Komunikasi Bermagnet dari Parpol
untuk Pemimpin
Nasional
Ashadi Siregar ;
Pengamat Media; Pengajar
Jurnalisme; Bermukim di Sleman
|
KOMPAS, 06 April
2016
Pemilu 1999 menandai
kembalinya proses politik demokratis setelah pemilu pertama tahun 1955 guna
pembentukan lembaga legislatif. Euforia demokrasi luar biasa, sampai-sampai
warga secara gotong royong membiayai kegiatan parpol di akar rumput.
Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sempalan Partai Demokrasi Indonesia meraih suara
35.689.073 (33,74 persen), mendapat 153 kursi DPR. Golkar di pemilu terakhir
Orba memperoleh suara 84 juta lebih yang tanpa dukungan rekayasa rezim negara
pada pemilu demokratis, melorot hanya dipilih 23.741.749 orang.
Untuk pemilu itu,
hanya Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan yang masih memiliki
infrastruktur organisasi sisa Orba sampai ke tingkat massa. Bagi PDI-P
sebagai partai baru, meski di sejumlah daerah dapat memanfaatkan
eks-prasarana PDI, dengan persiapan yang sangat singkat sukses pada Pemilu
1999 merupakan keajaiban.
Sejak itu, tak lagi
pernah ada parpol yang mendapatkan suara setinggi yang dicapai PDI-P.
Komunikasi politik macam apakah yang dilancarkan sehingga dapat menggugah
pemilih yang telah dibentuk puluhan tahun dengan pemilu ala Orba?
Magnet dalam komunikasi
Tak bisa diingkari
keunggulan PDI-P pada Pemilu Legislatif 1999 adalah berkat ketuanya, Megawati
Soekarnoputri. Nyaris tanpa komunikasi politik, keberadaan Megawati telah
jadi kutub positif magnet yang memancarkan daya untuk menyedot kutub negatif
massa yang tersekap puluhan tahun. Tanpa zig-zag menghadapi kekuasaan Orba,
daya sebagai kutub positif ini terpupuk meninggi, sampai pada tingkat kondisi
diam sudah menjadi sekukuh gunung. Ini bedanya dengan sejumlah tokoh yang amat
berjasa sebagai pejuang reformasi yang kebanyakan dikesankan molak-malik di
masa Orba sehingga meragukan sebagai tumpuan harapan massa.
Daya magnet figur
politik berada pada tataran psikologis massa. Karenanya, hubungan massa dan
partai tidak dalam kerangka komunikasi politik rasional. Boleh dibilang tak
perlu mengenalkan visi-misi partai. Pemilu 1999 diisi 48 partai politik,
sebagian besar baru dibentuk. Beberapa partai menggunakan nama partai yang
pernah hidup di masa Pemilu 1955, mungkin memiliki nilai nostalgia bagi para
lansia. Sementara itu, massa pada dasarnya tak mengenali partai-partai itu,
begitu juga tak perlu memilih personal calon legislator secara spesifik.
Personifikasi PDI-P
pada figur personal ketuanya berimplikasi mengalirnya suara kepada partai
tanpa mempersoalkan siapa dan bagaimana masa lalu caleg. Meski hubungan
bersifat psikologis, tersirat rasionalitas di baliknya: motivasi mendapatkan
pemimpin nasional. Itulah Megawati sebagai presiden RI! Maka, seluruh
bangunan hubungan massa dan partai dikerangkai harapan, suatu daya autentik
yang tak pernah dipunyai sepanjang proses politik Orba yang rekayasa dari
atas. Harapan agar Megawati menjadi presiden RI berimbas kepada PDI-P yang
mendapat berkah urutan pertama dalam pemilu.
Sejarah mencatat bahwa
dari Pemilu 1999 PDI-P terlalu percaya diri, abai akan koalisi, berimplikasi
ketuanya gagal menduduki RI-1 sebab ditelikung kelompok reformasi di tahap
awal. Sekarang bukan itu yang perlu dikenang, melainkan mengenai harapan
sebagai kekuatan dalam dinamika politik. Tergerusnya suara PDI-P pada Pemilu
2004 menunjukkan bahwa komunikasi harapan sudah sirna. Munculnya partai baru
kiranya mengambil tempat sebagai tumpuan harapan. Marilah kita lihat hasil
pemilu legislatif 1999, 2004, 2009, 2014:
PDI-P 35.689.073
(33,74 persen); 20.710.006 (18,31 persen); 14.576.386 (14,01 persen);
23.681.471 (18,95 persen)
Demokrat tak ada;
8.437.868 (7,46 persen); 21.655.295 (20,81 persen); 12.728.913 (10,9 persen)
Gerindra tak ada; tak
ada; 4.642.795 (4,46 persen); 14.760.371 (11,81 persen)
Diambil hanya tiga
partai ini sebab dari sini datangnya kandidat RI-1. Pemilu 2004 bagi PDI-P:
ke mana larinya (hampir 15 juta) suara yang pernah dimiliki 1999? Begitu pula
pada pemilu berikutnya: tambah turun. Baru pada Pemilu 2014 kembali naik,
melampaui posisi 2004. Demokrat yang mendapat 7,46 persen pada 2004 naik
dengan mendapat lebih 20 persen pada 2009 dan terbanting kehilangan separuh
pemilih pada 2014. Mungkin bagi Demokrat tak jadi soal, toh tak akan
mengajukan kandidat presiden di tahun itu. Sementara Gerindra yang baru
berkiprah pada Pemilu 2009 mendapat 4,46 persen suara, melejit mendapatkan
tambahan lebih 10 juta pemilih pada 2014.
PDI-P sebagai korban
Orba hanya menikmati kemenangan sesaat. Pada periode keunggulannya, tak
terasa signifikansinya di ruang publik. Bahkan, sebagai partai yang dapat
berkah dari reformasi, terkesan konservatif membangun demokrasi. Lalu ketika
ketua umumnya masih maju sebagai kandidat RI-1, pada dasarnya sebagai anomali
politik jika dikaitkan dengan turunnya suara Pileg 2004, dan lebih drastis
pada 2009. Marilah kita lihat hasil pilpres kandidat 2004, 2009, dan 2014:
Tahun2004 perolehan
suara Megawati-Hasyim M adalah 44.990.704 (39,38 persen) sementara SBY-JK
69.266.350 (60,62 persen).
Tahun 2009, perolehan
suara Megawati-Prabowo S adalah 32.548.105 (26,79 persen), sedangkan
SBY-Boediono 73.874.562 (60,80 persen), dan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41
persen).
Tahun 2014, perolehan
suara Prabowo-Hatta 62.262.844 (46,85 persen) dan Jokowi-JK 70.633.576 (53,15
persen).
Dengan menggandeng
tokoh NU Hasyim Muzadi pada Pilpres 2004 dapat diraih suara 44.990.704,
setidaknya melampaui suara gabungan PDI-P dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Kalahnya pada Pilpres 2004 dan merosotnya suara untuk PDI-P pada Pemilu 2009
seharusnya dibaca sebagai pertanda, tetapi PDI-P masih mengajukan ketua
umumnya bertarung untuk Pilpres 2009, dan berpasangan dengan Prabowo hanya
mendapat 32,5 juta.
Dibandingkan Pilpres
2004, suara yang diperoleh turun, tetapi masih di atas suara gabungan PDI-P
dengan Gerindra. Dari mana suara lebih ini didapat? Boleh saja
dihipotesiskan, Prabowo adalah figur yang memiliki magnet yang sedang
bertumbuh. Dugaan ini dapat diperkuat dengan suara Gerindra dalam Pileg 2014,
kenaikan lebih 10 juta pemilih dari Pileg 2009.
Politik harapan
Hasil dari dua pemilu
pileg dan pilpres ini bagi PDI-P tentunya menjadi pertanda bahwa magnet juga
dapat pudar dan harapan sebagai daya dalam politik tidak dapat dibangun
melalui figur masa lalu. Lalu, kenaikan suara Pemilu 2014 bagi PDI-P dari
mana sumbernya? Di sini boleh juga dihipotesiskan adanya harapan massa pada
figur Jokowi dengan gambaran PDI-P akan mengajukannya sebagai kandidat RI-1.
Artinya, mendambakan Jokowi yang hanya "pekerja partai" itu berimplikasi
berkah pada PDI-P.
Karenanya, Pilpres
2014 dapat dilihat sebagai pertarungan dua figur yang keduanya memiliki
magnet yang kuat, melahirkan harapan massa yang besar pada Prabowo dan
Jokowi. Prabowo disertai mesin partainya yang solid, serta didukung partai
koalisi, sementara keberadaan Jokowi pada dasarnya tidak dengan mesin partai,
melainkan bersama para relawan masyarakat sipil.
Di atas kertas,
pasangan Prabowo-Hatta unggul dengan koalisi enam partai (Gerindra, Golkar,
PPP, PKS, PAN, Demokrat) 59,52 persen, sedangkan koalisi pendukung Jokowi-JK
hanya empat partai (PDI-P, Hanura, Nasdem, PKB) 40,38 persen. Dengan selisih
hasil 6,30 persen untuk kemenangan pasangan Jokowi, yang perlu dipertanyakan,
bukan dari mana dukungan suara yang diperoleh pasangan Jokowi, tetapi mengapa
pasangan Prabowo kalah?
Biasanya, pekerja
komunikasi politik berfokus pada variabel bersifat positif, tetapi untuk
fenomena Prabowo yang perlu dilihat adalah faktor yang menggerus magnetnya
sekaligus melemahkan harapan massa yang tadinya tinggi ditujukan kepada figur
Prabowo (lihat: Siregar, "Ruang Publik Patologis, Media, dan Suksesi
Kepemimpinan Nasional 2014", Prisma, Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi,
Vol 34/2015).
Partai Demokrat pada
Pilpres 2014 malu-malu kucing bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo dan
tetap menjaga citra sebagai faktor penyeimbang. Namun, dengan safari politik
SBY belakangan ini, media memberitakan bahwa Ani Yudhoyono digadang-gadang
maju untuk RI-1 pada 2019. Perlu dipertimbangkan, turunnya suara untuk
Demokrat hampir 9 juta pada Pemilu 2014 akan menjadi beban luar biasa berat
bagi Ani Yudhoyono mengangkat partai pada Pemilu 2019, setidaknya kembali ke
tataran hasil Pemilu 2009. Faktor apa yang dapat menjadikan Ani Yudoyono
magnet, dan harapan macam apa yang ditumpukan massa kepadanya sehingga
berpaling pada Demokrat?
Soal magnet dan
harapan ini merupakan hasil proses interaksi figur dan massa secara faktual
(realitas empiris), baru kemudian diikuti dengan komunikasi (realitas media
dan virtual). Tak diperoleh semata-mata dari komunikasi. Safari politik atau
keramaian di media sosial bukanlah realitas empiris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar