Pembelajaran Politik dari Perubahan di Dunia Bisnis
Harris Turino ; Doctor in Strategic Management
|
KOMPAS, 18 Maret
2016
Fenomena unik
menghiasi dunia bisnis saat ini. Uber yang sama sekali tidak memiliki aset
berupa taksi adalah perusahaan taksi terbesar di dunia. Bahkan, nilai
perusahaan yang baru berdiri kurang dari delapan tahun ini sebesar 68,6
miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan nilai perusahaan dari raksasa
otomotif Amerika, yaitu Ford, General Motors, dan Chrysler.
AirBnB saat ini sudah
menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia walaupun tidak
memiliki aset berupa hotel dan properti. Alibaba yang didirikan oleh Jack Ma
pada tahun 1999 saat ini adalah toko ritel terbesar di dunia walaupun juga
tidak memiliki aset berupa toko. Kapitalisasi pasarnya sudah melebihi toko
buku online terbesar di dunia, Amazon, yang juga tidak punya aset fisik
berupa toko buku.
Di ranah nasional
fenomena serupa juga terjadi. Go-Jek sudah bukan lagi hanya perusahaan
"ojek" terbesar di Indonesia, melainkan sudah merambah ke jasa
logistik (GoBox), pengiriman
makanan (GoFood) bahkan sampai ke
jasa pijat (GoMassage). Padahal,
mereka juga tidak memiliki aset berupa kendaraan. Traveloka adalah perusahaan
penyedia layanan tiket pesawat dan hotel terbesar di Indonesia, mengalahkan
para pemain tradisional travel agent
seperti seperti Anta Group, Panorama, dan Bayu Buana. Bukalapak yang sama
sekali tidak punya lapak adalah pasar daring (online marketspace) terkemuka di Indonesia yang menyediakan
sarana penjualan dari konsumen ke konsumen.
Perubahan yang
dramatis ini tentu menggoyang kemapanan para pemain tradisional di industri
masing-masing. Sumber keunggulan bersaing (competitive advantage) tradisional kelihatan menjadi usang dengan
munculnya pemain-pemain baru yang berbasis tehnologi. Disruptive innovation ini mengubah tatanan bisnis (business landscape) dan bahkan
menjadikan bisnis semakin sulit dan rumit untuk diramalkan.
Yang bakal memenangkan
persaingan ke depannya adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan
"dunia baru" yang semakin abstrak. Dalam sejarahnya,
perusahaan-perusahaan raksasa tradisional memang cenderung kaku dan kurang
fleksibel dalam menghadapi perubahan. Nokia dan Kodak adalah contoh raksasa
yang tumbang oleh perubahan.
Apakah fenomena dalam
dunia bisnis ini akan menular ke dunia politik? Kalau dalam bisnis para
pelaku memperebutkan sumber keunggulan bersaing (competitive advantage), dalam politik yang diperebutkan adalah
sumber keunggulan politik (political
advantage). Secara tradisional, satu-satunya sumber keunggulan politik
adalah melalui partai politik.
Fenomena Teman Ahok
Fenomena Teman Ahok
bisa menjadi contoh yang menarik sebagai sumber keunggulan politik yang baru.
Di satu sisi pemilihan kata "Teman" menunjukkan egaliterisme dan
kesetaraan, bukan kata sukarelawan atau pendukung. Sampai saat ini, Teman
Ahok sudah mampu mengumpulkan lebih dari 700.000 KTP dukungan untuk Ahok
walaupun secara organisasi Teman Ahok jelas bukan partai politik yang
memiliki massa tradisional dan modal politik yang jelas. Dukungan inilah yang
membuat Ahok memilih untuk mengajukan diri sebagai calon Gubernur DKI pada
tahun 2017 melalui jalur perseorangan.
Yang menarik untuk
dicermati adalah reaksi dari partai politik yang tentu saja sangat
berkepentingan dengan pemilihan Gubernur DKI. Kesuksesan dalam pemilihan
Gubernur DKI tahun 2017 bisa menjadi barometer dan modal dasar menghadapi
pemilu nasional tahun 2019.
Sebagai partai kecil
yang hanya memiliki 4 kursi di DPRD DKI, Nasdem melakukan strategic response
yang sangat jitu, yaitu memutuskan untuk bergabung dan mendukung pencalonan
Ahok melalui jalur perseorangan. Nasdem bahkan mendirikan Muda Mudi Ahok
untuk mengamankan pengumpulan dukungan langsung dari masyarakat untuk
mencapai target 1 juta KTP. Dengan mendukung Ahok, secara otomatis citra
"bersih" dan "bekerja untuk rakyat" yang selama ini
melekat pada diri Ahok langsung dimiliki oleh Partai Nasdem.
Sebagai partai kecil,
Nasdem menyadari bahwa tidak memiliki peluang untuk mengusung calon sendiri.
Dari ranah manajemen stratejik, langkah Partai Nasdem ini sangat cerdik.
Ibaratnya dengan kekuatan kecil yang dimiliki, Partai Nasdem mampu
"mengeksploitasi peluang" yang tersedia. Menang atau kalah tidak
menjadi persoalan bagi Partai Nasdem, tetapi citra positif sudah dikantongi
di awal. Ini adalah modal dasar yang luar biasa dalam mengamankan posisi
partai di 2019.
Reaksi strategis yang
berbeda dijalankan oleh PDI Perjuangan. Dari sisi sumber daya, PDI Perjuangan
memang memiliki posisi yang lebih strategis dibandingkan dengan Partai
Nasdem. Dengan jumlah kursi 28 buah, PDI Perjuangan bisa mengusung calon
sendiri. Di dalam tubuh PDI Perjuangan sendiri ada mekanisme partai yang
mesti dijalani sebelum memutuskan untuk mendukung Ahok. PDI Perjuangan tentu
tidak bersedia "disetir" Ahok untuk hanya mendukung, tetapi mereka
lebih memilih untuk mengusung pasangan Ahok dan Djarot. Keterdesakan dan
ketidakpastian yang menjadi ciri khas perubahan kelihatannya menjadikan Ahok
lebih memilih jalur perseorangan dibandingkan menunggu untuk menjadi
"petugas partai" yang ditempatkan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang
juga belum pasti.
Di sisi lain, Partai
Gerindra juga menghadapi dilema yang cukup besar. Partai Gerindra sudah
merasa dikhianati dan ditinggalkan oleh Ahok. Tentu tidak elok kalau Partai
Gerindra kemudian memutuskan untuk mendukung Ahok. Sebaliknya secara
kalkulasi politik, peluang Ahok untuk memenangkan Pilkada DKI tahun 2017
sangat besar. Calon-calon yang selama ini digadang-gadang oleh Partai
Gerindra tidak ada yang mampu bersaing melawan Ahok dari sisi elektabilitas.
Kondisi yang serupa
dihadapi oleh partai-partai Islam, seperti PPP, PAN, dan PKS. Gembar-gembor
mereka bahwa sebaiknya DKI Jakarta sebagai barometer Indonesia dipimpin oleh
seorang muslim menyulitkan mereka untuk mendukung Ahok. Persoalannya adalah
mereka juga tidak memiliki calon yang mampu bersaing melawan Ahok.
Partai Golkar dan
Demokrat yang belum menunjukkan sikap yang jelas. Kelihatannya konflik
internal Partai Golkar masih lebih menyita perhatian dan energi mereka.
Sementara Demokrat memang terkenal lambat dalam mengambil keputusan.
Ibaratnya apa pun keputusannya, mereka sudah ketinggalan kereta.
Di sisi lain fenomena
sukarelawan dalam sejarah perkembangan politik Indonesia adalah fenomena yang
menarik. Sebelum era Joko Widodo, sukarelawan identik dengan mahasiswa.
Contoh tumbangnya Orde Lama dan Orde Baru juga dimotori oleh sukarelawan yang
notabene adalah gerakan mahasiswa. Relawan ini seolah-olah hanya muncul dalam
peristiwa-peristiwa besar sejarah republik ini.
Pasca reformasi
gerakan sukarelawan tidak hanya didominasi oleh mahasiswa, tetapi oleh kaum
muda yang secara karakteristik memang memiliki kecenderungan suka untuk
mendobrak kemapanan. Salah satu kiprah awal yang teramati tentang fenomena
sukarelawan pasca reformasi adalah terbentuknya satgas yang mendukung ketika
posisi politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terancam. Saat itu peranan
sukarelawan langsung kempis ketika Gus Dur benar-benar lengser.
Peranan sukarelawan
yang paling fenomenal adalah ketika pemilihan presiden tahun 2014. Walaupun
sangat berperan dalam memenangkan Jokowi melalui "Salam Dua Jari",
saat itu gerakan sukarelawan masih didominasi oleh gerakan moral. Yang
mengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai calon Presiden dan Wakil
Presiden tetap partai politik. Fenomena Teman Ahok adalah fenomena yang
berbeda. Dalam hal ini peran Teman Ahok bahkan seolah-olah
"bersaing" langsung dengan partai politik dalam mengusung calon Gubernur
DKI 2017.
Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah, apakah fenomena dalam bisnis yang menular ke
dunia politis itu sebuah bubble
atau memang dunia sudah berubah. Sejarah yang akan menjawabnya. Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 bisa dilihat sebagai ajang pembuktian
hipotesis atas meningkatnya peran sukarelawan dalam kancah perpolitikan
Indonesia. Jika ternyata sukses, ini bisa menjadi ancaman besar sekaligus
peluang bagi partai politik dan calon perseorangan. Pelajaran lanjutan dari
dunia bisnis yang perlu dicermati oleh Ahok ataupun partai-partai politik
dalam mengambil respons strategis menghadapi fenomena ini.
Dua pelajaran
Pelajaran pertama,
salah satu pemegang saham terbesar dari Alibaba adalah Yahoo. Sementara
pemegang saham Uber di antaranya Baidu dari Tiongkok dan Google Venture. Investasi para raksasa inilah yang mendukung
pertumbuhan perusahaan yang memang haus modal. Dalam ranah politik kita bisa
mengambil pelajaran bahwa Ahok perlu tetap menjalin komunikasi yang erat dan
harmonis dengan partai politik. Ini bukan hanya semata untuk mengamankan
posisinya dalam pemilu, melainkan untuk memperlancar kerja sama dengan
parlemen ketika terpilih nantinya. Pemerintahan daerah tidak mungkin bekerja
sendiri tanpa dukungan dari parlemen.
Pelajaran kedua adalah
perusahaan seperti Google dan Microsoft tidak hanyut dan tenggelam dengan
muncul pemain-pemain baru yang fenomenal. Mereka bahkan aktif mendanai dan
mengakuisisi para inovator yang diyakini memiliki prospek bisnis yang luar
biasa. Bisa dibayangkan bahwa mereka akan cepat menjadi usang apabila mereka
tidak peduli dengan kemunculan para pendobrak kemapanan ini. Fenomena ini
perlu dicermati oleh PDI Perjuangan sebagai "raksasa" di Jakarta.
Pilihan strategis bagi PDI Perjuangan adalah mendukung Ahok apabila mereka
memang tidak memiliki calon lain yang sepadan untuk disaingkan dan memiliki
peluang untuk menang. Memang PDI Perjuangan memiliki pengalaman yang mirip
ketika menghadapi pilkada DKI tahun 2012. Tawaran kursi wakil Gubernur DKI
sudah ditangan apabila PDI Perjuangan bersedia mendukung Fauzi Bowo (Foke)
sebagai Gubernur.
Saat itu tingkat
elektabilitas Foke mencapai 45 persen dan jauh di atas tingkat elektabilitas
awal Jokowi ketika baru pertama kali memutuskan untuk maju sebagai calon
gubernur, yaitu hanya 7 persen. Sejarah membuktikan bahwa "langkah
kuda" PDI Perjuangan dengan menggandeng Gerindra dalam mengusung
pasangan Jokowi-Ahok mampu mengalahkan Foke yang didukung oleh semua partai
lainnya. Bahkan, hanya dalam dua tahun kemudian, Jokowi berhasil memenangkan
pemilihan presiden pada tahun 2014. Tetapi perlu dicatat bahwa peta
persaingan sudah berubah drastis. Pilihan strategis yang sama belum tentu
membawa hasil yang serupa.
Memang tahun ini
adalah tahun monyet yang melambangkan kegesitan. Yang akan menikmati
kemenangan adalah yang gesit dan cerdas. Tetapi perlu diingat bahwa pilkada
akan berlangsung di tahun 2017 ketika tahun monyet sudah berganti menjadi
tahun ayam. Pembelajaran dari dunia bisnis perlu dicermati para aktor
politik. Jangan sampai warga Jakarta kehilangan pemimpin yang hebat hanya
gara-gara egoisme dan salah dalam mengambil langkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar