Bersyukur
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 03 April
2016
Di sebuah acara yang diselenggarakan bank asing, saya duduk
berdekatan dengan seorang bapak berusia 95 tahun. Berbicara soal
kesehatannya, maka ia jauh dari kategori manusia berusia lanjut.
Ia memiliki mata yang tidak kabur, ingatan yang dahsyat,
suksesnya jangan ditanya, makan tak ada pantangannya, tidak mengidap penyakit
yang standar terjadi di masa tua macam kencing gula, hipertensi, atau
penyakit jantung. Ia tak pernah absen berolahraga di pusat kebugaran.
Kemudian, seperti sudah Anda duga, saya yang sudah keok di masa
muda ini, menanyakan apa rahasia panjang usia dan tetap sehat walafiat.
"Bersyukur," katanya singkat dengan suaranya yang jauh dari lirih.
Semangat
Harus saya akui kalau saya ini masih menyuarakan rasa syukur
dari mulut yang banyaknya mengeluh. Bahkan saat saya susah sekali bersyukur,
seperti saat satu karyawan saya mengundurkan diri. Saya berusaha bersyukur di
tengah doa pagi, bahwa selama tahun-tahun ini ia sudah memberi kontribusi
yang luar biasa.
Meski setelah bersyukur, saya ngotot agar Tuhan bisa merayunya
untuk tidak mengundurkan diri. Sayang, ia tetap mengundurkan diri. Dan,
ketika doa saya itu tidak dijawab, saya tidak terbiasa bersyukur dengan cara
mengatakan bahwa Tuhan akan memberikan pengganti yang lebih baik.
Saya memaksakan diri berpikir demikian, hanya untuk menghibur
diri yang lara. Perkataan itu semacam antidot dari sebuah kekecewaan.
Bersyukur itu melatih diri untuk membiarkan Tuhan bekerja dengan skenario-Nya
sendiri. Mungkin gemar mencari antidot itu sebuah bentuk tidak bersyukur.
Mungkin.
Nah, yang saya tak punya belakangan ini adalah semangat. Mau
sehat dan bahagia itu, pasti harus ada semangat. Kalau cara-cara menjadi
sehat dan bahagia saya sudah tahu. Sudah sejuta buku dan nasihat teman masuk
ke gendang telinga dan otak, tetapi masalahnya bukan soal caranya bagaimana,
tetapi bagaimana mewujudkan nasihat mulia itu.
Karena untuk menjadikan semua itu nyata, adalah dengan
melakukannya. Untuk melakukannya diperlukan tidak hanya motivasi, tetapi juga
semangat untuk mengeksekusi. Maksud saya semangat itu bukan yang hanya
berlangsung seminggu.
Karena saya pernah hadir di sebuah kelas motivasi, dan setelah
kelas itu berakhir, saya rajin melakukan pekerjaan rumah dan kalau tidak
salah itu hanya berlangsung kurang dari satu bulan.
Mencari antidot
Beberapa hari setelah itu, tepat di hari Minggu, saya berpikir
ulang dengan otak saya yang jongkok ini. Semangat itu dilahirkan dari rasa
bahagia. Kebahagiaan saya selama ini karena saya mengupayakannya,
menciptakannya, membuat kejutan-kejutan oleh diri sendiri. Lama-lama saya
kehabisan semangat untuk berbahagia, lama-lama saya lelah karena tenaganya
habis untuk memanjakan diri sendiri.
Saya kemudian menyimpulkan, apakah semangat saya menurun karena
saya kesepian? Apakah karena tak ada manusia yang mencintai saya-bukan
teman-yang menyodorkan tenaga ketika saya kehabisan?
Sebuah penelitian yang saya baca di beberapa situs mengatakan,
kesendirian tak hanya berbuah kesedihan. Hasil penelitian terbaru mengungkap
bahwa kesendirian bisa memacu penyakit kronis hingga memicu kematian lebih
cepat. Dalam penelitian itu diberitahukan bahwa faktor yang memiliki dampak
lebih buruk bagi kesehatan dibandingkan kegemukan adalah kesepian.
CNN Indonesia dalam artikel 10 fakta mengejutkan soal kesepian
menulis bahwa salah satu risiko yang dihadapi orang yang kesepian
bertahun-tahun ternyata sama besarnya dengan perokok. Penelitian menunjukkan
kesepian akut meningkatkan risiko mati muda sebesar 14 persen.
Minggu lalu saya diserang rasa kesepian yang sangat sampai sesak
napas. Dulu saya tak pernah percaya kalau ada yang menceritakan bahwa orang
dapat meninggal karena kesepian. Tetapi, saat kesepian dan sesak napas
menyerang di hari Minggu itu, saya memercayai cerita tersebut.
Kemudian saya berpikir, apakah bapak berusia lanjut di atas itu
karena ia tidak kesepian? Karena ia memiliki pasangan hidup dan bukan hanya
memiliki anak, menantu, cucu, buyut, atau pertemanan yang sehat? Meski dalam
artikel 10 fakta mengejutkan soal kesepian itu dikatakan lebih dari 60 persen
kesepian terjadi pada mereka yang sudah menikah.
Dan, lebih runyam lagi, munculnya kesepian tidak bergantung pada
seberapa banyak kawan atau hubungan sosial yang dimiliki. Jadi, apa yang
harus saya lakukan? Mungkin benar bapak berusia lanjut tadi, kalau saya ini
harus bersyukur agar sehat dan berbahagia.
Bersyukur merasakan kesepian, bersyukur karena menghadapi
kenyataan bahwa sampai sekarang ini belum ada manusia yang bisa melihat nilai
dalam diri saya untuk pantas dicintai. Bersyukur bahwa senantiasa ada
pengharapan di tengah keputusasaan dan sesak napas yang tak pernah absen
mengganggu kalbu.
Nurani saya langsung bersuara nyaris tak terdengar. "Ahh.
mungkin di hari Minggu ini kamu bukan sedang bersyukur. Kamu sedang mencari
antidot." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar