Kartel Pangan dan Reformasi Pasar
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA INDONESIA,
29 Maret 2016
KOMISI Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) telah menyidangkan dugaan kartel daging sapi dan unggas. Dalam
kasus daging sapi, ada 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) diperiksa.
Mereka diduga sengaja menahan pasokan dari feedloter ke rumah pemotongan
hewan. Akibatnya, harga daging tetap tinggi. Pada saat bersamaan, ada 12
perusahaan unggas tengah diperiksa. Tudingannya sama, mereka diduga
berperilaku kartel mempermainkan harga di pasar. Ujung-ujungnya juga sama,
harga ayam mahal.
U
paya KPPU yang tiada lelah
menyeret pelaku terduga kartel harus diapresiasi. Namun, seperti kentut yang
bisa dicium tapi sulit dilihat, kartel bisa dirasakan tapi tidak mudah
dibuktikan. Buktinya, sampai saat ini dalam bidang pangan KPPU baru bisa
membuktikan kartel pada garam. Pada 12 Maret 2006, KPPU menghukum tujuh
perusahaan masing-masing sebesar Rp2 miliar karena terbukti mengendalikan
harga garam. Pada 2014, KPPU sebenarnya telah menghukum 19 perusahaan
importir bawang putih karena terbukti berlaku kartel. Namun, keputusan KPPU
dibatalkan di tingkat pengadilan negeri.
Berdiri pada 2000 setelah UU No
5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha ti dak Sehat
diundangkan, 239 perkara telah diputuskan KPPU. Namun, tak sedikit yang
kandas di pengadilan negeri atau Mahkamah Agung.Hingga 31 Desember 2015, 55
putusan KPPU dibatalkan PN, lebih banyak dari yang dibatalkan MA (30
putusan). Sebaliknya, jumlah yang dikuatkan MA sebanyak 80 putusan, sedangkan
PN hanya menguatkan 74 putusan. Bisa jadi, perspektif hakim-hakim PN dan MA
berbeda dengan hakim-hakim KPPU dalam melihat persaingan usaha tidak sehat.
Ini menambah tantangan KPPU dalam mengurai, membongkar, dan menghukum ulah
kartel.
Kesulitan bukti
Kartel--yang dimaknai sebagai
kerja sama sejumlah perusahaan, yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya
sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang, dan atau
jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang
wajar--secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi,
dan wilayah pemasaran. Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah
dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan secara
diam-diam.Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali kesulitan
mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel.
Bagi Indonesia, kartel pangan
bukanlah hal baru. Politik otoriter dan kebijakan ekonomi yang hanya
menguntungkan elite penguasa dan para sekondannya telah menciptakan
kaveling-kaveling ekonomi hanya oleh segelintir pelaku. Praktik buruk di era
Orde Baru itu terus bermetamorfosis di era Reformasi, dan dilakukan
turun-temurun dari generasi ke generasi.
Tidak mengherankan bila
sebagian besar kartel pangan berubah jadi amat struktural, bagai tembok kedap
air. Meskipun sudah dihukum pada 2006, praktik kartel garam kembali terulang
pada 2015. Pelaku ‘jual-beli’ kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum
pada 2013, tapi harga daging sapi sampai sekarang masih mahal.
Kartel pangan tumbuh subuh di negeri ini bukan hanya karena kue
ekonomi dan peluang keuntungannya amat besar, melainkan juga didorong oleh
kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi pemburu rente (rent seekers), lemahnya penegakan
aturan main, dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan
kualitas kebijakan (ekonomi). Akibatnya, hampir pada setiap jengkal aktivitas
ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang sepenuhnya diserahkan
kepada mekanisme pasar, selalu muncul peluang terjadinya kartel pangan.
Ini terutama terjadi pada
komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar, yakni
beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula. Kartel kian menggila
apabila produksi domestik tidak mencukupi.
Persengkongkolan
Dalam ilmu ekonomi dikenal dua
bentuk ekstrem struktur pasar, yakni monopsoni plus varian berupa oligopsoni
dan struktur monopoli plus varian berupa oligopoli. Struktur ekonomi disebut
monopsoni apabila pembeli hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni)
bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur pasar disebut
monopoli apabila penjual komoditas hanya satu, atau beberapa penjual
(oligopoli) bersekongkol mengatur harga jual komoditas. Empat bentuk struktur
itu menandai telah terjadi kegagalan pasar (market failures). Istilah ini
sering disandingkan dengan istilah kega galan negara (state failures), yang
ditandai ketidakmampuan negara melakukan eksekusi program sampai menegakkan
aturan yang dibuatnya sendiri (Arifi n, 2013).
Apa pun bentuk dan struktur
pasarnya, petani dan konsumen selalu berada pada pihak yang dirugikan. Di
hulu, petani berhadapan dengan para tengkulak yang bisa disebut pengijon atau
pengagep. Mereka terkadang amat leluasa menentukan harga beli produk pangan.
Caranya, mereka menetapkan
kriteria sepihak, serbatidak jelas, tidak transparan, dan tidak adil. Petani
tidak berdaya. Selain tidak memiliki alternatif pasar, informasi pasar
sepenuhnya berada di tangan tengkulak. Situasi makin rumit apabila petani
terikat utang kepada pengijon, baik untuk modal kerja maupun kebutuhan hidup.
Daron Acemoglu dari MIT dan
James A Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty
(2012) berkesimpulan bahwa ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan
kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif, yang hanya
menguntungkan segelintir oligopolis. Kondisi diperparah oleh kebijakan
pemerintah yang tanpa sadar ternyata telah memfasilitasi terjadinya
penguasaan pasar mela lui kebijakan tata niaga yang salah.
Ada empat hal yang harus
dilakukan. Pertama, reformasi struktur pasar. Caranya, mendorong munculnya pelaku-pelaku
usaha baru di setiap komoditas strategis. Reformasi struktur pasar tidak
untuk mematikan pelaku usaha lama, tapi mendorong munculnya pelaku usaha
baru. Kedua, membenahi administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang
dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain mudah diestimasi,
termasuk fluktuasi harga. Lebih dari itu, administrasi yang baik dengan mudah
mendeteksi aksi aji mumpung, baik menimbun maupun menciptakan kelangkaan
pasar semu pelaku kartel.
Ketiga, meningkatkan produksi,
produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di
hulu. Produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk inefisiensi
perdagangan. Perbaikan sistem informasi harga, informasi pasar, dan teknologi
baru akan mengurangi inefi siensi sistem perdagangan yang akut.
Keempat, memperkuat KPPU baik
dalam kewenangan menemukan alat bukti, memperluas defi nisi pelaku usaha
sebagai subjek hukum KPPU, maupun peningkatan denda administratif menjadi
Rp500 miliar agar ada efek jera. Amendemen UU No 5/1999 tak bisa ditawar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar