Revolusi Mental Politik
Djayadi Hanan ; Direktur
Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas
Paramadina
|
KOMPAS, 03
Februari 2016
Revolusi mental
politik bagi negara ini memang sangat diperlukan. Referensi kolektif para
penyelenggara negara kebanyakan diisi oleh konsep negara sebagai tempat
mengeruk kekayaan. Saat yang sama, referensi kolektif masyarakat kebanyakan
diisi oleh persepsi bahwa negara adalah predator yang menjadi beban dan harus
dihindari. Karena itu, diperlukan perubahan paradigmatis di kalangan
penyelenggara negara sekaligus dalam cara pandang masyarakat terhadap negara.
Awal Era Reformasi
telah memberi jalan bagi perubahan itu. Melalui perubahan yang sifatnya
sistemik, diawali dengan perubahan konstitusi, perubahan-perubahan
fundamental dalam sistem politik negara telah berhasil dilakukan.
Kita berhasil
melakukan desentralisasi kekuasaan baik secara horizontal maupun vertikal.
Secara horizontal, kekuasaan tak lagi terpusat di tangan presiden, tetapi
terdistribusi kepada cabang legislatif dan yudikatif, di samping eksekutif.
Bahkan, secara tak resmi kekuasaan juga terdistribusi kepada masyarakat
melalui media ataupun melalui kekuatan publik. Secara vertikal kita berhasil
memberi kekuasaan kepada daerah, baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, bahkan dalam skala tertentu kepada tingkat desa.
Telah terjadi
perubahan paradigmatis di tingkat sistem negara. Jalan membuat negara lebih
melayani rakyat kini terbuka. Rakyat pun memiliki kesempatan aktif
berpartisipasi menentukan nasib mereka melalui kebijakan-kebijakan
pemerintahan. Media dan civil society dapat memantau dan mengkritik negara
dan pemerintahan kapan saja dan di mana saja.
Namun, sistem yang
sudah berubah ini belum dapat terlaksana sepenuhnya. Sistem harus dijalankan
oleh manusia. Masalahnya, para penyelenggara negara di Era Reformasi sebagian
besar berasal dari sistem lama. Sistem tidak atau belum diikuti dengan
perubahan orang/penyelenggara. Akibatnya celah-celah yang lemah dalam sistem
Era Reformasi menjadi arena yang dimanfaatkan penyelenggara negara yang masih
bermental pengerat sumber daya negara. Tak heran kalau korupsi, misalnya,
terasa makin marak dengan pelaku yang tampak tak memiliki rasa malu
melakukannya.
Selain itu, ada dua
kelemahan fundamental dari sistem di Era Reformasi. Pertama, birokrasi,
umumnya bukan hanya masih diisi oleh orang dengan pola pikir lama, melainkan
juga belum mengalami reformasi sistemik. Kedua, sebagaimana layaknya sistem
demokrasi, reformasi memberi peran sentral kepada partai politik. Peran
sentral ini tidak dibarengi dengan kesiapan kelembagaan dari partai- partai
dalam menjalankan peran tersebut. Terjadilah pertemuan kepentingan birokrasi
dan partai politik yang berujung pada pengerukan kekayaan negara secara lebih
luas. Di sana sini masih kita temui penyalahgunaan kekuasaan/jabatan oleh
para pejabat publik dan politisi.
Momentum perubahan
Momentum perubahan
sistem telah diberikan oleh situasi di awal reformasi. Kini, momentum
perubahan mental politik telah tersedia dengan munculnya kepemimpinan model
baru yang sebetulnya adalah juga produk positif dari reformasi.
Era Presiden Joko
Widodo semestinya adalah momentum perubahan mental politik itu. Jokowi adalah
jenis pemimpin baru yang dibesarkan oleh era demokrasi dan desentralisasi.
Dengannya, prasyarat untuk memulai revolusi mental politik yang sifatnya
lebih menyeluruh kini tersedia.
Pemimpin baru ini
relatif sudah terbebas dari cengkeraman sistem lama atau sistem di mana
negara dan penyelenggara negara lebih berfungsi sebagai predator bagi rakyat.
Ia tidak berasal dari elite atau keluarga politik lama. Ia juga telah populer
dan dekat lebih dahulu dengan rakyat sebelum diambil oleh partai politik.
Ketika memasuki dunia politik, pemimpin jenis baru ini relatif sudah memiliki
modal ekonomi untuk menopang hidup keluarganya. Yang lebih penting lagi,
pemimpin seperti ini adalah orang yang terbiasa dengan
keterbukaan/transparansi.
Di samping itu,
pemimpin jenis baru adalah orang yang memiliki pengalaman pemerintahan dari bawah.
Ia bukan pemimpin jenis beringin atau jenggot, yang berhasil memegang tampuk
kekuasaan karena bergantung pada orang besar atau patron politik. Dengan
demikian, pemimpin jenis baru adalah pemimpin yang memiliki modal
independensi politik. Ia tidak memiliki beban masa lalu. Modal utamanya
adalah kepercayaan rakyat.
Momentum revolusi
mental politik memerlukan kepemimpinan jenis baru karena ia hanya bisa
dilaksanakan bila ada komitmen dan contoh/teladan dari para elite
penyelenggara negara. Komitmen dan teladan itu harus dimulai dari presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Revolusi mental
politik memerlukan ketegasan dan konsistensi dalam pelaksanaannya. Ini
penting karena sistem birokrasi dan aparatur negara masih banyak (mungkin
sebagian besar) yang senang menikmati celah-celah sistem yang tidak peduli
dengan nasib rakyat banyak. Masih banyak pula elite politik yang akan
terganggu atau tersingkir karena kepentingan ekonomi-politiknya tergerus oleh
revolusi mental politik. Karena itu, posisi dan peran kepala negara dan
pemerintahan sangat krusial untuk menjamin berjalannya revolusi mental
politik.
Gerakan politik, bukan imbauan
Jadi, revolusi mental
politik adalah gerakan dan kebijakan politik. Ia bukanlah imbauan. Ia juga
bersifat menyeluruh. Ia tidak bisa hanya menjadi program sebuah kementerian.
Ia tidak bisa hanya digelorakan melalui iklan atau laman situs web. Revolusi
mental politik harus menyentuh sistem sekaligus manusianya.
Maka, presiden harus
memastikan agar semua jajaran di bawahnya memahami dan melaksanakan kebijakan
revolusi mental politik.
Agenda revolusi mental
politik dalam jangka pendek dan menengah sudah sangat jelas. Pertama,
mempercepat reformasi birokrasi. Agenda ini harus menjadi agenda semua
kementerian dan lembaga negara serta agenda semua tingkat pemerintahan mulai
dari pusat sampai desa. Tanpa mempercepat tersedianya birokrasi yang melayani
rakyat, revolusi mental politik tidak akan mencapai hasilnya.
Agenda kedua adalah
membangun konsensus dan komitmen para elite politik partai sesegera mungkin
untuk mereformasi sistem kepartaian secara menyeluruh. Begitu kesepakatan
terbangun, reformasi sistem kepartaian dapat dimulai dengan membuat ruang
lebih besar agar publik memiliki akses untuk mengontrol dan berpartisipasi
dalam proses di partai politik. Ini penting karena partai politik saat ini
masih lebih banyak dikontrol oleh para elitenya sehingga sulit sejalan dengan
agenda-agenda revolusi mental politik. Salah satu langkah awal untuk ini
adalah dengan mengubah fundamental dalam pembiayaan partai politik yang lebih
berorientasi pada peran publik.
Ketiga, agenda
revolusi mental politik adalah memastikan kebijakan dan gerakan pemberantasan
dan pencegahan korupsi benar-benar konsisten dijalankan. Dalam jangka pendek
ini, penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah agenda penting.
Publik menghendaki kewenangan-kewenangan KPK diperkuat.
Menurut survei SMRC
pada Desember 2015, misalnya, sebagian besar publik (lebih dari 75 persen)
tidak setuju bila ada upaya mencabut kewenangan KPK untuk menyadap dan
melakukan penuntutan. Presiden dan jajarannya perlu memastikan dan
menunjukkan komitmen bahwa mereka 100 persen melaksanakan agenda
pemberantasan dan pencegahan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar