Bangsa yang Mematikan Inovasi
Anif Punto Utomo ;
Direktur Indostrategic Economics Intelligence
|
REPUBLIKA, 19 Maret
2016
Kita merasakan keprihatinan yang mendalam ketika membaca berita
tentang vonis terhadap Dasep Ahmadi, orang yang diminta Dahlan Iskan untuk
mengembangkan mobil listrik di negeri ini. Dasep dinyatakan bersalah oleh
Pengadilan Jakarta Selatan dan dihukum penjara tujuh tahun berikut denda Rp
200 juta serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp 17,1 miliar.
Di sini kita tidak akan membahas sisi hukum, tetapi lebih kepada
bagaimana seo rang peneliti harus dipidana ketika riset yang dilakukan belum
berhasil. Penelitian atau riset itu sebuah proses yang berkelanjutan.
Keberhasilan penelitian diperoleh setelah melalui serangkaian kegagalan.
Jika hanya diambil kegagalannya di tengah jalan kemudian divonis
merugikan, dunia penelitian akan gelap gulita. Vonis terhadap Dasep merupakan
bukti bahwa negeri ini tidak menghargai inovasi.
Dasep tidak sendirian. Dalam kasus lain kita bisa lihat
dilarangnya riset Dr Warsito tentang rompi antikanker oleh Kementerian
Kesehatan. Inovasi yang dikembangkan Warsito adalah Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) untuk diagnosis
kanker dan Electro-Capacitive Cancer
Therapy (ECCT) untuk terapi kanker.
Hasilnya, dari 3.183 pengguna ECCT, 1.530 kondisinya membaik dan
1.314 lainnya merasakan pertumbuhan kanker terhambat.
Dan, pengguna rompi tersebut ternyata 51,74 persen adalah pasien
yang oleh dokter dikatakan sudah tidak ada harapan sembuh.
Kasus lain terkait dengan aplikasi dunia maya yang sudah
merambah ke berbagai hal yang telah telanjur membuat masyarakat merasa lebih
mudah dan lebih nyaman. Ojek berbasis aplikasi, misalnya, karena dianggap
melanggar undang-undang, serta merta Menteri Perhubungan melarang aplikasi
Gojek dan kawan-kawannya. Aplikasi tersebut merupakan inovasi anak bangsa
yang mestinya dihargai dan dimuliakan, tetapi malah akan diberangus.
Hal serupa terjadi pada aplikasi mobil sewaan yang difasilitasi
oleh Uber dan Grab.
Memang kedua pemilik dan inovator tersebut bukan dari negeri
sendiri, tetapi aplikasi ini merupakan ciri dari inovasi yang menginspirasi
anak negeri. Begitu sopir taksi berdemo, Menteri Perhubungan langsung membuat
surat ke Menkominfo agar kedua aplikasi tersebut ditutup.
Menteri Perhubungan tampaknya selain tidak pro terhadap inovasi
juga melempar bola api. Dalam kasus Gojek, dia membuat surat pelarangan dan
kemudian Presiden mencabutnya. Jadi, jika nanti ditanya masyarakat atau DPR
soal aplikasi yang melanggar undang-undang, kira-kira Menhub akan menjawab,
"Saya sudah melarang, tetapi Presiden membolehkan lagi." Begitu
juga dalam kaus Uber dan Grab, penyelesaiannya cukup dengan surat, dan bola
panas pun berpindah ke Menkominfo.
Pemerintah seharusnya welcome
terhadap aplikasi dengan tidak serta merta menutup atau melarang aplikasi
yang tidak sesuai undang-undang. Perlu ada pemecahan yang tidak merugikan
masyarakat.
Toh, undang-undang bukan kitab suci yang tidak bisa diubah dan
dimodifikasi.
Teknologi akan datang dan terus ter-update.
Undang-undang pun harus menyesuaikan terhadap perkembangan baru,
harus responsif terhadap kemajuan zaman.
Braindrain Dari berbagai kasus di atas, masih terlih bahwa
hasrat mematikan inovasi masih berlangsung di negeri ini. Kita ingat sekitar
satu dekade silam, gugatan pailit oleh mantan karyawan terhadap PT Dirgantara
Indonesia (DI) dikabulkan Pengadilan Niaga menjadi bukti bahwa inovasi
teknologi dibunuh oleh stakeholdernegeri sendiri. Keputusan tersebut membuat
semakin banyak talenta-talena jenius di PT DI yang berkarya di luar negeri,
seperti di Jerman, Amerika, dan Malaysia.
Situasi ini terulang dengan dikriminalisasikannya periset mobil
listrik. Beberapa orang pintar negeri ini yang berusaha mengembang kan mobil
listrik merasa lebih nyaman dibajak untuk bekerja di luar negeri. Amerika
Serikat menjadi tempat berkreasi mereka, begitu juga dengan negara di Eropa,
bahkan Malaysia yang mengembangkan mobil listrik mengambil tenaga ahli dari
Indonesia.
Warsito juga pernah diiming-imingi untuk mengembangkan riset
tentang rompi kanker di luar negeri. Jepang dan Polandia sudah menawarinya.
Di Jepang, sebuah rumah sakit yang bekerja sama dengan universitas dan
dokter, menawarkan kebebasan dalam melakukan penelitian. Polandia juga menawarkan
hal serupa. Perusahaan di Singapura bahkan sudah siap membeli lisensi produk
Warsito.
Di dunia teknologi informasi, jika pemerintah tidak memberikan
ruang untuk berkreasi dan berinovasi akan banyak anak-anak jenius Indonesia
yang ke luar negeri mengembangkan karier. Para pengembang aplikasi yang
sekarang sudah banyak bermunculan, dengan adanya kasus ojek dan taksi
berbasis aplikasi, akan merasa bahwa ruang berinovasi menjadi sempit.
Presiden Jokowi sudah berkali-kali mengingatkan bahwa Indonesia
membutuhkan inovasi-inovasi dari anak bangsa agar negeri ini menjadi negara
maju yang diperhitungkan dunia. Namun di lapangan, justru inovasi sepertinya
diamputasi. Orang-orang bertalenta dan jenius tidak diberi ruang berkreasi
mengembangkan imajinasinya hanya karena kepentingan ego sektoral.
Perlu kita ingat bahwa maju tidaknya sebuah negara tergantung
dari inovasi yang diciptakan oleh warga negaranya. Maka, jika negara ini
ingin maju, masyarakat harus dipompa semangat berinovasi dengan memberikan
iklim nyaman bagi para inovator.
Sebuah miniseri yang dibuat oleh History Channel berjudul "The Innovators: The Man Who Built
America" menunjukkan bahwa kemajuan Amerika dimotori para inovator,
dari sejak zaman kereta api berkembang di Amerika yang memunculkan raja
kereta Cornelius Vander bilt, kemudian raja minyak John D Rockefelle, raja
baja Andrew Car niege, JP Morgan, sampai raja mobil Henry Ford. Sampai
sekarang, Amerika masih melahirkan inovator pengubah dunia, contohya Bill
Gates dan Steve Job.
Hal serupa terjadi di negara lain, para inovator menjadi pioner.
Majunya perekonomian dan peradaban negara-negara di Eropa, Jepang, Korea,
Cina, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari para inovator di negara mereka.
Dengan begitu, jika negeri kita ingin menyusul mereka sebagai negara yang
maju, para inovator harus diberi kebebasan berekspresi. Janganlah kita
menjadi bangsa yang mematikan inovasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar