Kurikulum Pendidikan Islam Rahmatan Lil Alamin
Fathorrahman Ghufron ;
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah
dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PW NU Jogjakarta
|
JAWA POS, 29 Maret
2016
BARU-BARU ini Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam
Kementerian Agama Prof Dr Kamarudin Amin meluncurkan kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil alamin. Kurikulum
itu akan diberlakukan di sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian
Agama. Alasan yang mendasar, agar pembelajaran di lembaga pendidikan tersebut
tidak mengarah kepada muatan materi yang berpotensi kepada radikalisme.
Kebijakan itu sangat logis, mengingat paham radikalisme mulai
merambah ke berbagai sektor pendidikan. Baik di level menengah, atas, maupun
perguruan tinggi. Hasil penelitian Anas Zaidi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) tentang Mahasiswa
Islam dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia menguraikan sebuah temuan
menarik terkait dengan fenomena paham radikalisme yang telah menguasai
berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.
Di berbagai sekolah sudah bermunculan kecenderungan paham
radikalisme yang memengaruhi cara berpikir siswa. Hal itu bisa dicermati pada
indikasi yang ditemukan dalam penelitian tersebut bahwa 50 persen lebih siswa
sudah berani menyatakan penerimaan terhadap khilafah untuk menggantikan
Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan, mereka menginginkan penerapan syariah
sebagai basis aturan hukum yang harus berlaku di Indonesia.
Munculnya kecenderungan pandangan yang cukup ironis di kalangan
siswa tersebut, minimal bila ditilik dalam perspektif kebangsaan dan nation
state, tidak terlepas dari konstruksi nalar pemahaman keagamaan mereka. Ada
infiltrasi bacaan maupun transformasi pengetahuan yang puritanistis dan
fundamentalistis. Hal itu sebagaimana yang marak terjadi beberapa waktu di
berbagai sekolah, misalnya di Jombang, Surabaya, dan Lamongan.
Mencermati kondisi kerentanan pengetahuan yang kian disusupi
oleh aliran radikalisme yang merebak di berbagai sekolah, tentu menjadi
tanggung jawab pemerintah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Yakni,
terhadap struktur kurikulum yang ada di semua sekolah. Dalam kaitan itu, apa
yang dilakukan Dirjen Pendis Kemenag menjadi terobosan penting untuk segera
diimplementasikan.
Pemahaman Keagamaan
Langkah Dirjen Pendis Kemenag itu akan berkonstribusi penting
bagi penanaman pemahaman keagamaan yang inklusif, dialogis, dan progresif di
kalangan siswa. Melalui pemahaman keagamaan yang demikian, siswa tidak
sekadar diperkenalkan dengan ajaran keagamaan yang bersifat praktis. Tetapi,
dimungkinkan pula siswa diajak pada kajian keagamaan yang bersifat analitis.
Hal itu seperti yang berlangsung di berbagai pesantren bahwa
setiap santri diperkenalkan dengan bacaan dan pengetahuan keagamaan yang
komprehensif. Juga diperkenalkan dengan keragamaan pemikiran yang
memungkinkan setiap siswa bisa berpikir secara komparatif.
Dalam ranah komparatif, santri di pesantren diajak berselancar
dengan berbagai perbedaan pemikiran yang membentang di arena keilmuan dan
pengetahuan yang bersumber dari berbagai buku bacaan. Dengan demikian,
semakin banyak berkenalan dengan beberapa model pemikiran, santri akan
memiliki sistem imunitas pengetahuan yang baik. selain itu, mereka tidak
mudah diprovokasi oleh sekelompok orang yang modusnya hanya memperkenalkan
satu sumber bacaan, lalu dikultuskan sebagai kebenaran tunggal.
Pengalaman di pesantren dalam menanamkan pemahaman keagamaan
yang baik itu perlu pula diterapkan di lingkungan sekolah. Meskipun, secara
keseluruhan, apa yang berlangsung di pesantren tidak harus diadopsi. Namun,
setidaknya tradisi transformasi pengetahuan keagamaan yang berlangsung secara
dinamis, analitis, dan komparatif bisa digunakan sebagai role model di
sekolah.
Terutama yang berkaitan dengan metode dan pendekatan penelaahan
dan kajian keagamaan yang bersumber dari berbagai kitab atau buku bacaan.
Secara sistemik, siswa bisa diperkenalkan dengan keragaman pemikiran agar
tidak mudah shock ketika berhadapan dengan perbedaan.
Sebab, salah satu persoalan krusial yang menimpa bangsa kita
adalah ketidaksiapan dalam menghadapi perbedaan. Seolah-olah perbedaan menjadi
ancaman yang harus diberangus dan diupayakan adanya keseragaman.
Instrumen Transformatif
Dalam kaitan ini, sejatinya perbedaan menjadi instrumen
tranformatif menuju nilai-nilai kerahmatan. Apalagi, dalam sebuah riwayat
dinyatakan bahwa ikhtilafu ummati rahmatun. Perbedaan di sini tidak hanya
menegaskan sebuah negasi yang berarti mengedepankan pertentangan sambil
mengesampingkan titik temu. Tetapi, perbedaan di sini meniscayakan sebuah
relasi, tempat berinteraksinya semua jenis pemikiran dan pandangan yang
melebur dalam sistem pengetahuan.
Buku bacaan yang menjadi pandu pengetahuan bagi siswa di sekolah
harus dikelola dengan baik berdasar kurikulum yang mengemban misi kerahmatan.
Setidaknya, melalui kurikulum tersebut, siswa bisa dibekali dengan modalitas
sosial keagamaan yang humanis untuk meneguhkan spirit toleransi (tasamuh) dan moderasi (tawasuth) dalam menjalani tradisi
akademik atau pola pembelajaran yang dinamis di sekolah. Bahkan, di luar
sekolah siswa dapat mengekspresikan laku kearifan ketika berhadapan dengan
bentangan perbedaan pandangan dan pemikiran yang melingkupi kehidupan
masyarakat.
Selain itu, kurikulum yang berbasis kepada nilai-nilai
kerahmatan dapat memfilter segala bentuk aliran maupun gerakan indoktrinasi
keagamaan yang berpotensi kepada kerentanan kebangsaan. Baik yang berbaju
radikalisme maupun puritanisme.
Karena itu, kurikulum rahmatan
lil alamin perlu direspons positif oleh semua sekolah untuk mendesain
pola pembelajarannya. Hal itu penting dilakukan agar paham radikalisme bisa
diatasi sedini mungkin dan tidak mengancam sendi-sendi keindonesiaan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar