Melemahkan (Penguatan) DPD
Joko Riswanto ;
Pegiat Hukum Tata Negara
|
MEDIA INDONESIA,
12 April 2016
APA yang tebersit di
benak kita ketika mendengar kata Dewan Perwakilan Daerah (DPD)? Harus diakui
tidak sedikit tanya masyarakat seputar peran DPD selama ini. Bahkan, mungkin
masih ada yang tidak tahu keberadaan DPD, atau paling kurang tidak memahami
kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Masyarakat lebih
mengenal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif, daripada
DPD. Ingar-bingar pemberitaan DPD juga tidak semasif pemberitaan DPR.
Ketaktahuan masyarakat
tersebut tidak sepenuhnya salah. Faktanya sama-sama dalam rumpun cabang
kekuasaan legislatif kedudukan DPD memang lemah vis-a-vis DPR. Analisis
normatif atas UUD Negara RI Tahun 1945 menunjukkan kewenangan DPD
sangat-sangat terbatas ketimbang DPR.
Jika dirunut
sejarahnya, DPD sejatinya ialah anak kandung reformasi yang lahir berdasarkan
amendemen UUD 1945 pada 1999-2002. Salah satu gagasan fundamental berkaitan
dengan proses amendemen di atas ialah gagasan pembentukan DPD yang melengkapi
keberadaan DPR selama ini. Ide pembentukan DPD dalam kerangka sistem parlemen
Indonesia memang tidak terlepas dari aspirasi pembentukan struktur dua kamar
parlemen atau bikameral.
Dengan struktur
bikameral itu diharapkan, proses legislasi dapat diselenggarakan dengan
sistem double check yang
memungkinkan representasi seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan
dengan basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan representasi politik,
sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional. Namun,
benarkah lahirnya DPD benar-benar mewujudkan double check yang lebih proporsional?
Saldi Isra (2012)
berpendapat bahwa pasal-pasal di dalam UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya
berkenaan dengan kedudukan DPD, justru berpotensi merusak mekanisme checks and balances. Dalam UUD hasil
amendemen, DPD lebih merupakan subordinasi dari DPR. Kewenangan DPD dibatasi
'hanya': (i) dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah. Lalu, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah; (ii) ikut membahas RUU dalam bidang tertentu itu; dan (iii)
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama. Berikutnya (iv) dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan UU dalam bidang tersebut serta menyampaikan hasil
pengawasan mereka kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti
(Pasal 22D). Dus, secara konstitusional pelaksanaan kewenangan DPD sangat
bergantung pada DPR RI.
Hal tersebut memberi
penegasan bahwa yang terjadi bukanlah menggeser paradigma dari executive heavy menjadi legislative heavy, melainkan menjadi DPR heavy karena kehadiran DPD sebagai
salah satu kamar di legislatif hanya sebagai pelengkap penderita dalam sistem
perwakilan.
Upaya penguatan DPD
Rupanya DPD sedari
awal menyadari bahwa muara permasalahan DPD ada pada pembatasan
konstitusional mereka sebagai lembaga perwakilan daerah. Karena itu, kita
menemukan fakta bahwa sejarah DPD sejak awal terbentuk pada 2004 ialah
sejarah perjuangan memperkuat kewenangan konstitusional. Pun, pelaksanaan
tugas-tugas DPD lebih banyak bersifat optimalisasi daripada (leterlek)
mengikuti aturan konstitusi. Tengok saja renstra DPD sejak periode lalu
(2009-2014) dilanjutkan periode sekarang (2014-2019), selalu mencantum upaya
memperkuat konstitusionalitas kedudukan DPD melalui langkah-langkah dan
strategi tertentu.
Antara lain melakukan
pengkajian dan perumusan naskah amendemen, kerja sama dengan fraksi-fraksi di
MPR beserta partai politik pendukung mereka dan dengan kekuatan-kekuatan
nonpartai politik sehingga dapat memberikan dukungan nyata dalam mendorong
MPR melakukan amendemen UUD 1945 khususnya terkait dengan penguatan
kewenangan DPD.
Bahkan, di luar pelaksanaan
tugas yang bisa dilakukan, kerja-kerja DPD lebih banyak berkutat soal upaya judicial review sejumlah undang-undang
yang dinilai membatasi kewenangan DPD khususnya UU tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3) dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
P3). Hasilnya cukup menggembirakan, melalui Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012
dinyatakan antara lain kedudukan DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi
(tertentu, sesuai dengan kewenangan DPD) sama dengan kedudukan DPR dan
pemerintah.
DPD dapat menyusun
prolegnas di lingkungan DPD; dapat mengajukan RUU tertentu sebagai usul
inisiatif DPD dan kedudukannya diperlakukan sama dengan RUU dari DPR dan
pemerintah; ikut membahas RUU (tertentu) sampai dengan pembahasan tingkat
II/pengambilan keputusan dengan mekanisme pembahasan dilakukan secara
tripartit (DPD, DPR, dan pemerintah) dengan kedudukan yang sejajar. Hal itu
diperkuat kembali dengan putusan MK melalui Putusan No 79/PUU-XII/2014 atas
judicial review UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Angin segar penguatan
DPD makin terasa saat MPR 2009-2014 melalui Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014
merekomendasikan amendemen UUD NRI Tahun 1945 dan salah satu materinya ialah
penguatan DPD sebagai kamar kedua lembaga legislatif.
Melemahkan DPD
Di tengah perjuangan
DPD memperkuat kewenangan konstitusional mereka, kita justru disuguhkan
berita yang set-back dengan
semangat tersebut. Sayangnya berita itu justru menyeruak dari internal DPD
sendiri, yakni polemik pemotongan masa jabatan pimpinan DPD saat ini menjadi
dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun (yang berawal dari kisruh keputusan rapat
paripurna 15 Januari 2016). Meski putusan ini dikover dengan dalih memacu
perbaikan kinerja, tak pelak ia menimbulkan pro-kontra yang berujung kisruh
di DPD hingga saat ini. Pasalnya pimpinan DPD tidak mau membubuhkan tanda
tangan atas keputusan yang dinilai sarat politisasi dan bertentangan dengan
UU tersebut.
Alhasil saling serang,
saling cela, dan saling bongkar keburukan menjadi tontonan dan bacaan yang
hanya menambah antipati publik terhadap DPD. Padahal tahun ini dan tahun
berikutnya menjadi fase kritis DPD untuk meyakinkan publik dan DPR (sebagai
mayoritas pemegang suara MPR) untuk melakukan amendemen kelima UUD NRI Tahun
1945. Jika momentum ini lewat, DPD akan kembali menelan pil pahit kewenangan
mereka yang sangat terbatas seperti dirasakan saat ini.
Kekisruhan pemotongan
masa jabatan pimpinan tidak bisa tidak dipersepsikan publik sebagai 'rebutan
kursi/jabatan' semata, sangat sulit mengarahkan opini bahwa langkah itu untuk
meningkatkan kinerja, apalagi pro-kontra di antara anggota DPD
mengonfirmasikan demagogi tersebut. Kejadian itu otomatis membuyarkan dan
meruntuhkan upaya DPD dalam 'meminta' penguatan kedudukan mereka secara
konstitusional. 'Syahwat' anggota DPD yang berebut jabatan justru menguatkan
sinyalemen pembubaran DPD seperti yang direkomendasikan salah satu partai
politik belum lama ini.
Dus, satu-satunya cara
untuk mengembalikan DPD ke arus utama penguatan kedudukan konstitusional
mereka ialah menghentikan kisruh dan polemik pemotongan jabatan pimpinan. Kisruh
yang berkepanjangan terkait dengan hal itu pasti menyebabkan tercerainya
kohesi dan soliditas internal DPD dalam memperjuangkan amendemen kelima. Pun,
rakyat (dan juga DPR) akan semakin antipati dan kehilangan kepercayaan
terhadap DPD.
Seluruh anggota DPD
harus memahami itu sebagai langkah crisis
management dan jika DPD tidak mengakhirinya dengan baik, hanya satu kata
yang terucap, wasalam untuk DPD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar