Masyarakat yang Islami
Zuly Qodir ;
Sosiolog UMY; Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta
|
KOMPAS, 12 April
2016
Interpretasi, internalisasi, dan eksternalisasi merupakan kata
kunci bagi suatu masyarakat mengonstruksikan tentang dirinya, termasuk dalam
beragama
(Peter L Berger, 1997).
Apakah masyarakat
Muslim Indonesia telah menerjemahkan prinsip-prinsip keimanan dalam kehidupan
sehari-hari? Merujuk hasil penelitian S Rehman dan Askari mengenai seberapa
Islami suatu negara (2014), Indonesia menempati peringkat ke-140 dari 208
negara. Dari 56 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam, yang memperoleh
nilai tertinggi adalah Malaysia (38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66),
Maroko (119), Arab Saudi (131), Pakistam (147), dan terburuk adalah Somalia
(206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di
urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Survei yang dilakukan Maarif Institute for Culture and Humanity
(2015-2016) tentang Indeks Kota Islami, memberikan penjelasan yang menarik
tentang posisi masyarakat Indonesia sekaligus negara Indonesia dengan
penduduk mayoritas Muslim. Penduduk Muslim Indonesia mencapai 82,2
persen (221.147.609 juta jiwa) dari
total penduduk Indonesia (Juli 2014 sebanyak 253.609.643).
Merujuk pada
pernyataan Peter L Berger di atas, satu negara di mana sebagian besar
penduduknya beragama Islam telah menerjemahkan, menginternalisasi, kemudian
mengeksternalisasi nilai-nilai atau etika Islam dalam kehidupan politik,
ekonomi, dan kebudayaan. Inilah yang kita sebut sebagai konstruksi masyarakat
Islami, bukan yang lain.
Bagaimana dengan
Indonesia? Jika memperhatikan banyaknya kasus korupsi, penipuan, kesengsaraan
absolut, ketidakadilan, diskriminasi, pelecehan hukum serta perilaku
kekerasan bermotifkan SARA (suku, agama, ras, antargolongan) sebenarnya
merupakan kritik sangat keras terhadap model keberislaman masyarakat
Indonesia.
Masyarakat Indonesia
bisa dikatakan baru pada tahap menganut Islam, belum menerjemahkan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga Islam menjadi obyektif. Masyarakat Indonesia yang beragama Islam
baru pada level Islam subyektif, bahkan formalistik karena belum berdampak
pada perilaku dalam bermasyarakat secara luas.
Sebagai salah satu
syarat tumbuh dan berkembangnya masyarakat Islami adalah jika masyarakat
dikelola dengan cara-cara beradab, bukan dengan cara barbarian. Karena itu,
kota yang beradab disebut dengan istilah masyarakat madani (masyarakat
beradab). Sementara masyarakat barbarian menunjuk pada kondisi masyarakat
yang morat-marit, centang perenang, dan serba amburadul.
Kota Islami
Masyarakat madani,
dengan demikian, merupakan masyarakat yang dalam kehidupan menerapkan etika
publik, bukan sekadar etika personal. Sebagai umat Islam, etika Islam
diterapkan sehingga tidak mengancam keberadaan pihak lain yang beragama
berbeda. Perilaku bermasyarakatnya menenteramkan, menyejukkan, serta
mengayomi yang minoritas; bukan menindas kaum minoritas. Inilah sebenarnya
masyarakat madani yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad ketika di Madinah.
Selain itu, masyarakat
Islam merujuk pada kota Islami, yakni kota yang aman, damai, sejahtera, dan
bahagia. Karena itu, kesengsaraan tidak boleh terjadi di sebuah negeri yang
kaya, seperti Indonesia. Rakyat tidak boleh menderita. Keadilan dan
kesejahteraan harus menjadi milik bersama, khususnya rakyat.
Pada zaman Nabi,
kondisi semacam masyarakat Madinah tentu berbeda dengan kondisi di Mekkah. Di
Madinah masyarakat Islam tertata dengan baik. Tidak menampakkan perilaku
bermasyarakat barbarian karena Nabi memang menata mentalitas umat Islam
menjadi masyarakat beradab sesuai dengan namanya: Madinah (beradab).
Sangat berbeda dengan
negara Islam yang belakangan diagendakan sebagian kecil penduduk Muslim
Indonesia. Negara Islam adalah bentuk konkret dari formalisme dasar negara
atau asas kenegaraan adalah Islam, bukan yang lain. Inilah yang kita sebut
dengan negara Islam, sekalipun masyarakatnya dan pemerintahan dikelola dengan
compang-camping penuh kebobrokan.
Dari survei yang
dilakukan Maarif Institute (2015-awal 2016) tentang kota Islami, kita dapat
belajar secara sungguh-sungguh bahwa sebuah kota yang tidak tertata dengan
baik, tidak dikelola pemerintahannya dengan transparan, partisipasi publiknya
rendah, akuntabilitas pemerintahan rendah serta kejujuran penyelenggara
pemerintahannya rendah, sebenarnya kota/daerah tersebut masih dalam kategori
wilayah dengan masyarakat barbarian (seperti Mekkah ketika masa Nabi dahulu).
Sementara jika daerah/kota
dikelola dengan baik, tata pemerintahannya transparan, partisipasi publiknya
baik, akuntabilitas pejabat, birokrasinya bagus, kejujuran pengelola daerah
serta masyarakat berjalan dengan baik, daerah tersebut masuk sebagai daerah
dengan sebutan masyarakat madani (masyarakat beradab). Jika masyarakat
tersebut merupakan masyarakat dengan penduduk terbanyak Muslim, dapat
dikatakan sebagai daerah Islami alias masyarakat madaniah.
Mungkinkah Indonesia
menciptakan kota madani alias kota Islami yang mendasarkan sistem
pemerintahan dengan beretika Islam, bukan formalisme Islam sebagai dasar
negara? Mungkinkah umat Islam rela dan bersedia mengusung kota Islami sebagai
bagian terpenting membangun masyarakat yang beradab, unggul serta berdaya
saing tinggi di hadapan negara-negara maju, seperti Singapura, Australia,
Selandia Baru, Norwegia, dan Kanada?
Semuanya terletak pada
pemimpin-pemimpin pemerintahan di tingkat lokal (kabupaten/ kota serta
provinsi). Selain itu, para pemimpin agama mendorong umatnya untuk mempersiapkan
diri menerapkan etika Islam dalam bermasyarakat ketimbang bersemangat
mendukung formalisasi negara Islam.
Pendek kata, kota
Islami merupakan eksternalisasi dari etika Al Quran dan sunah otentik, yang
dimanifestasikan dalam perilaku masyarakat ketika bernegara. Etika publik
dijunjung di atas etika individu yang cenderung sektarian dan menabrak etika
publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar