Gerakan Anti Korupsi dan HAM
Dinna Wisnu ; Co-founder & Director Paramadina
Graduate School of Diplomacy;
Wakil Indonesia untuk ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR)
|
KORAN SINDO, 16 Maret
2016
Pada 17 tahun lalu,
ketika gerakan Reformasi bergulir cepat, fakta yang mengusik perasaan banyak
orang dan memperbesar tekanan untuk terjadinya pergantian model pemerintahan,
adalah terkuaknya kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
menggurita oleh pimpinan negara.
Kenyataannya, mencabut
akar kebiasaan KKN tidaklah mudah. Lengsernya Rezim Soeharto tidak serta
menghapus praktik tercela tersebut. Beda era, beda pula pola korupsinya.
Serupa dengan bentuk kegiatan kriminal lainnya, korupsi memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan, mencari kelemahan dan titik lengah orang atau
sistem. Namun, korupsi terbilang sebagai bentuk kejahatan tingkat tinggi.
Alasannya, korupsi
menyalahgunakan kepercayaan publik dan jabatan untuk kepentingan pribadi/kelompok.
Pihak yang dirugikan belum tentu tahu karena penyalahgunaan tersebut biasanya
dilakukan secara lihai, memanfaatkan jalur informasi yang terbatas pada
publik atau ketiadaan sistem pertanggungjawaban yang jelas atau rutin. Untuk
itu, sejumlah negara menjatuhkan hukuman sangat berat untuk kejahatan
korupsi.
Perdebatan yang
berkembang saat ini adalah apakah hukuman memiskinkan koruptor bertentangan
dengan keadilan menurut hak asasi manusia (HAM)? Apakah hukuman untuk
memiskinkan itu tidak melanggar hak asasi anggota keluarga lain yang tidak
terkait langsung dengan tindakan pelaku korupsi dalam keluarga tersebut?
Apakah hukuman tersebut proporsional atau berlebihan?
Ada perbedaan pendapat
bahwa hukuman yang maksimal terhadap koruptor, seperti hukuman pemiskinan,
dianggap melanggar HAM seseorang dan keluarganya. Namun, yangpatut disadari
juga adalah bahwa hukuman maksimal tersebut tetap tidak akan maksimal efek
jeranya jika tidak paralel penanganannya dengan penguatan sistem demokrasi
kita, baik di tingkat pembuatan undang-undang (legislatif) maupun peradilan
(yudikatif).
Dalam kasus-kasus
korupsi yang terungkap dan terbukti di pengadilan, hukuman kepada pelaku
terbilang relatif ringan, bahkan ada yang dibebaskan. Indonesia Corruption Watch (ICW) merekam bahwa pada 2015, ada 68
terdakwa koruptor yang divonis bebas dari total 564 terdakwa korupsi
sepanjang tahuntersebut.
Dari segi geografis,
provinsi yang menghadiahkan vonis bebas terbanyak adalah Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Banda Aceh, yakni 10 vonis. ICW juga menyampaikan hasil kajian
terhadap proses pengadilan di semester I tahun 2014. Dalam kurun waktu itu,
dari 210 perkara korupsi dan 261 terdakwa yang telah merugikan keuangan
negara sebesar Rp2,863 triliun, rata-rata hukuman kepada koruptor hanya 2
tahun 9 bulan penjara.
Data-data macam ini
mendorong lahirnya tuntutan dari masyarakat untuk memberikan hukuman yang
maksimum kepada terdakwa koruptor. Meski demikian, tuntutan tersebut juga
mendapat tandingan dari pihak-pihak lain. Misalnya muncul wacana bahwa upaya
memiskinkan koruptor jangan sampai malah membebani negara, karena akhirnya harus
menanggung kebutuhan dasar koruptor yang menjadi miskin tersebut.
Ketika muncul wacana
agar koruptor dihalangi menjadi pejabat publik, justru ide tersebut dimentahkan
karena dianggap melanggar HAM dalam politik, karena sesungguhnya ia sudah
membayar hukumannya. Belakangan juga muncul rangkaian tindakan yang secara
tidak langsung mempertanyakan keampuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
menyusul upaya merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fenomena yang di satu
sisi masyarakat menuntut keadilan secara maksimal, yang justru harus
berhadapan dengan mereka yang mencoba melakukan kompromi, adalah fenomena
yang juga terjadi dalam dialogdialog HAM lain seperti pelanggaran berat HAM,
penghilangan paksa, penyiksaan, dan sebagainya. Di satu sisi masyarakat sipil
menghendaki penegakan hukum yang absolut, di sisi lain negara melakukan
kompromi dengan segala kelompok kepentingan yang ada.
Gerakan Antikorupsi
dan Penegakan HAM Saling Melengkapi
Dari konteks tersebut
maka penting untuk memahami bagaimana hubungan antara gerakan antikorupsi
dengan penegakan HAM sebenarnya saling melengkapi. Korupsi adalah pelanggaran
HAM dan pelanggar HAM tidak mustahil juga menghalalkan korupsi. Itu sebabnya
gerakan antikorupsi patut peka akan perlunya mengaitkan perjuangan
antikorupsi dengan para korban, baik korban langsung maupun tidak langsung
yang hak-haknya dilanggar atau bahkan dirampas oleh tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi
bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang atau negara nondemokratis.
Tindak pidana korupsi muncul seiring dengan ambisi mengambil keuntungan besar
dari aliran dana besar yang masuk melalui sistem yang tertutup, tidak
diketahui tahaptahapannya secara terbuka, tidak jelas mekanisme pengambilan
keputusannya, dan tidak dimonitor dengan baik.
Contohnya adalah untuk
suap menjamin menang tender, pemalsuan laporan, pencucian uang, penggelapan
dana. Pelakunya bisa individu, bisa kelompok, bisa pejabat publik, staf, atau
pebisnis dari sektor swasta. Kesempatan untuk tindak pidana korupsi bisa
terjadi di segala lini dan tingkatan. Bahkan dalam sistem yang sudah punya
jalur penegakan hukum yang jelas pun, pasti ada kelemahan sistem yang bisa
dimanfaatkan koruptor.
Di sinilah pentingnya
menyadari bahwa ketika berhadapan dengan isu korupsi, pihak yang perlu
dilibatkan bukan hanya para koruptor, para pemberi peluang korupsi, para
penyuap, para penegak hukum, dan negara, masyarakat yang dirugikan sistem
bobrok dan memanipulasi rakyat dan para penggiat HAM, juga perlu dilibatkan.
Perspektif kebutuhan
korban harus diperkuat. Inilah sisi HAM yang perlu terus dibangun sebagai
pelengkap kegiatan antikorupsi. Ingatlah bahwa Indonesia tidak sendirian. Ada
baiknya kita mengaitkan perjuangan di Indonesia dengan bantuan yang tersedia
di tingkat internasional, yakni merujuk pada Konvensi PBB 2003 tentang
Antikorupsi yang dikenal sebagai UNCAC (United
Nations Convention Against Corruption).
Ada pula mekanisme
kerja sama lintas negara yang di kelompok negara dan kawasan lain sudah
terbangun dengan relatif baik. Misalnya di Uni Eropa, ada konvensi melawan
korupsi yang melibatkan pejabat Uni Eropa dan pejabat negara anggota Uni
Eropa, dan di OECD (lembaga kerja sama negara-negara maju) sejak 1997 sudah
diadopsi Konvensi Pemberantasan Suap bagi Pejabat Publik dalam Transaksi
Bisnis Internasional.
Konvensikonvensi
tersebut diadopsi oleh negara-negara anggota sebagai penjamin bahwa segala
transaksi bisnis dan kerja sama lintas negara di Uni Eropa dan di OECD akan
bebas dari tindak pidana korupsi. UNCAC memberikan panduan yang cukup detail
tentang bentuk regulasi yang dibutuhkan negara untuk mencegah dan mengontrol
korupsi.
Di tingkat preventif,
misalnya, disebutkan perlunya penegakan hukum efektif dan melibatkan
koordinasi kebijaksanaan yang baik serta melibatkan masyarakat sipil. Perlu
juga evaluasi instrumen sistem hukum dan administrasi secara berkala, dan
kerja sama regional ataupun internasional untuk mendukung upaya penghapusan
korupsi yang terjadi lintas batas.
Korupsi oleh pejabat
publik maupun sektor swasta dielaborasi bentuk-bentuk penanganannya dalam
UNCAC. Perlindungan bagi pelapor juga dijabarkan di sana. Penjabaran UNCAC
tersebut cukup memadai dan lengkap. Bahkan terkait kepatutan hukum dan
penegakan HAM, konvensi tersebut menjamin bahwa asas praduga tak bersalah,
data keuangan, data pribadi dari mereka yang tertuduh ataupun para saksi
terlindungi sesuai etika hukum dan korporasi yang berlaku.
Justru jika dibaca
baikbaik, pemenuhan hak dari mereka yang terlibat korupsi tidaklah
bertentangan dengan upaya serius memperkuat penanganan korupsi. Sementara itu
di tingkat regional, misalnya di ASEAN, perlu dibangun kesadaran membentuk gerakan
bersama antikorupsi.
Syukur-syukur gerakan
tersebut melahirkan penanganan bersama tindak pidana korupsi lintas batas.
Manfaat-kanlah mandat yang dimiliki oleh badan dan lembaga regional, termasuk
AICHR (Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia) dalam mencapai
cita-cita antikorupsi yang sejalan dengan prinsip perlindungan HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar