 atau 500 tahun lalu tidak selalu dapat digunakan untuk memenuhi
tujuan-tujuan perkawinan zaman ini.
Kita, bersama bangsa-bangsa lain, ingin menyambut masa depan
yang bebas dari kematian bayi, ibu, dan kemiskinan absolut. Meningkatkan usia
perkawinan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan negara untuk
mencapai semua itu.
Kita tentu tetap memuliakan Sang Maha Pencipta melalui
perkawinan karena semua calon ayah ataupn ibu sudah matang jasmani,
intelektual, emosi, sosial, dan spiritual. Memuliakan Sang Pencipta karena
keturunan mereka dapat memulai hidup dalam kondisi dan situasi yang lebih
baik, dalam bangsa dan negara yang bangga akan warganya yang sehat, cerdas,
dan berbudi luhur.
Keputusan MK menunjukkan seolah MK kehilangan akal sehat. Maka,
MK perlu melakukan due diligence
atas putusan tersebut. Hipotesis yang
dapat dikembangkan adalah bahwa dalam memutus perkara ini, MK telah melakukan
misrepresentasi, yaitu bukan demi penyelenggaraan negara berdasarkan hukum.
Oleh karena itu, kalimat "tidak beralasan menurut hukum" menjadi
tidak relevan dan keputusan MK gugur demi hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar