Kurikulum Serbaanti, untuk Guru atau Siswa?
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
14 Maret 2016
DI negeri ini, semua masalah selalu ber asal
dari anggapan yang salah. Kesalahan terbesar selalu ditimpakan kepada aspek
pendidikan. Karena diyakini merupakan akar dan sumber semua persoalan yang
mengemuka di tengah masyarakat, pendidikan harus cepat memberikan respons dan
solusi agar masalah itu tidak menjadi akut dan membesar serta berpengaruh
buruk terhadap seluruh sektor kehidupan manusia lainnya. Itulah sebabnya
banyak orang beranggapan kurikulum merupakan jawaban jitu terhadap seluruh
persoalan masyarakat.
Ketika potensi radikalisme yang berujung
terorisme menguat di kalangan anak muda, responsnya ialah bagaimana membuat
kurikulum antiteroris bagi sekolah-sekolah. Begitu juga ketika kekerasan
marak terjadi, baik di sekolah maupun di tengah masyarakat, usulan pun
menguat untuk membuat kurikulum antikekerasan, termasuk kekerasan di dalam
rumah tangga. Setelah ini, kita pasti juga akan mendengar usulan kurikulum
serbaanti lainnya, seperti kurikulum antinarkoba, antiseks bebas, dan
anti-LGBT.
Pengelola kurikulum
Joan Payne, dalam Choice at the end of compulsory schooling: A research review
(2013), menemukan lumayan banyak kasus tentang kebosanan yang menghinggapi
para siswa dalam belajar. Kebosanan para siswa itu kemudian berujung pada
perilaku negatif siswa yang gemar dengan perilaku kekerasan, radikal, dan
tercandu narkoba sehingga mereka keluar dari sekolah. Jumlah mereka cukup
besar, sekitar 18% siswa di AS keluar karena terkena kasus-kasus itu. Namun,
yang menarik ialah fakta bahwa penyebab mereka keluar dari sekolah ternyata
mayoritas disebabkan ketidaksukaan terhadap kurikulum yang ada di sekolah
serta kurang baiknya hubungan dengan para guru.
Jika kita kembalikan makna kurikulum secara
bahasa sebagai landasan pacu untuk sebuah proses belajar mengajar yang baik,
jelas sekali posisi guru dan siswa harus memiliki hubungan emosional yang juga
baik setiap saat.
Dialektika hubungan emosional inilah
sesungguhnya pengertian kurikulum bermula, suatu ikatan batin antara siswa
dan guru. Karena itu, ketika gagasan perubahan kurikulum muncul beberapa
waktu lalu, saya ialah orang menyetujui rencana perubahan itu karena berharap
implementasi kurikulum di tingkat sekolah akan terjadi secara menyeluruh.
Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya tentang standar implementasi
kurikulum, saat itu saya mengingatkan Pak Nuh agar perubahan kurikulum harus dilakukan
minimal pada tiga level, yaitu guru, kelompok, dan sekolah.
Sebab, selama ini perubahan kurikulum hanya
tertuju pada aspek dokumen dan guru semata, tetapi lupa melihat
kelompok-kelompok kritis dan peduli pendidikan dan melihat sekolah sebagai
sebuah lembaga otonom.
Melupakan sekolah sebagai lembaga otonom yang
harus diberi kepercayaan mengelola program pengembangan kurikulum sering kali
terjadi.Ketika kurikulum berubah sebagai sebuah entitas, sekolah hanya
dipandang sebagai tempat para guru mengajar, tetapi peran dan fungsinya
kurang dilihat sebagai lembaga yang merepresentasikan masyarakat secara utuh.
Kekhawatiran saya tentang minimnya peran
sekolah dalam proses pengembangan kurikulum terlihat dari kebijakan pelatihan
yang dibuat melulu untuk guru. Dengan kata lain, guru hanya dilihat secara
individual dan bukan bagian dari critical
mass yang sangat memiliki peran penting. Selain guru, sebenarnya masih
ada orangtua, kepala sekolah, pengawas, LSM, dan dinas pendidikan yang
seharusnya secara terpadu memperoleh pelatihan tentang K-13.
Sebab, perubahan kurikulum secara
terang-benderang memiliki implikasi teknis dan praktis bukan hanya terhadap
cara dan gaya mengajar guru, melainkan juga terhadap perilaku manajemen
sekolah, birokrasi pendidikan, dan cara pandang orangtua.
Selama pemerintah tidak membuat skema
pelatihan berbasis sekolah, sekali lagi berbasis sekolah dan bukan mencabut
guru, kepala sekolah, dan pengawas satu per satu serta dikumpulkan secara
homogen dengan guru, kepala sekolah, dan pengawas dari sekolah lain,
implementasi kurikulum baru jelas akan mengalami kegagalan.
Secara historis seperti terlihat dalam sejarah
pendi dikan di Indonesia dalam 30 tahun terakhir, perubahan kurikulum di
Indonesia selalu bersifat top down
approach dengan mengambil perubahan pada aspek kurikulum dengan
menggunakan simplistic curriculum
change approach, atau fokus perubahan yang menitikberatkan pada aspek
kapasitas guru dengan model pendekatan teacher
competence development approach. Sayangnya, agenda memasukkan perbaikan
manajemen sekolah secara serius, belum dimasukkan ke skema perubahan
kurikulum.
Kurang nyaman
Harus diakui sekolah belum menjadi tempat yang
nyaman bagi sebagian anak-anak, guru, orangtua, atau bahkan secara umum
sebagian kecil orangtua. Secara ekstrem masyarakat yang kontra dengan
keberadaan sekolah kemudian beramai-ramai membuat home schooling sebagai penanda ketidakpuasan terhadap apa saja
yang berlaku di sekolah.
Maraknya kasus kekerasan, radikalisme, dan
penyalahgunaan narkoba di tingkat sekolah tentu saja harus disikapi dengan
bijak, baik oleh otoritas pendidikan maupun masyarakat luas. Kesadaran peran
sentral sekolah untuk menumbuhkan jenis masyarakat baru yang lebih baik
memang terus-menerus memperoleh tantangan seiring dengan berkembangnya
tatanan dunia baru yang secara sosial, politik, bahkan tradisi dan budaya
berubah dengan cepat.
Apa yang dahulu dianggap baik dan sakral bagi
masyarakat, misalnya, jadwal tetap siswa untuk berkunjung ke rumah guru baik
di saat santai maupun karena ada momen tertentu, sekarang menjadi kurang
penting karena hubungan jarak jauh melalui media sosial dianggap lebih
efektif. Tak terlihat jenis hubungan emosional guru-siswa-orangtua karena
proses komunikasi secara langsung seperti hilang dari kesadaran mereka.
Akhirnya, sekolah menjadi tempat pertarungan
kebutuhan `jarak jauh' antara orangtua dan guru serta pengambil kebijakan
sehingga sekolah menjadi kurang nyaman bagi anak, guru, dan orangtua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar