Dialektika Kuasa Jelang Pilkada
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KOMPAS, 08 April
2016
PERHELATAN pilkada
selalu ditandai dengan proses dialektika relasional yang mengemuka. Beragam
perbedaan pandangan, ide, gagasan, kepentingan, dan afiliasi politik membuat
atmosfer perburuan kuasa memanas dan mengalami titik didih. Pun demikian yang
terjadi di DKI Jakarta, hampir setiap hari media massa dan media sosial
diramaikan pertarungan perebutan opini. Suhu politik sangat panas meski saat
ini belum memasuki tahapan resmi pencalonan. Sejumlah kelompok termasuk
partai politik masih belanja nama dan isu untuk memantapkan paket pasangan
yang akan mereka dukung ataupun usung.
Pemetaan kandidat
DKI ialah barometer
politik nasional. Bukan semata jantung Republik ini karena posisinya menjadi
Ibu Kota, lebih dari itu, perhelatan demokrasi lokalnya akan menjadi role
model bagi daerah-daerah lain. Oleh karena itu, pilkada DKI akan menjadi
display penting dan prestisius dalam sejarah penyelanggaraan pilkada di
Indonesia. Konsekuensinya, partai-partai besar ataupun menengah, termasuk
tokoh-tokoh nasional, banyak yang memiliki kepentingan langsung dengan
perebutan kuasa di DKI.
Dalam konteks ini,
menarik memetakan tiga persoalan, yakni figur bakal calon, skema koalisi, dan
dialektika isu. Persoalan figur, saat ini ialah fase 'belanja' nama yang
memiliki modal dasar elektoral. Dalam perhelatan pilkada, fokus utama
'jualan' di pasar pemilih tentunya ialah sosok yang akan menjadi petarung. Oleh
karena itu, bakal calon dituntut tak hanya percaya diri dan modal nekat maju
ke gelanggang pertarungan, tetapi juga harus punya empat modal yang melekat
pada sosoknya, yakni popularitas, elektabilitas, disukai, dan diterima oleh
calon pemilih di DKI. Modal dasar elektoral tersebut bisa diukur dan dikaji
secara ilmiah. Jika nalar si figur jernih dan berorientasi kualitas proses,
dia akan mengukur modal dasar elektoralnya secara verifikatif.
Merujuk ke pendekatan social judgement theory yang
dikembangkan Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif sebagaimana dikutip Richard M
Perloff di bukunya, The Dynamics of
Persuasion (2003), disebutkan ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan
dalam tindakan persuasi, termasuk oleh para bakal calon yang sedang
meyakinkan pihak lain untuk mengusung dan mendukung mereka. Pertama, latitude of acceptance atau zona
penerimaan dalam hal ini bakal calon sebagai persuader masih bisa diterima
dan ditoleransi kehadirannya. Kedua, latitude
of rejection atau zona penolakan. Kondisi itu biasanya terlihat dari
munculnya penolakan atau posisi berseberangan dengan bakal calon. Ketiga, latitude of no commitment atau zona
tanpa komitmen di saat bakal calon tidak diterima tetapi juga tidak ditolak.
Membaca, mengukur,
memprediksi dialektika kuasa dalam ketiga faktor ini menjadi agenda prapemilu
yang penting dilakukan para bakal calon. Meskipun politik itu merupakan seni
kemungkinan-kemungkinan, sesungguhnya ada kerja dan pendekatan akademik yang
bisa memprediksi dan menjadi alat ukurnya. Bakal calon harus pandai membaca ego-involvement dari calon pemilih di
DKI yang akan menjadi jawaban seberapa penting tawaran kehadiran si figur
bagi warga DKI.
Persoalannya, banyak
yang maju menjadi bakal calon yang masih menggunakan kacamata kuda dan
bermodal nekat semata. Tahapan legitimasi harusnya dilalui melalui parameter
apakah bakal calon memiliki potensi daya tawar memadai atau tidak. Ketidakpandaian
mematut diri sering menyebabkan figur bakal calon jadi bahan lawakan,
permainan, atau sekadar pelengkap penderita.
Soal skema koalisi,
pergerakan partai politik di DKI akan sangat ditentukan tiga aktor utama,
yakni Ahok, PDIP, dan Gerindra. Yang lainnya akan menjadi atmosfer di antara
mereka. Pertama, Ahok sudah menyatakan melaju dari jalur perseorangan dan
mendapat dukungan dari Partai NasDem serta Hanura. Tentu, Ahok juga masih
terbuka dengan opsi melaju dari partai jika prasyarat KTP dukungan yang saat
ini dikumpulkan relawan Teman Ahok tak memenuhi target hingga tenggat yang
ditentukan. Jika skema the best
alternative ini digunakan, selain NasDem (5 kursi) dan Hanura (22 kursi),
harus ada partai lain yang mau mengusung hingga melampau minimal 22 kursi.
Kedua, skema PDIP
menjadi aktor penting di DKI karena bisa melaju sendirian dengan 28 kursi. Posisi
PDIP untuk mengusung pasangan akan semakin kuat jika ada partai lain yang
merapat. Siapa paket yang akan dicalonkan PDIP bakal menentukan strategi
konsolidasi kekuatan di DKI.
Ketiga, skema Gerindra
sebagai partai peringkat kedua di DKI dengan 15 kursi, pergerakan partai ini
dalam mencalonkan siapa akan menetukan juga skema koalisi partai-partai papan
tengah. Bisa saja Gerindra berpasangan dengan PKS (11 kursi). Dengan bacaan
tersebut, di pilkada DKI sekurang-kurangnya masih terbuka peluang minimal
tiga pasang kandidat, bahkan bisa lebih jika ada inisiatif poros keempat yang
masih mungkin diusung partai-partai papan tengah seperti Demokrat (10 kursi),
Golkar (9 kursi), PPP (10 kursi), PKB (6 kursi), dan PAN (2 kursi). Komposisi
merapat ke manakah partai-partai papan tengah akan ditentukan pergerakan
Ahok, PDIP, dan Gerindra. Belum lagi, pasangan dari jalur perseorangan di
luar paket Ahok meskipun peluangnya di pasar pemilih sangat minim.
Pertarungan opini
Salah satu pertarungan
yang akan menguras energi di fase saat ini ialah penguasaan opini. Propaganda
dan serangan berbasis data maupun gosip terus ditiupkan para petarung dan
timnya. Dalam konteks ini, tentu Ahok sebagai petahana akan menjadi sasaran utama
serangan. Ahok memiliki kans besar untuk melaju ke periode kedua, dengan
modal dasar elektoral memadai. Beragam pihak tentu berkepentingan
mendelegitimasi reputasi Ahok. Serangan terhadap Ahok muncul dari segala
penjuru, mulai dikaitkan dengan kasus hukum RS Sumber Waras, isu panas
reklamasi, soal etnik dan agama, gaya komunikasi, hingga orang-orang dekat,
dan sejumlah lainnya. Kemampuan manajemen konflik dan daya tahan dalam
tekanan menjadi kunci Ahok untuk terus melaju dan memenangi pertarungan.
Serangan opini juga
sesungguhnya mengarah ke kandidat lain seperti isu Panama Papers yang
dihubungkan dengan Sandiaga Uno, kasus hukum terkait dengan UPS yang menuding
H Lulung, serta isu-isu lain yang juga menyerang sejumlah kandidat. Inilah
panggung megah pilkada DKI yang pastinya akan menjadi gelanggang pertarungan
terbuka berebut kuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar