Humor dan Kepantasan
Bre Redana ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 17 April
2016
Saya sering
membayangkan apa kira-kira yang dibayangkan oleh orang-orang yang ingin jadi
pemimpin, jadi kepala daerah, jadi presiden. Dengan senyum malaikat ketika
blusukan ke pasar, adakah mereka tengah membayangkan membikin pasar lebih
baik, makanan lebih banyak, sekolah lebih bagus, rumah sakit lebih sehat,
damai lebih dekat, cinta lebih murni, dan seterusnya?
Bukan saja pengalaman
memimpin unit kerja terdiri atas lima-enam orang saja sudah pusing setengah
mati, kalau kita percaya buah adalah hasil perbuatan menanam, adakah selama
ini orang-orang tadi memperlihatkan krida untuk memperbaiki kehidupan rakyat
banyak? Bukan untuk kehidupan diri sendiri dan keluarga? Sebenarnya yang kita
tonton lebih mirip komedi badut-badut.
Mendadak jadi ingat
lawakan Srimulat zaman dulu. Seolah semua serba ada, kepada para tamu,
pelayan menawari mau minum apa: teh, kopi, cokelat, jus.... Para tamu
menyebut pilihan masing-masing.
Mari ke restoran,
tukas pelayan. Penonton gerrr....
Humor mencairkan
ketegangan. Kita tahu apa yang ditawarkan oleh mereka yang ingin jadi
pemimpin tak ubahnya seperti apa yang ditawarkan oleh pembantu dalam dagelan
Srimulat. Ada anekdot, kelompok lucu Srimulat kemudian bubar karena kalah
lucu dibandingkan tetangganya. Yang dimaksud tetangga adalah DPR.
Ya, sayang. Bagi
generasi kini atau yang belum pernah berkesempatan menonton Srimulat di
panggung, baik diketahui bahwa penampilan Srimulat di panggung agak berbeda
dibandingkan di televisi seperti dikenal banyak orang.
Tahun 1980-an, mereka
punya panggung di pulau di tengah danau buatan di Taman Ria Remaja Senayan,
persis bersebelahan dengan Gedung DPR RI. Tiap malam, pentas mereka dipenuhi
penonton. Pertunjukan dimulai dengan penampilan band Srimulat mengiringi
penyanyi yang bergantian tampil. Setelah itu drama komedi babak pertama.
Seusai babak pertama, layar panggung turun. Kembali penyanyi menghibur
penonton, sementara di balik layar awak panggung menata dekorasi untuk babak
kedua. Begitu persiapan beres, layar kembali dibuka, masuk babak kedua sampai
pertunjukan berakhir sekitar pukul 22.00. Itulah masa emas panggung Srimulat.
Teguh (1926-1996),
pemimpin Srimulat, memiliki doktrin terkenal mengenai makna humor, makna
lucu: lucu itu aneh, aneh itu lucu. Contohnya: muncul penyanyi, bersarung,
baju surjan Jawa compang-camping, gembel. Ia bermonolog, bercerita dulu dia
pejuang. Mengiringi monolognya, pelan-pelan band membuka intro lagu. Si
gembel menyanyikan lagu Deep Purple, "Soldier of Fortune". Penonton
terpingkal-pingkal.
Entah dapat inspirasi
dari mana, Teguh telah mewariskan suatu gagasan bahwa ironi kehidupan ini
sendiri yang melahirkan humor. Persis ditampilkan karya-karya besar, bahkan
Cervantes dengan Don Quixote sekalipun. Yang membikin karya tadi abadi adalah
dari situ kita bisa becermin mengenai ketidakberesan manusia dan
ketidakberesan hidup.
Selain rumusan
mengenai lucu, Teguh secara ketat memberlakukan disiplin panggung, menyangkut
mana boleh dan mana tidak boleh. Tanyalah pelawak eks Srimulat, Tarzan. Meski
lucu, pelawak lelaki dilarang menyebut perempuan lawan main yang kebetulan
berperan sebagai istri sebagai "itu kendaraan saya". Mereka
dilarang melakukan dagelan esoterik, yang hanya lucu untuk kalangan mereka
sendiri, serta sejumlah aturan dan pakem lain. Perempuan, apalagi yang
kategori cantik (oh kenangan, pemain Srimulat dulu cantik-cantik), dilarang
ikut melucu.
Kini, pakem dunia
panggung seperti itu tak ada lagi. Tontonlah televisi kita kalau Anda masih
tahan. Lawakan pembawa acara dan celotehan para pesohor terkesan tak mengenal
aturan yang berhubungan dengan kepantasan. Kepantasan tidak hanya hilang dari
panggung, tapi juga dari kehidupan sehari-hari.
Dikarenakan kesempatan
sejarah bagi panggung pertunjukan rakyat, Srimulat kemudian gulung tikar.
Jelas bukan karena kalah lucu dibandingkan tetangganya, DPR. Sebab, yang
kelihatan lucu dari si tetangga itu sungguh juga sering di luar kepantasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar