Selasa, 01 Maret 2016

Cerdas Mengelola Sumber Inflasi

Cerdas Mengelola Sumber Inflasi

Enny Sri Hartati ;   Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                     KOMPAS, 29 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Inflasi yang tinggi sering kali dianggap momok perekonomian karena menggerus daya beli dan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat. Akibatnya, berpotensi mengganggu target pertumbuhan ekonomi.
Namun, di tengah pelambatan perekonomian global, beberapa negara justru menginginkan terjadi inflasi. Uni Eropa dan Jepang, misalnya, sengaja menetapkan suku bunga minus karena berharap masyarakat lebih senang berkonsumsi daripada menyimpan uang di bank. Kebijakan moneter ini sengaja didesain untuk mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Dengan kata lain, inflasi justru diharapkan mendorong kinerja sektor riil.

Artinya, tidak selamanya inflasi harus dihindari. Ketika perekonomian sedang menghadapi pelambatan akibat penurunan aktivitas permintaan, kebijakan yang diperlukan justru yang ekspansif, yaitu menambah ”gas” dan melepas ”rem”. Bauran kebijakan fiskal ataupun moneter yang ekspansif akan kembali meningkatkan permintaan. Peningkatan belanja pemerintah akan menjadi stimulus atau ”gas” terhadap pemulihan kinerja sektor riil. Di sisi lain, otoritas moneter juga harus segera mengendurkan ”rem” agar roda perekonomian segera menggelinding dan berlari kencang.

Sejauh ini, ekspansi fiskal sudah dilakukan, terutama melalui peningkatan belanja infrastruktur dan paket stimulus pendorong investasi, meskipun implikasinya harus menambah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan menambah utang baru. Otoritas moneter juga sudah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) meski penyesuaian penurunan suku bunga kredit berlangsung kaku dan memerlukan waktu cukup lama.

Persoalan menjadi semakin tidak sederhana ketika terjadi kompleksitas dalam sumber dan implikasi inflasi. Selama 2015, inflasi hanya 3,35 persen, jauh di bawah target APBN-P 2015 yang sebesar 5,0 persen. Akan tetapi, inflasi yang cukup rendah tidak mampu mendongkrak daya beli masyarakat. Inflasi sangat terkendali, tetapi konsumsi rumah tangga tidak mampu tumbuh di atas 5 persen. Akibatnya pertumbuhan ekonomi hanya 4,7 persen. Artinya, inflasi yang rendah sebenarnya tidak selalu menjadi berita baik. Pasalnya, inflasi yang rendah lebih disebabkan penurunan permintaan, bukan karena peningkatan pasokan atau penurunan biaya produksi.

Penurunan konsumsi masyarakat disebabkan daya beli yang anjlok akibat tekanan inflasi harga pangan (volatile food) yang sangat tinggi. Inflasi bahan makanan mencapai 4,93 persen dan makanan 6,42 persen. Berbagai harga bahan pangan, seperti beras, jagung, gula, cabai, daging, dan telur, mengalami fluktuasi terburuk selama satu dekade terakhir. Sayangnya, kenaikan harga pangan tidak dinikmati petani.

Sekalipun pemerintah setiap tahun menaikkan harga pokok pembelian, harga gabah kering panen ataupun gabah kering giling di tingkat petani hampir stagnan. Padahal, harga beras di tangan konsumen mengalami fluktuasi yang sangat tinggi. Sementara petani sebagai penghasil padi, setelah panen, juga menjadi net consumer atau konsumen.

Persoalannya adalah sekitar 70 persen penghasilan masyarakat menengah ke bawah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini yang menyebabkan fluktuasi harga pangan menjadi persoalan yang semakin krusial. Tidak hanya berdampak besar terhadap penurunan daya beli masyarakat, fluktuasi pangan juga berkontribusi sangat signifikan terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Dengan potret tersebut, kuncinya adalah menjaga stabilitas harga pangan. Dengan harga pangan terkendali, inflasi hampir dapat dipastikan juga teratasi dan tidak akan mengganggu daya beli masyarakat. Pada gilirannya konsumsi rumah tangga kembali tumbuh di atas 5 persen. Dengan sendirinya, pertumbuhan ekonomi juga berpotensi melampaui 5 persen. Karena itu, upaya menstabilkan harga pangan harus menjadi prioritas nasional dan tanggung jawab bersama antar-kementerian terkait.

Ke depan, harus ada koordinasi dan sinergi untuk menstabilkan harga pangan tanpa mengakibatkan penurunan kesejahteraan petani. Setiap pemangku kepentingan harus bersama-sama melakukan tanggung jawab dan peran masing-masing. Tugas Kementerian Pertanian tentu lebih fokus meningkatkan produktivitas di level on farm. Dibutuhkan kreativitas meningkatkan indeks tanam melalui perbaikan kualitas bibit/benih, ketersediaan pupuk, pestisida, sarana irigasi, dan perbaikan teknologi. Juga meningkatkan peran tenaga penyuluh pertanian sehingga tidak terpaku pada keterbatasan program pencetakan sawah baru.

Kementerian Perdagangan harus mampu mengefisienkan tata niaga dan jalur distribusi pangan. Berbagai praktik usaha yang tidak sehat dan berpeluang menumbuhkan praktik kartel dan pemburu rente harus diberantas Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Juga didukung perbaikan infrastruktur sektor pertanian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Perhubungan.

Tak kalah penting upaya memperkuat kelembagaan Badan Ketahanan Pangan dan lembaga yang berfungsi sebagai penyangga stok (buffer stock) yang dapat menjalankan fungsi secara efisien sebagai lembaga stabilitas harga. Jika antarpemangku kepentingan tersebut bekerja sama dan bersinergi, kedaulatan pangan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas akan sangat mudah diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar