Esensi Syari'ah adalah Keadilan
Mahbub Ma’afi ; Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 09
Februari 2016
Beberapa waktu yang
lalu muncul perdebatan tentang kedudukan konstitusi di hadapan ayat-ayat Al
Quran. Itu adalah perdebatan yang salah arah dan dipaksakan oleh pihak-pihak
tertentu demi kepentingan politik.
Sejak Proklamasi
Kemerdekaan dan disepakatinya Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dasar Negara,
ulama kita telah menegaskan bahwa keduanya tidak dapat dipertentangkan dengan
agama. Pandangan ulama Indonesia itu selama ini terkesan kurang bergema dalam
skala internasional. Namun, dewasa ini dunia Islam semakin menyadari arti
pentingnya hal itu.
Pemerintahan Maroko
pada 25-27 Januari 2016 menggelar konferensi internasional di kota Marrakech,
dihadiri tidak kurang 300 cendekiawan Muslim dari seluruh dunia. Tema yang
diusungnya adalah "The Rights of
Religious Minorities in Predominantly Muslim Lands: The Legal Framework and
the Call to Action" ("Hak-hak
Kelompok Agama Minoritas di Negeri Mayoritas Muslim: Kerangka Hukum dan
Seruan untuk Bertindak").
Pertemuan itu menghasilkan apa yang disebut
Deklarasi Marrakech. Walaupun difokuskan pada masalah kelompok minoritas,
secara keseluruhan deklarasi tersebut menekankan pentingnya sistem
konstitusional yang melindungi hak-hak segenap warga negara secara imparsial.
Deklarasi itu
menegaskan bahwa "Piagam Madinah" memuat tujuan-tujuan yang "selaras dengan konstitusi nasional
berbagai negara dan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Universal".
Maka, diserukan kepada para cendekiawan Muslim di seluruh dunia untuk "mengembangkan konsep kewarganegaraan
yang inklusif dan dapat menaungi seluruh golongan masyarakat, dengan tetap
mendasarkan kepada tradisi dan warisan fikih Islam, sembari memperhatikan
aneka ragam perubahan global yang terjadi".
Terbuktilah bahwa
ulama Indonesia memiliki wawasan yang jauh ke depan, mendahului ulama-ulama
di kawasan lain. Apakah pandangan ulama Indonesia tersebut didasarkan pada
warisan fikih Islam?
"Sesungguhnya bangunan dan fondasi syariat itu adalah
hikmah dan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat
secara keseluruhan adalah keadilan, kasih sayang, kemaslahatan, hikmah. Maka,
setiap persoalan yang menyimpang dari keadilan mengarah ke kezaliman, dari
rahmat ke sebaliknya, dari maslahat ke mafsadat, dan dari hikmah ke
kesia-siaan maka bukan termasuk syariat" (Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, juz, III, hal 5).
Pernyataan di atas
menegaskan esensi yang harus diemban dalam hukum publik. Negara memiliki
tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan dengan berbagai
macam aturan dan kebijakan yang dikeluarkannya.
Keadilan dan kemaslahatan sebagai acuan
Apabila esensi
keadilan sudah tampak jelas, meskipun subyek ataupun format hukumnya tidak
secara langsung diambil dari Al Quran dan Sunnah, maka di situlah syariat dan
agama Allah (Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hal 18), dan dengan sendirinya wajib
ditaati sebagai siyasah syar'iyyah (produk politik yang beresensi syari'at).
Dalam hal ini, Pancasila dan UUD 1945 serta berbagai produk hukum di bawahnya
masuk dalam kategori ini.
Ini pula yang ditegaskan Ibnu Aqil, salah
seorang pakar hukum Islam dari mazhab Hanbali, "Siyasah adalah kebijakan yang nyata-nyata menjadikan manusia
lebih dekat kepada kebaikan dan menjauhi kerusakan meskipun tidak dibuat oleh
Rasulullah SAW dan disinggung oleh wahyu" (Lihat, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hal 17).
Kiai Muhammad Nawawi
Banten (1815-1897) secara lebih spesifik menjelaskan prinsip ketaatan warga
negara sebagai berikut. "Apabila
pemerintah membuat kebijakan dengan memerintahkan sesuatu yang telah
diwajibkan syara' , maka kewajiban menjalankannya menjadi lebih kuat,
memerintahkan sesuatu yang sunnah (dianjurkan oleh syara') maka menjadi
wajib, dan memerintahkan sesuatu yang mubah (netral), sepanjang mengandung
kemaslahatan umum-larangan merokok, umpamanya-maka wajib ditaati" (Nihayah az-Zain, hal 112).
Term
"pemerintah" (ulil amri)
dalam hal ini mengacu pada keseluruhan sistem politik yang berwenang untuk
menetapkan hukum, perundang-undangan, dan peraturan-peraturan.
Pancasila dan UUD 1945
telah secara jelas menampakkan esensi keadilan dan kemaslahatan bagi segenap
warga negara. Maka, ketaatan kepada dasar negara tersebut diwajibkan oleh
syara' dan diharamkan menentangnya. Adapun produk-produk hukum di bawahnya,
semua ditimbang dengan acuan yang sama, yaitu keadilan dan kemaslahatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar