Intoleransi dan Negara Lemah
Ali Munhanif ;
Peneliti Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM);
Dosen Perbandingan Politik FISIP
UIN Jakarta
|
KOMPAS, 08 April
2016
Serangan bom bunuh
diri pada sebuah taman di Lahore, Pakistan, pada perayaan Paskah, Minggu
(27/3), menjadi pelajaran berharga tentang nasib tragis negara yang gagal
menuntaskan persoalan sosial terkait intoleransi. Tragis karena bukan saja
menimpa negara yang dipandang sebagai salah satu kekuatan militer terbaik
Asia, melainkan juga karena pilihan momennya: Paskah, hari raya Kristiani
sedunia.
Agaknya bom bunuh diri
itu tak hanya dimaksudkan sebagai teror biasa, tetapi keinginan pelakunya
menyampaikan pesan "kami benci orang non-Muslim".
Pakistan adalah salah
satu negara berpengaruh di dunia Islam. Selain militernya kuat, juga punya
rekam jejak demokrasi yang panjang. Namun, dalam indeks Bank Dunia (2013),
Pakistan masuk dalam kategori negara rapuh dengan posisi mengkhawatirkan:
peringkat ke-13. Artinya, ia berada di posisi peringatan tinggi, mendekati
negara miskin di Afrika, seperti Republik Demokratik Kongo, Etiopia, Afrika
Tengah.
Banyak sebab mengapa
negara berkembang terjerembap jadi negara rapuh. Dalam konteks Pakistan,
sebab utamanya ialah ketakberdayaan negara menghadapi gerakan intoleran.
Hampir tiap hari kekerasan dan konflik sosial dipicu intoleransi-dari konflik
etnis, klan, sektarian, Sunni-Syiah, hingga konflik antaragama. Sementara
konflik sosial terus bermunculan, pemerintah pusat seperti enggan tegas. Ia
tak berdaya menuntaskan tantangan intoleransi warganya.
Di wilayah utara yang
berbatasan dengan Afganistan, organisasi Islam militan yang secara eksplisit
ingin menumbangkan pemerintah tumbuh pesat. Sebagian berbasis etnisitas,
tetapi umumnya berafiliasi kepada Islam Taliban yang berkarakter anti Barat
dan anti modernitas. Meningkatnya mobilisasi masyarakat sipil untuk
memperjuangkan norma alternatif dari Republik Islam Pakistan kian mendorong
negara ini jatuh dalam ancaman gerakan intoleran.
Kenyataan ini amat
memprihatinkan, khususnya dilihat dalam bingkai betapa sebuah negara kuat
secara militer, punya pertumbuhan ekonomi relatif baik dan menerapkan
demokrasi, bisa tergerus otoritas dan kewibawaannya oleh aksi intoleran
warganya.
Tak jauh beda dari Pakistan,
isu intoleransi sedang menghantui Indonesia dalam 20 tahun terakhir.
Pertumbuhan pesat gerakan sosial pengusung berbagai ideologi-agama,
etnisitas, kedaerahan, liberalisme, atau "agama baru"-menjadi
ancaman serius bagi daya tahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Negara alternatif
Harus diakui, memang
banyak dari gerakan sosial dan politik itu menempuh strategi damai-dengan
memobilisasi kekuatan sumber dayanya untuk kepentingan kemajuan dan
kesejahteraan. Namun, tak sedikit dari mereka yang menempuh jalan intoleran,
radikal, menjustifikasi kekerasan. Dalam catatan Wahid Institute (2014) dan
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (2015), konflik sosial picuan intoleransi
meningkat dari tahun ke tahun.
Intoleransi sering
dipahami sebagai sikap dan tindakan spontan untuk tak menerima atau tak siap
mengakui perbedaan. Banyak pihak-pemerintah khususnya-memandang bahwa
fenomena intoleransi itu lumrah. Masyarakat Indonesia mewarisi nilai-nilai
tradisional yang kuat, termasuk nilai-nilai agama, sehingga mudah terjebak
dalam sikap tertutup, kurang dialogis, dan intoleran. Seiring meningkatnya
urbanisasi, rendahnya tingkat pendidikan, dan keterbukaan informasi,
intoleransi kian jadi niscaya. Karena dipandang peristiwa sosiologis biasa,
penanganan soal intoleransi sering sederhana, tak memerlukan perspektif
kebijakan yang berkesinambungan.
Kelirulah jika
intoleransi diperlakukan sekadar peristiwa biasa. Sikap dan aksi intoleran
yang terjadi di sejumlah negara di dunia Islam adalah bentuk upaya
menghidupkan ikatan ideologis dan primordial yang terbingkai dalam imajinasi
tentang "negara alternatif". Sentimen akan tatanan alternatif ini
terus muncul bersamaan dengan kekecewaan masyarakat akibat buruknya praktik
demokrasi.
Di mata masyarakat
bawah, pemerintahan demokratis bukan hanya belum mampu memenuhi janjinya
meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga gagal menjaga wibawanya akibat
lemahnya penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan mencegah kekerasan di
ruang publik. Perpaduan antara kekecewaan dan kebebasan inilah yang jadi akar
mudahnya masyarakat dimobilisasi bergabung ke dalam ideologi tatanan
alternatif di luar NKRI.
Intoleransi, dengan
demikian, berakar pada ideologi tertentu. Dan, mengamati artikulasi kelompok
intoleran, terdapat benang merah antara kekerasan yang timbul dan sentimen
negara alternatif yang diimpikan.
Clifford Geertz,
pemikir sosial terkemuka yang mengamati proses pembentukan negara baru pada
1950-an, pernah mengingatkan: tugas mendesak negara baru yang merdeka setelah
Perang Dunia II adalah menyelesaikan ketegangan antara "revolusi
integratif" dan keterikatan primordial. Keterikatan primordial bersumber
pada eksistensi sosial yang given, yang melekat pada identitas etnis, ras,
wilayah, agama, atau adat-istiadat. Jika berhasil, negara itu akan tumbuh
menjadi negara civic. Jika gagal, ia akan terjebak menjadi negara lemah
berhadapan dengan loyalitas tradisional masyarakatnya.
Bahkan, gerakan
masyarakat sipil dalam bentuk "agama baru", seperti Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) tergelincir menjadi gerakan pendirian negara. Sejauh
misinya adalah menggalang kekuatan rakyat yang bertujuan kesejahteraan
melalui kemandirian pangan, itu masih berada dalam batas kehidupan civil society. Namun, ketika Gafatar
mendeklarasikan diri sebagai gerakan yang berupaya membangun komunitas
eksklusif dengan sumpah "negara di bawah rida Tuhan", ia masuk
dalam ranah perjuangan mendirikan negara alternatif.
Tantangan utama bagi
NKRI, dengan begitu, adalah menyikapi dengan tegas aksi intoleransi atas nama
negara alternatif tadi. Berkaca pada pengalaman Pakistan, merosotnya otoritas
negara dan Pemerintah Pakistan berjalan paralel dengan tingginya mobilisasi
organisasi Islam garis keras yang mengedepankan "sistem Islami"
sebagai alternatif sistem kenegaraan meski secara formal negara ini
memproklamasikan diri Republik Islam Pakistan.
Ketegasan negara
Mencermati gerakan
sosial yang terus bermunculan atas nama tatanan alternatif, tugas penting
yang harus disadari penyelenggara negara adalah mendorong Indonesia keluar
dari jebakan menjadi negara lemah, seperti Pakistan. Reformasi politik yang
hampir 20 tahun ini memang telah berhasil membantu kita membentuk institusi
politik-keamanan yang lebih modern dan otonom.
Di balik itu,
reformasi belum menghasilkan suatu transformasi masyarakat yang berorientasi
pada tujuan negara modern itu sendiri. Setidaknya jika diamati dari kebijakan
sosial, politik, dan keamanan pemerintah, segera terlihat bahwa kita gagal
menginternalkan nilai dan norma kehidupan sosial politik yang dicita-citakan
bersama. Dari waktu ke waktu kian banyak kita saksikan elite politik
mengambil pilihan berkompromi atau bermain api dengan gerakan intoleran.
Ada sejumlah strategi
yang bisa diambil sebagai pijakan kebijakan. Pertama, memperkuat pemerintah
daerah dengan visi pentingnya menjaga otoritas negara dari rongrongan
intoleransi. Intoleransi di daerah mengambil bentuk yang bervariasi,
bergantung pada konfigurasi kekuatan sosial, politik, dan kultural di daerah
itu. Sudah semestinya pencegahan dini terhadap potensi intoleransi tidak
semata-mata bersandar pada inisiatif pusat, melainkan kepala daerah dan
jajarannya di lini terdepan penanganan konflik-konflik intoleran. Pada
tingkat ini, adalah satu langkah tak terpuji bila masih ada kepala daerah
yang membiarkan, memberi izin, bahkan memfasilitasi aktivitas gerakan
intoleran.
Penguatan visi
pemerintahan daerah juga berarti memberdayakan institusi yang menjadi garda
terdepan untuk ketertiban umum, yakni polisi. Harus diakui, pemahaman
kepolisian tentang manajemen konflik bermuatan agama masih perlu
ditingkatkan. Nilai strategis Polri terletak pada dua hal. Selain berwenang
memaksa penegakan ketertiban masyarakat, polisi juga hadir di unit
pemerintahan terendah dalam NKRI: kecamatan. Kepolisian, dengan demikian,
menjadi institusi utama negara yang secara langsung bisa mencegah terjadinya
intoleransi.
Kedua, untuk
kepentingan jangka panjang, pendidikan nilai-nilai civic keindonesiaan
saatnya dihidupkan kembali. Pemerintah perlu memiliki cetak biru kurikulum
pendidikan civic, pendidikan kewarganegaraan, yang melandasi terbentuknya
NKRI, seperti memperkuat kemajemukan, kesatuan, dan identitas kebangsaan.
Dalam sejarah masyarakat apa pun, pendidikan menjadi sarana paling efektif
dan beradab untuk menyemaikan norma sosial dan budaya bersama. Bahkan, dengan
strategi kurikulum yang baik, pendidikan agama bisa diarahkan memperkuat
nilai-nilai civic kebangsaan.
Tanpa sikap tegas soal
intoleransi, bukan tak mungkin NKRI makin terjebak menjadi negara lemah;
suatu keadaan ketika negara atau pemerintah tak lagi punya kapasitas
kelembagaan menginstitusikan masyarakatnya ke dalam visi baru tentang tujuan
bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar