Bisnis BUMN dan Tafsir UU
Junaidi Albab Setiawan ;
Advokat; Pengamat BUMN
|
KOMPAS, 19 April
2016
Saat ini di usia 18
tahun, BUMN dipacu oleh Presiden Joko Widodo agar bekerja "ngebut"
dengan kecepatan penuh, dengan semboyan "kerja, kerja, kerja" yang
berorientasi hasil atau capaian. Desakan percepatan ini akan sulit terlaksana
jika BUMN masih tersandera oleh masalah-masalah sistemik yang bersumber dari
birokrasi yang berorientasi proses dan diliputi kesalahpahaman terhadap
bisnis BUMN, ditambah lagi dengan berbagai hambatan berupa kerancuan tafsir
undang-undang (UU) serta beban politik dan kebijakan.
Kebijakan Presiden itu
mengandung pesan perubahan dari sistem birokrasi yang lebih menekankan cara
daripada hasil ke sistem yang berorientasi hasil dengan cara cepat. Perubahan
itu tidak mudah karena harus mengubah cara pandang dan perundang-undangan.
Selain itu, kebijakan ini juga rentan ditunggangi "penumpang gelap"
yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan sendiri sehingga akan mencederai
niat baik pemerintah.
Oleh karena itu,
pemerintah harus lebih waspada dalam mengevaluasi pelaksanaan kebijakan
tersebut.
Kerancuan tafsir UU
BUMN saat ini masih
menghadapi masalah kerancuan pengaturan. Jika ditarik dari asasnya, maka
terlihat kerancuan norma hukum antara putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
48 dan 62/PUU/-XI/2013, UU BUMN Nomor 19/2003, dan UU Perseroan Terbatas (PT)
Nomor 40/2007, menyangkut tafsir "modal BUMN yang bersumber dari
kekayaan negara yang dipisahkan". Putusan MK menempatkan BUMN tunduk ke
dalam rezim hukum keuangan negara sehingga penggunaan keuangan BUMN masuk
dalam ranah korupsi. Akibatnya, aparat hukum di semua tingkatan, termasuk
BPK, BPKP, dan bahkan DPR, pun demi hukum dapat memeriksa BUMN, bahkan DPR
minta diperluas kewenangannya hingga menjangkau anak perusahaan BUMN.
Sementara secara
khusus (lex specialis) UU BUMN dan
UU PT memberi BUMN tugas untuk berbisnis mengejar untung dalam bidangnya.
Menurut penjelasan UU BUMN No 19/2003, kekayaan negara yang dipisahkan tidak
lagi tunduk dalam sistem APBN, tetapi telah menjadi kekayaan perusahaan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sesuai UU PT No 40
Tahun 2007. Sekali modal telah ditempatkan, maka di dalam perusahaan, negara
sebatas menjadi pemegang saham dan menyalurkan misinya lewat RUPS. Oleh
karena itu, jika bisnis telah dilakukan sesuai prinsip good corporate government (GCG), business judgment rule (BJR), anggaran dasar perusahaan dan
aturan bisnis lain, maka tidak ada lagi korupsi. Hal ini disebabkan di dalam
bisnis untung dan rugi sudah jadi keniscayaan dan PT memiliki mekanisme
sendiri untuk menilai.
Selama ini pengertian
keuangan negara yang dipisahkan di BUMN seperti dibiarkan
"mengambang" sehingga justru menjadi peluang penyalahgunaan
kekuasaan. Akibatnya, pengawasan kepada BUMN yang bertujuan baik melalui
pemeriksaan yang menyedot energi dan waktu para pengurus BUMN berubah menjadi
gangguan kinerja dan produktivitas, karena harus melewati proses pemeriksaan
panjang, berjenjang, dan berulang, tergantung tahap pengawasan, sehingga
tidak efektif dan efisien.
Tindakan bisnis sangat
berkait dengan peluang (momentum). Oleh karena itu sering diperlukan
keputusan yang cepat dan tepat, kadang berdasar naluri (insting) yang di mata
awam masih kerap dinilai sebagai pelanggaran. Sementara itu, peraturan yang
ada masih sering tertinggal dan gagal mengantisipasi kebutuhan bisnis yang
memerlukan keputusan yang cepat dan tepat. Faktanya, tidak ada ketentuan
tertulis yang dapat mengatur segala aspek secara konkret dan detail di setiap
saat. Untuk mengantisipasinya diperlukan suatu kebijakan terhadap adanya
kevakuman aturan, alias ruang kosong dalam menilai suatu tindakan.
Oleh karena itu, agar
prinsip legalitas pada tahap operasional dapat dilaksanakan secara dinamis,
efektif dan efisien, diperlukan beleid
atau diskresi (JP Wind, 2004). Beleid dan diskresi dapat menjembatani
perubahan paradigma yang berorientasi prosedur kepada paradigma subtantif
yang dikehendaki pemerintah, yang berorientasi kecepatan dan capaian. Namun,
jika kurang waspada, beleid dan diskresi ini sering ditunggangi penumpang gelap
yang mengambil manfaat pribadi, kelompok, dan golongan.
Contoh kerancuan lain
adalah ketentuan privatisasi dalam UU BUMN. Privatisasi itu sesungguhnya
masuk dalam ranah corporate action yang seharusnya tidak perlu diatur dalam
peraturan setingkat UU. Namun, karena UU BUMN adalah produk reformasi yang
dibuat dalam pengaruh Dana Moneter Internasional (IMF) dan kebangkrutan
ekonomi negara, semangatnya adalah memfasilitasi penjualan aset negara guna
membayar utang. BUMN yang semula berideologi sosialisme dipaksa
bermetamorfosis mengikuti pasar yang berideologi liberal yang mengajarkan
bahwa pemerintah yang baik adalah yang sedikit memerintah (the government is best which govern least)
dan memberikan kebebasan kepada pasar (Austin
Ranney, 1996).
Situasi itu dimanfaatkan
perusahaan multinasional untuk menguasai BUMN-BUMN yang potensial. Contoh
korban nyatanya adalah pada penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) PT Perusahaan Gas Negara (Persero)
tahun 2003. Sekarang ini 82 persen dari 43,04 persen saham publik PGN telah
dikuasai asing. IPO PGN secara fundamental sesungguhnya menyalahi asas karena
PGN bergerak dalam bisnis gas yang termasuk komoditas vital yang menjadi
hajat hidup orang banyak. Sementara konstitusi (Pasal 33 Ayat 2) jelas
mengatur gas hanya boleh dikuasai negara, ditambah lagi ketentuan UU BUMN
Pasal 77 (c dan d) yang melarang privatisasi jenis itu.
Di tengah masyarakat
juga masih terjadi kesalahpahaman terhadap bisnis BUMN. Di mata hukum
perusahaan, BUMN persero adalah badan usaha yang bertujuan mencari untung,
bukan seperti BUMN masa lalu, koperasi, dan yayasan yang lebih bermisi
sosial. Oleh karena itu, jika berharap BUMN berperilaku seperti badan sosial,
segera lakukan koreksi terhadap UU BUMN dan UU PT. Hilangkan ketentuan privatisasi
dan putuskan hubungan BUMN dengan UU PT karena kedua UU tersebut beraliran
pasar bebas. Tujuan pendirian PT dan privatisasi menurut UU tersebut adalah
memperkuat modal supaya BUMN lebih ekspansif dan menguntungkan. Sementara di
sisi sebaliknya tujuan pembelian saham oleh investor dalam privatisasi adalah
untuk mendapatkan keuntungan (dividend/capital gain) dari BUMN. Maka wajar
jika BUMN kini lebih berperilaku bisnis dan itulah sesungguhnya yang dituntut
oleh kedua UU tersebut.
Beban politik
Kementerian BUMN
adalah kementerian primadona yang sedari dulu dikenal sebagai "sapi
perah" untuk menunjang biaya politik yang mahal. Kementerian ini
membawahkan 119 BUMN dengan berbagai bidang strategis. Pendapatan BUMN pada
2014 saja mencapai Rp 1.912 triliun, sungguh angka yang menggiurkan.
Sementara menteri BUMN menempati posisi mewakili saham negara di semua BUMN,
yang dalam praktik perannya bergeser seperti chief executive officer (CEO)
induk pengendali dari semua BUMN. Maka, wajar jika dalam hitungan politik
menteri BUMN harus bisa "dikendalikan".
Idealnya menteri BUMN
adalah seorang pribadi yang tangguh, visioner yang luwes tetapi tetap loyal
kepada UU, konstitusi, dan ideologi. Hal ini karena untuk menjalankan bisnis
dalam kungkungan pasar bebas (laissez
faire) sekarang ini BUMN perlu diisi oleh pebisnis cerdas, dinamis, penuh
inovasi, ahli dalam bidangnya (spesialis) dan berjaringan luas, tetapi harus
tetap nonpartisan. Jangan isi BUMN dengan orang-orang titipan, pesanan, balas
jasa atau yang dijinakkan, tanpa mengindahkan kompetensi, karena akibatnya
BUMN sulit maju akibat dipenuhi benalu yang membebani keuangan dan sekadar
menjalankan rutinitas.
Beban kebijakan
Belakangan ini kita
mendengar bahwa pembangunan proyek-proyek besar yang melibatkan BUMN adalah
aktivitas B to B (business to business). Pembiayaan pembangunan itu tidak
menggunakan APBN dan tanpa jaminan pemerintah. Argumen ini membingungkan
karena sekarang ini BUMN adalah entitas bisnis yang mayoritas sahamnya milik
negara. Jika BUMN lengah mengukur diri dan bermasalah akibat desakan
kebijakan, hal itu pasti berdampak kepada negara.
Ada baiknya kita
belajar dari kasus penghentian proyek pembangunan PLTP, antara Karaha Bodas
Company versus Pertamina (Joint Operation Contract) dan PLN (Energy Sales
Contract), kaitannya dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39/1997 dan
Keppres Nomor 15/2002, yang berakibat BUMN rugi besar dan tersandera di
tangan kreditor asing dan arbitrase internasional. Oleh karena itu, jangan
bebani BUMN melebihi kemampuannya.
Kita sepakat, berbagai
program prestisius yang menjadi prioritas pemerintah, khususnya bidang
kedaulatan energi, kemandirian pangan, serta pembangunan infrastruktur dan
kemaritiman, adalah fondasi menuju kemakmuran negara. Namun, dari sejarah kita
juga harus belajar agar menjauhkan politik dari urusan bisnis karena ternyata
akibatnya selalu merugikan negara.
Sebagai contoh lain
adalah masalah Freeport. Masalah Freeport bukan sekadar masalah kontrak,
kecilnya royalti dan divestasi, tetapi lebih substansial karena menyangkut
konstitusi. Dengan demikian, penyelesaiannya tidak cukup dengan menggalang
BUMN mineral dan batubara (minerba) PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam, PT
Timah, dan PT Inalum untuk membeli saham Freeport, tetapi harus diluruskan dahulu
di mana posisi negara.
Di usia 18 tahun BUMN
sekarang ini, tidaklah adil terlalu membebani BUMN, sementara perusahaan
swasta memiliki berbagai "kemewahan" berupa kebebasan bisnis.
Mereka bisa membuat pulau-pulau baru (reklamasi), membakar hutan untuk bertanam,
menjual pasir untuk memperluas negara lain, menyerobot tanah-tanah potensial
milik BUMN, merampok Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), menaruh
uangnya di negara-negara pelabuhan pajak (tax haven), dan lain-lain.
Begitupun CEO-nya, mereka bisa memiliki kewarganegaraan ganda, jika timbul
masalah mereka bisa buron ke negara lain sebagai wara kehormatan.
Tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) 2,5 persen dari keuntungan mereka tidak akan cukup untuk
merestorasi kerusakan sosial dan lingkungan. Namun, di mana peran mereka
untuk kesejahteraan rakyat, kita tidak pernah mengukur dan mengusiknya karena
negara seperti tidak berdaya.
Akibat dari semuanya
itu, BUMN akan berjalan di tempat, bekerja penuh ketakutan dan syak wasangka.
Jangankan bersaing dengan swasta, mengatasi masalah internal saja mereka
sudah kehabisan energi. Ditambah lagi beban-beban di atas yang semakin
menyulitkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar