Sabtu, 05 Maret 2016

Mondialisasi Islam Moderat

Mondialisasi Islam Moderat

Zuhairi Misrawi ;  Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Ketua Moderate Muslim Society
                                                       KOMPAS, 04 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Imam Besar Al-Azhar, Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Thayyeb, bersama para ulama dari berbagai dunia Islam, melakukan kunjungan ke Tanah Air membawa pesan pentingnya Islam Moderat digemakan secara mondial.

Ia memandang Indonesia sebagai negara yang punya latar sejarah dan masyarakat yang berpegang teguh pada moderasi Islam. Dalam beberapa tahun terakhir, di tengah ancaman ekstremisme global, dunia internasional mulai melirik Indonesia sebagai tanah harapan tumbuhnya paham keislaman yang moderat. Menurut Thayyeb, ”Umat Islam di Indonesia mampu menggali khazanah Islam yang hanif, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang bersifat legalitas-formal dan etika sosial. Islam menjadi sumber keadilan, egalitarianisme, dan inklusivisme.”

Ahmad Muslimani (2015), pemikir asal Mesir, dalam Jihad dhidd al-Jihad memuji Indonesia sebagai contoh terbaik persemaian moderasi Islam di dunia. Di samping mempunyai para pemikir Muslim yang brilian, negeri ini beruntung mempunyai Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang selama ini menjadi lokomotif Islam Moderat.

Muslimani menambahkan, pemikiran Muhammad Abduh tumbuh subur di Tanah Air, di samping pemikiran-pemikiran progresif lain. Pengaruh pemikiran progresif Mesir dalam lanskap keberislaman di Tanah Air bukanlah mengada-ada. Ada ribuan alumnus Universitas Al-Azhar yang saat ini berkiprah di Tanah Air. KH Abdurrahman Wahid, KH Mustafa Bisri, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Tuan Guru Zainul Majdi, Abdul Ghoful Maemun, dan lain-lain. Mereka menjadi duta-duta moderasi Islam yang sudah berabad-abad dikembangkan oleh Al-Azhar di Mesir.

Tidak bisa dimungkiri ada benang merah antara moderasi Islam ala Al-Azhar, Mesir, dan langgam moderasi Islam yang berkembang di Tanah Air, baik melalui NU-Muhammadiyah maupun pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para ulama dan kaum cendekiawan.

Namun, Islam Moderat dalam beberapa dekade mutakhir sedang menghadapi tantangan cukup serius. Pertama, tantangan eksternal. Masalah Palestina masih menjadi batu sandungan yang cukup serius dalam membangun moderasi Islam. Hampir semua gerakan ekstremis menjadikan Palestina isu utama untuk membangkitkan ideologi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Di samping itu, peta geopolitik di Timur Tengah yang menyebabkan negara-negara adidaya kerap berkoalisi dengan rezim-rezim yang melindungi kelompok ekstremis juga menjadi tantangan serius. Akibatnya, kelompok ekstremis mampu memperluas cengkeraman kekuasaannya, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).

Kedua, tantangan internal. Absennya nilai-nilai demokrasi dan rapuhnya HAM telah menyebabkan instabilitas politik di dunia Islam. Agama kerap dihadirkan dalam wajahnya yang seram dan menakutkan. Jangankan relasi dengan agama lain, relasi di antara sesama agama saja penuh kebencian, bahkan menghalalkan kekerasan dan pembunuhan. Imam Besar Syekh Thayyeb menggarisbawahi fenomena takfir, yaitu sikap saling mengafirkan antarkelompok. Yang paling mencuat ke permukaan di Timur Tengah saat ini adalah saling mengafirkan antara Sunni dan Syiah. Menurut Thayyeb, fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena sama sekali tidak menguntungkan umat Islam.

Sunni dan Syiah merupakan dua sayap dalam Islam. Tak boleh salah satu di antara mereka saling menegasikan satu dengan yang lain. Keduanya harus bersatu-padu untuk menggaungkan misi perdamaian dan keramahtamahan dalam Islam. Sangat disayangkan, ketika di dalam masjid, ayat Al Quran yang dikutip perihal pentingnya memperkuat persaudaraan dan toleransi. Namun, ketika keluar dari masjid, justru yang disebarluaskan seruan pada kebencian dan kekerasan. Realitas ini sangat memilukan.

Indonesia perlu proaktif

Karena itu, Al-Azhar sebagai benteng Islam Moderat bersama para ulama dari dunia Islam, khususnya dari Indonesia yang diwakili Quraish Shihab melalui Dewan Muslim Bijak (Majlis Hukama al-Muslimin) memandang perlu untuk menggemakan kembali Islam Moderat. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan sejarah sudah membuktikan bahwa ekspresi keberagamaannya sangat toleran dan ramah. Indonesia diharapkan dapat lebih proaktif dalam menyuarakan Islam rahmatan lil ’alamin ke seantero dunia.

Menurut Syekh Thayyeb, ada dua hal penting yang harus dikumandangkan terkait doktrin Islam rahmatan lil ’alamin. Pertama, umat Islam harus memahami dengan saksama bahwa kasih sayang (rahmah) tujuan utama dari Islam. Dalam Al Quran terdapat setidaknya 315 kata yang menegaskan pentingnya kasih sayang. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW disebut sebagai ”Nabi Kasih Sayang”.

Kedua, umat Islam harus memahami bahwa kasih sayang diamalkan bukan hanya untuk sesama umat Islam, melainkan semua penghuni alam semesta. Bahkan, tak hanya kepada sesama manusia apa pun agama dan keyakinannya, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda mati. Paradigma Islam Moderat dibangun di atas prinsip kasih sayang. Paradigma itu harus mengakar kuat dalam tubuh umat Islam dalam rangka menggeser paradigma kekerasan dan kebencian yang mulai subur dikampanyekan kaum ekstremis. Salah satu cara paling efektif adalah menjadikan lembaga pendidikan dan forum keagamaan sebagai kanal untuk menyebarluaskan paham Islam Moderat.

Maka dari itu, langkah yang diinisiasi Al-Azhar sangat tepat. Al-Azhar mesti menggandeng dunia Islam yang seluas-luasnya untuk melakukan mondialisasi Islam Moderat. Gerakan untuk menyebarluaskan paham kasih sayang harus melibatkan para ulama dan organisasi sosial-kemasyarakatan yang terbukti mempunyai basis massa yang mengakar kuat.

Hal ini harus dilakukan sesegera dan semasif mungkin untuk membendung arus mondialisasi radikalisme dan ekstremisme yang kerap menggunakan jubah agama. Mesti disadari dan diwaspadai bahwa kelompok-kelompok ekstremis sangat aktif merekrut anak-anak muda dan mereka yang punya pemahaman awam tentang Islam. Salah satu langkah yang harus dilakukan para ulama adalah menyebarluaskan paham Islam Moderat melalui media sosial. Kaum ekstremis selama ini telah berhasil menggunakan media sosial sebagai ajang menawarkan gagasan mereka sekaligus mendelegitimasi para ulama yang punya pandangan moderat.

NU dan Muhammadiyah sejatinya dapat berperan lebih aktif lagi untuk mendukung langkah yang diambil Al-Azhar agar Islam Moderat dijadikan sebagai paham yang mendunia. Saatnya kedua ormas yang sudah terbukti memperkuat sendi-sendi kebangsaan dan kemanusiaan di negeri ini dapat menginspirasi dunia agar ekspresi keagamaan dapat mendorong hidup saling menghormati dan menghormati serta dapat menerima perbedaan dan keragaman.

Saat ini, kita hidup dalam pertarungan untuk menjadikan agama sebagai sumber kasih sayang atau justru sebaliknya menjadikan agama sumber kekerasan. Pertarungan ini perlu pemikiran dan kerja nyata. Kita sebagai sebuah negara-bangsa relatif berhasil menebarkan paham Islam Moderat. Namun, butuh kerja keras lagi untuk membendung arus ekstremisme yang mengatasnamakan agama sembari melakukan mondialisasi paham Islam Moderat ke seantero dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar