Indonesia sebagai Model Relasi Islam dan Kebangsaan
Muhammad Farid ; Fellow
pada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI; Alumnus Lee Kuan Yew School
of Public Policy National University of Singapore
|
MEDIA INDONESIA,
17 Maret 2016
PADA 6-7 Maret 2016,
Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang membahas isu sentral masalah
Palestina, terutama akses warga muslim di wilayah Al-Quds ke Masjid Al-Aqsa.
Sedianya KTT itu akan diselenggarakan di Maroko, tetapi urung karena negara
yang bersangkutan menyatakan ketidaksiapannya sehingga posisi itu kemudian
digantikan Indonesia.
KTT itu mengeluarkan
23 butir deklarasi, di antaranya 'Memperpanjang dukungan penuh politik,
diplomatik, dan upaya legal melindungi hak-hak dasar rakyat Palestina', serta
'Melindungi kesucian dan status Al-Quds Al-Sharif dengan mengambil aksi yang
memungkinkan untuk mengakhiri pendudukan Israel'.
Terlepas dari
dikeluarkannya deklarasi tersebut, penyelenggaraan KTT OKI di Jakarta
baru-baru ini memiliki arti yang lebih luas pada posisi Indonesia dalam
konstelasi dunia Islam. Posisi Indonesia sebagai tuan rumah KTT Luar Biasa
OKI dapat dikatakan sebagai langkah progresif diplomasi Indonesia di dunia
Islam, setelah sebelumnya Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi
mengunjungi Iran dan Arab Saudi pada Januari 2016 lalu, untuk menyampaikan
surat dari Presiden Joko Widodo kepada kedua kepala negara. Isinya tentang
kesediaan Indonesia memediasi konflik yang terjadi di antara kedua negara.
Konflik Iran dan Arab
Saudi di awal 2016 dimulai dengan eksekusi mati yang dilakukan Arab Saudi
terhadap 47 orang yang divonis melakukan kejahatan terorisme, termasuk
seorang ulama Syiah di Arab Saudi Sheikh Nimr al-Nimr. Eksekusi itu memancing
reaksi keras Iran, negara dengan mayoritas penduduk beraliran Syiah. Kedutaan
Besar Arab Saudi di Teheran, Iran, dibakar sekelompok orang dan berlanjut
dengan putusnya hubungan diplomatik Arab Saudi dan Iran.
Diplomasi yang dilakukan
Indonesia dalam dua kasus tersebut merupakan langkah strategis Indonesia
sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia untuk menawarkan
suatu model bagi relasi Islam dan kebangsaan. Pada tataran itu, keberhasilan
Indonesia dalam menyelaraskan Islam dan konsep kebangsaan sangat tepat,
sebagai model bagi dunia Islam untuk menyelesaikan konflik yang dibumbui isu
sektarian. Isu sektarian itulah yang dewasa ini membumbui berbagai konflik di
dunia Islam, termasuk rivalitas politik Arab Saudi-Iran di Timur Tengah, di
saat masing-masing acap dipersepsikan mewakili kekuatan Sunni (Arab Saudi)
dan Syiah (Iran).
Dalam konflik di
Suriah, misalnya, Iran mendukung rezim Bashar al-Assad, sedangkan Arab Saudi
mendukung kelompok anti-Bashar. Konfigurasi itu menyebabkan timbulnya
persepsi bahwa konflik di Suriah ialah konflik Sunni-Syiah. Isu sektarian itu
pula yang membumbui konflik politik di Irak dan Yaman. Pada tataran tertentu,
perkembangan yang terjadi di Timur Tengah menunjukkan isu sektarian ialah isu
yang sangat rentan membumbui konflik politik sehingga dalam hal ini, faktor
agama sepertinya belum menjadi perekat persatuan sebuah bangsa.
Timur Tengah tidak
disangkal merupakan tanah kelahiran dan tempat berkembangnya ajaran Islam;
bahkan hingga kini negara-negara di Timur Tengah merupakan pusat bagi
pembelajaran ilmu agama Islam dari seluruh penjuru dunia. Akan tetapi,
konflik yang berlarut-larut di kawasan itu menggugurkan asumsi bahwa Timur
Tengah dapat menjadi rujukan model relasi Islam dan kebangsaan. Apalagi, baik
Arab Saudi maupun Iran sangat kuat dengan label Sunni atau Syiah sehingga
keduanya tidak dapat menjadi rujukan di negara-negara dengan penduduk
mayoritas berpandangan Sunni atau Syiah, apalagi di negara-negara yang
majemuk.
Di luar kawasan Timur
Tengah, Turki hadir sebagai kekuatan baru di antara negara-negara mayoritas
muslim. Dengan latar belakang sejarah kekhalifahan Ottoman yang berkuasa
ratusan tahun di Asia dan Eropa, berbagai kalangan mulai melirik Turki
sebagai model bagi dunia Islam.
Apalagi, Presiden
Turki Recep Tayyip Erdogan berasal dari partai politik berhaluan Islam AKP.
Namun, Turki hingga kini masih menegaskan dirinya sebagai negara sekuler
sehingga belum bisa seutuhnya menggambarkan keselarasan agama dalam
kebangsaan.
Dalam tataran inilah
Indonesia dapat hadir sebagai model relasi antara Islam dan kebangsaan. Walau
berpenduduk mayoritas muslim dan memiliki jumlah umat Islam terbesar di
dunia, Indonesia sukses mendudukkan dirinya bukan sebagai negara agama,
sekaligus bukan negara sekuler.
Prinsip tauhid dan
nilai-nilai keislaman justru masuk sebagai napas dalam ideologi negara
Pancasila yang tecermin dalam sila pertama 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Dalam
Pancasila inilah prinsip ketuhanan membentuk ideologi negara bersama nilai-nilai
humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial yang masing-masing
dijabarkan dalam sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Pengakuan bangsa
Indonesia terhadap prinsip-prinsip ketuhanan bahkan termaktub dalam
konstitusi atau UUD Negara RI (UUD NRI) 1945. Pembukaan konstitusi Indonesia
secara jelas menyebutkan kemerdekaan Indonesia ialah 'berkat rakhmat Allah
Yang Maha Kuasa'. Lebih jauh, Pasal 29 konstitusi menyebutkan 'Negara
berdasar atas Ketuhanan YME (ayat 1)' dan 'Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2)'.
Dimasukkannya prinsip
ketuhanan ke dasar negara dan konstitusi dengan jelas menunjukkan Indonesia
bukan negara sekuler. Dr Adian Husaini dalam artikelnya, Pancasila, Tauhid,
dan Syariat di harian Republika (19 Juni 2014), menjabarkan betapa 'Ketuhanan
YME' merujuk kepada konsep ketuhanan dalam Islam. Rumusan tersebut berasal
dari para tokoh NU dan Muhammadiyah, antara lain KH Wahid Hasyim (NU) serta
Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah). Rumusan itu
muncul saat penetapan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 yang menggantikan tujuh
kata 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Ketujuh
kata itu dirumuskan saat sidang resmi kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 22 Juni 1945.
Artikel ini juga
menjabarkan pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia Buya HAMKA saat berceramah
pada 25 Agustus 1976 bahwa Ketuhanan YME di Pasal 29 UUD 1945 bukanlah Tuhan
yang lain, melainkan Allah.
Dengan keselarasan
prinsip keislaman dan kebangsaan inilah kiranya Indonesia dapat menjadi model
bagi dunia Islam yang secara umum merujuk kepada masyarakat penganut Islam
atau negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Presiden SBY pernah
berusaha mempromosikan koeksistensi Islam, demokrasi, dan modernitas sebagai
kekuatan lunak untuk menarik pihak lain mengikuti keinginan Indonesia tanpa
paksaan. Dalam konteks yang terjadi di dunia Islam, khususnya Timur Tengah
dewasa ini, sudah selayaknya Indonesia tampil sebagai model dalam tataran
relasi Islam dan kebangsaan.
Dalam hal perkembangn
ilmu agama Islam, Indonesia memang belum dapat dijadikan rujukan bagi dunia
Islam. Akan tetapi, dalam hal menyelaraskan nilai keislaman dengan humanisme,
nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial seperti yang terangkum dalam
Pancasila, Indonesia sangat layak menjadi sebuah model. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar