Mewaspadai ‘Virus’ LGBT
Hasian Sidabutar ; Anggota Initiatives of Change (IofC)
Indonesia;
Alumnus Universitas Negeri Medan
|
REPUBLIKA, 01
Februari 2016
Beberapa pekan
terakhir, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan maraknya promosi
atau iklan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di media
sosial. Mirisnya, iklan perekrutan oleh kaum LGBT telah menyentuh berbagai
media sosial yang notabene sedang dicintai anak-anak muda masa kini. Bahkan,
kelompok LGBT juga sudah menjalar ke kampus, sekolah, dan tempat umum
lainnya.
Berbagai lembaga
survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia punya
tiga persen kaum LGBT dari total penduduknya. Berarti, dari 250 juta jiwa
penduduk kita, 7,5 juta di antaranya adalah LGBT. Atau, lebih sederhananya,
dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat, tiga di antaranya adalah LGBT.
Hal ini mengindikasikan bahwa "virus" LGBT telah bersarang dan
darurat di negeri ini.
Tidak dapat dimungkiri
maraknya fenomena LGBT sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang
memberikan pengakuan dan tempat bagi penyandang LGBT di masyarakat. LGBT
dianggap sebagai bagian life style masyarakat modern yang menganggap
pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak berlaku bagi semua
orang.
Bahkan, lebih dari 11
negara, di antaranya, Belanda, Belgia, Spanyol, Swedia, melegalkan perkawinan
sejenis dan menjadi surga bagi LGBT untuk menunjukkan eksistensi sosialnya,
sekaligus menyalurkan hasrat seksual. Kebebasan dan hak asasi kemudian
menjadi dalih atas kebijakan tersebut.
Hingga saat ini, masih
terjadi pergolakan di negara-negara Barat, terutama kelompok konservatif yang
memegang teguh nilai-nilai keluarga dan teologis yang secara gigih menentang
praktik penyimpangan seksual tersebut. Lihat saja sikap pemimpin Gereja
Katolik Prancis, Kardinal Phillipe Barbarin, yang menyebut bahwa legalisasi
atas pernikahan sejenis akan meruntuhkan tatanan hidup masyarakat.
Di Amerika Serikat
sendiri hanya sekitar empat negara bagian yang menyetujui pengakuan
pernikahan sejenis. Penolakan juga muncul dari kalangan profesional. Brendan
Eich, CEO Mozilla yang mengundurkan diri secara tegas menolak pernikahan
sejenis di Negara Bagian Kalifornia. Bahkan, Brendan Eich menyatakan
apresiasinya terhadap gerakan anti-LGBT di Indonesia dengan kultur Timur yang
menjunjung religiositas.
Secara gencar para
penyandang LGBT ini menyosialisasikan diri dan nilai-nilai seksualitas yang
mereka anut dengan mengambil momentum kebebasan yang demikian terbuka. Industri
budaya pop, terutama industri kreatif di bidang entertainment, seperti musik,
sinetron, dan film menjadi alat strategis untuk menyebarkan cara pandang,
gaya perilaku, dan eksistensinya pada publik, hampir seluruh lapisan usia dan
strata sosial. Lemahnya mekanisme sensor dan kritisisme publik menjadikan
proses penetrasi nilai-nilai LGBT menjadi semakin efektif.
Targetnya adalah
terciptanya proses habituasi (pembiasaan) dan adaptasi (penyesuaian) bagi
masyarakat terhadap LGBT, sehingga akhirnya masyarakat akan menerima fenomena
penyimpangan orientasi seksual yang jelas-jelas bertentangan dengan norma
agama dan nilai-nilai sosial bangsa sebagai kelaziman, terbiasa, dan bahkan
tersugesti untuk masuk dalam kondisi yang mereka sebut sebagai hak asasi yang
bergantung pada pilihan individu masing-masing.
Selain memanfaatkan
media industri hiburan, LGBT bahkan telah memasuki arena politik dengan
jaringan lobi yang kuat. Lihat saja jumlah negara yang semakin banyak
melegalisasi pernikahan sejenis dan para politikus yang secara terbuka
menunjukkan simpati dan dukungan politiknya.
Setidaknya sejumlah
pemimpin negara besar menunjukkan sikap akomodatif terhadah kaum gay dan lesbian,
seperti PM Inggris David Cameron, Barack Obama, Francois Hollande. Dukungan
ini membawa dunia di ambang bahaya akibat agresi dalam skala yang masif
terhadap nilai-nilai keluarga, moral publik, dan masa depan dunia.
Di Indonesia sendiri,
saat ini belum ada politikus yang berani terbuka mendukung praktik
penyimpangan seksual ini. Namun, tidak menutup kemungkinan ketika penetrasi
nilai dan pengakuan sosial kaum LGBT ini telah masif akan mengubah haluan
para politikus yang memang cenderung melihat kesempatan berdasarkan kalkulasi
potensi dukungan suara. Kaum LGBT kemudian semakin berani muncul di tempat
publik dengan mempertontonkan identitasnya yang kini tidak lagi dianggap
tabu.
Legitimasi sosial
muncul dengan pembelaan ilmiah dan teologis secara apriori guna memperkuat
klaim tentang eksistensi maupun tujuan sosial mereka. Situasi itulah yang
kemudian membuat LGBT menyebar demikian pesat sebagai epidemi sosial. Tidak
lagi hanya fenomena kota besar, tetapi hampir di seluruh wilayah dan lapis
sosial.
Memang, LGBT itu bukan
kejahatan, akan tetapi berpotensi menghasilkan kejahatan, seperti kekerasan
seksual, penyebaran penyakit seksual, dan agresi terhadap nilai-nilai publik.
Namun, kita harus bijak karena penyandang LGBT bisa saja merupakan korban
maupun pelaku.
Sejumlah penelitian
menunjukkan, LGBT bisa muncul akibat pengalaman traumatik (korban kekerasan
seksual) maupun faktor genetik yang memengaruhi struktur kromosom yang
menunjukkan jenis kelamin. Namun, LGBT juga dapat muncul sebagai dampak
interaksi sosial yang keliru, sehingga ikut mengalami penyimpangan seksual (sosial disease).
Hal itu menempatkan
bahwa penyandang LGBT bisa saja merupakan pelaku sekaligus korban yang
kedua-duanya perlu mendapat perhatian yang tepat agar mereka bisa
menyesuaikan dan mengintegrasikan diri dalam masyarakat yang normal. Jika pun
itu tidak mungkin, setidaknya mereka tidak akan menjadi ancaman sosial yang
membahayakan.
Merespons maraknya
kejahatan seksual, terutama terkait LGBT, masyarakat harus mampu
mengembangkan kewaspadaan sosial. Begitu pula negara tidak bisa lepas tangan
dan berlindung di balik penghargaan terhadap hak asasi warga negara. Negara
memiliki kewajiban menjaga nilai-nilai dan standar moral yang dianut oleh
publik mayoritas. Berbagai tontonan yang tidak layak dan melegitimasi
perilaku penyimpangan seksual harus dievaluasi kembali.
Begitu pula sikap
tegas dalam merespons tuntutan pengakuan seksualitas dan perkawinan sejenis.
Negara tidak boleh melegalkan agresi terhadap moralitas dan nilai-nilai
publik. Tanpa standar moral dan menjaga nilai-nilai yang diyakini publik,
niscaya bangsa itu akan kehilangan generasi penerus bagi masa depannya.
Penyandang LGBT jika tidak diwaspadai akan menjadi predator seksual bagi
orang normal dan merusak masa depan para pewaris masa depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar