Rabu, 02 Maret 2016

Suku Bunga Negatif

Suka Bunga Negatif

Muhamad Chatib Basri ;   Visiting Fellow, University of California, San Diego
                                                       KOMPAS, 01 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Kita tak perlu peramal cuaca untuk menebak ke mana arah angin”. Begitu lirik lagu Bob Dylan, ”Subterranean Homesick Blues”, 51 tahun lalu. Pesannya sederhana: kita tak butuh ahli untuk mengatakan apa yang kita sudah tahu. Namun, lirik Dylan ini tampaknya tak sepenuhnya cocok untuk membaca arah perubahan ekonomi global, karena bahkan para peramal ekonomi pun—seperti biasa—kesulitan untuk membaca arah angin.

Sejak tahun 2013, banyak negara emerging economies (EM/perekonomian-perekonomian bertumbuh)—termasuk Indonesia—yang berbicara mengenai kekhawatiran dampak normalisasi kenaikan bunga di Amerika Serikat (AS). Alasannya, akan terjadi pembalikan arus modal ke AS, dan ini akan mengganggu situasi ekonomi di emerging economies. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pun mengingatkan hal yang sama.

Di sisi lain, Larry Summers dari Harvard Kennedy School bicara mengenai bahaya dari the secular stagnation atau kemandekan ekonomi yang panjang. Summers mengingatkan, walau tingkat bunga sangat rendah, inflasi tak terjadi, ekonomi tetap tak bergerak. Karena itu, Summers berkali-kali mengingatkan The Fed agar tak menaikkan bunga. Toh, The Fed tetap menaikkan bunga 25 basis point Desember 2015. Namun, karena kebijakan ini sudah diantisipasi pasar, dampaknya terhadap emerging economies relatif kecil, bahkan memberikan kepastian bagi negara-negara emerging economies.

Meski demikian, setelah itu angin berubah. Situasi di Tiongkok semakin memburuk. Angka pertumbuhan ekonomi di AS terkesan rapuh. Jepang terancam deflasi. Menghadapi kondisi ini, Bank Sentral Jepang mengikuti langkah beberapa negara Eropa: menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Janet Yellen, Ketua Federal Reserve Bank AS, dalam pertemuan tengah tahunan dengan Kongres menyatakan, The Fed tidak menutup kemungkinan suku bunga negatif di AS walaupun ia belum melihat perlunya langkah itu.

Pernyataan Yellen ini kemudian diterjemahkan oleh pasar bahwa The Fed akan menunda kenaikan bunga. Lalu, modal mulai kembali mengalir ke emerging economies. Ringgit menguat, rupiah menguat, apalagi setelah Jepang menerapkan tingkat bunga negatif.

Bagaimana dampak perkembangan terakhir ini bagi perekonomian emerging economies, khususnya Indonesia?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mungkin baik jika kita memahami secara sederhana tentang tingkat bunga negatif itu. Dalam situasi ekonomi yang baik, tanpa didorong atau ”dihukum” pun, perbankan akan mengalirkan kreditnya. Namun, dalam situasi ekonomi yang tak pasti, perbankan cenderung untuk menahan kreditnya, akibatnya akan banyak kelebihan uang tunai (excess reserve) di perbankan. Alasannya, risiko kredit macet besar, selain itu toh karena bunga rendah, biaya memegang uang tunai (opportunity cost) relatif rendah.

Akibatnya, walau bunga rendah, kredit tidak mengalir, ekonomi mandek. Karena itu, bank sentral kemudian menerapkan tingkat bunga negatif. Dengan kebijakan ini, bank komersial bukan hanya tidak mendapatkan bunga dari bank sentral jika memegang excess reserve, tetapi ia harus membayar bunga kepada bank sentral.

Semakin banyak excess reserve yang dipegang bank, semakin besar bunga yang harus ditanggungnya. Beban ini tentu akan dibebankan kepada penabung. Akibatnya, jika penabung menempatkan uang di Bank, mereka harus membayar bunga kepada perbankan. Bisa dibayangkan, penabung akan terdorong untuk menarik uangnya dari perbankan dan memegang uang tunai. Ini bisa berakibat berkurangnya dana pihak ketiga di perbankan.

Suku bunga dan arus modal

Menarik melihat pengalaman negara Eropa yang menerapkan kebijakan ini. Di sana, perbankan ternyata tidak menarik bunga dari penabungnya karena khawatir nasabahnya akan lari. Perbankanlah yang menanggung beban nasabah. Langkah ini membuat keuntungan perbankan menjadi semakin kecil, dan mereka justru enggan untuk menyalurkan kredit.

Selain itu, kebijakan bunga negatif membawa implikasi yang besar, misalnya terhadap alokasi di pasar uang, asuransi, dan dana pensiun dan juga imbal (yield) obligasi. Dengan bunga negatif, imbal obligasi pun menjadi negatif. Bisa dibayangkan bahwa para investor di Jepang dan Eropa berduyun-duyun akan mengalihkan investasinya ke negara yang memberikan imbal hasil yang tinggi.

Dengan kondisi ekonomi AS yang masih rapuh, dan kemungkinan ditundanya kenaikan bunga The Fed, serta penerapan kebijakan bunga negatif di Jepang dan Eropa, maka mungkin arus modal akan mengalir ke emerging economies, termasuk Indonesia. Alasannya, imbal dari sektor keuangan Indonesia relatif tinggi saat ini. Selain itu, walau ekonomi Indonesia 2015 hanya tumbuh 4,8 persen, ini relatif lebih tinggi dibandingkan negara lain.

Oleh karena itu, saya tidak akan terlalu terkejut apabila rupiah akan terus menguat ke depan, begitu pula pasar modal dan obligasi di Indonesia. Artinya, Indonesia memiliki ruang untuk menjadi surga aman (safe heaven). Bukan karena kita sangat baik, tetapi situasi global jauh lebih buruk (one of the least unattractive countries in the world). Dorongan eksternal ini tiba-tiba akan membuat pemulihan ekonomi seperti terjadi tiba-tiba.

Meski demikian, kita harus tetap hati-hati, terutama terhadap perkembangan ekonomi Tiongkok. Bukan tak mungkin satu hari Tiongkok melakukan devaluasi renminbi yang akan mengguncangkan pasar. Lepas dari ancaman itu, jika situasi di Tiongkok lebih pasti, aliran modal akan datang ke sini, investasi dapat meningkat, pertumbuhan ekonomi bisa didorong. Ini kesempatan bagi Indonesia.

Namun, ada baiknya kita belajar dari berbagai pengalaman pada masa lalu dan juga pengalaman negara lain. Situasi ini akan mirip dengan situasi ketika AS memberlakukan kebijakan Quantitative Easing, yakni likuiditas membanjiri Indonesia. Investasi meningkat dan nilai tukar menguat. Sejarah bisa berulang. Jika arus modal mengalir deras, defisit anggaran terus ditingkatkan—apalagi jika ini terjadi akibat kurangnya penerimaan pajak—dan impor barang modal untuk infrastruktur meningkat drastis, maka defisit transaksi berjalan akan melonjak.

Di sisi lain, penguatan rupiah, dan terus melemahnya ekonomi Tiongkok, akan membuat ekspor kita terpukul. Maka, jangan terkejut jika dalam dua tahun defisit transaksi berjalan akan kembali meningkat. Dan jika hal itu terjadi, bersamaan dengan kenaikan bunga The Fed (satu hari The Fed harus menaikkan bunganya juga), arus modal akan berbalik ke AS. Perekonomian Indonesia akan kembali dalam tekanan. Kita harus mengantisipasinya.

Saya melihat ada ruang bagi Bank Indonesia untuk secara alami menurunkan bunga jika inflasi bisa dijaga cukup rendah. Bunga yang rendah ini sedikit banyak akan meredam arus modal jangka pendek. Namun, di sisi lain, mungkin defisit anggaran harus dijaga. Defisit anggaran yang terlalu besar akan meningkatkan defisit transaksi berjalan.

Memanfaatkan peluang

Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan? Jawabannya adalah mengalirkan arus modal ini ke dalam bentuk investasi langsung yang berorientasi ekspor. Di sini saya kira langkah pemerintah dengan merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) adalah langkah yang tepat. Begitu juga dengan deregulasi ekonomi. Dengan ini, ruang bagi pasar dibuka lebih luas sehingga kalaupun defisit transaksi berjalan pada akhirnya meningkat, modal tak mudah meninggalkan Indonesia lagi. Apalagi, jika modal itu masuk ke sektor ekspor, defisit transaksi berjalan dapat dijaga, begitu juga tekanan pada nilai tukar rupiah.

Namun, jika arus modal yang masuk terfokus kepada investasi portofolio atau pasar domestik, risiko pembalikan arus modal sangat besar. Modifikasi dari penerapan Tobin tax juga bisa dipikirkan, misalnya fee untuk transaksi modal jangka pendek dikenakan jauh lebih tinggi dibandingkan modal jangka panjang. Dengan ini, arus modal jangka pendek (hot money) dapat lebih diseleksi.

Sejarah sedang berulang. Kita harus memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya. Saya jadi teringat obrolan ringan di kedai kecil di Harvard Square dengan Carmen Reinhart beberapa bulan lalu. Ekonom dari Harvard Kennedy School itu mengingatkan: masalah utama dari pembuat kebijakan adalah mereka terlalu percaya kepada empat kata: kali ini situasi berbeda (this time is different).

Setiap kali utang meningkat dan arus modal masuk, pembuat kebijakan cenderung untuk mengatakan bahwa kali ini risiko krisis amat kecil. Alasannya: ekonomi baik dan situasinya berbeda. Reinhart mengingatkan, krisis keuangan kerap kali—walau tak selalu—bermula dari arus modal masuk yang masif, lalu penguatan nilai tukar, meningkatnya defisit transaksi berjalan dan akhirnya pembalikan arus modal.

Reinhart mungkin benar, situasi kali ini memang tak berbeda. Namun, dengan membuka ruang untuk arus modal langsung yang lebih luas ke sektor ekspor, Tobin tax, kesempatan bisa diraih, risiko pembalikan modal dapat diantisipasi. Ini perlu dilakukan sebelum angin kembali berubah arah. Bob Dylan mungkin benar, kita tidak membutuhkan peramal cuaca untuk menebak arah angin. Namun, itu bukan karena kita sudah tahu, tetapi karena angin begitu cepat berubah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar